Reuncong

Oleh Muhammad Agung Putranto

Reuncong sebagai benda pusaka yang bernilai dalam masyarakat Aceh adalah salah satu senjata tajam yang dipergunakan oleh masyarakat Aceh yang berdomisili di Daerah Provinsi Nagroe Aceh Darussalam, maupun orang-orang Aceh yang sudah merantau ke daerah lain di Indonesia.

Reuncong mempunyai tiga fungsi dalam penggunaan sehari-hari bagi masyarakat Aceh sejak dahulu sampai pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia.

Pertama, reuncong digunakan sebagai alat senjata sejak Aceh mulai berkembang menjadi daerah kerajaan, menghadapi berbagai keangkaramurkaan dan tantangan dari penyerbu-penyerbu luar Aceh.

Kedua, reuncong ini digunakan sebagai alat perhiasan sehari-hari oleh pria-pria Aceh dalam gerak kehidupannya. Sebagai alat perhiasan sehari-hari. Reuncong disisipkan di pingang dan juga digunakan sebagai pelengkap dalam berkesenian terutama dalam tari Seudati dan Ratoh.

Ketiga, reuncong digunakan sebagai alat pengganti alat-alat pelobang. Reuncong sering digunakan untuk melobangi pelebah rumbia pada bagian-bagian tertentu untuk dijadikan dinding rumah, pengganti papan.

Ada beberapa reuncong tertentu dianggap sebagai barang bernilai magis religius dalam pandangan masyarakat Aceh, maka reuncong sama sekali tidak digunakan sebagai alat pemotong atau pengupas. Dia dipakai apabila amat diperlukan, misalnya jika menghadapi musuh. Hal ini terbukti dalam perang Aceh melawan Belanda sejak tahun 1873 karena itu rakyat Aceh menganggap bahwa reuncong itu merupakan senjata sakti, sehingga daerah Aceh dijuluki pula dengan tanah reuncong.

Pada masa perang kemerdekaan (1945-1950), reuncong kembali berperan dalam perang menghadapi Belanda di front Medan Area di masa rakyat Aceh memasuki rusuk pertahanan Belanda sampai ke Sungai Sikambing, setelah melalui Tanjung Pura dan Binjai. Pada waktu Mujahidin Aceh sudah menggunakan senjata-senjata peninggalan serdadu Jepang, reuncong tidak pernah diabaikan dalam penggunaannya sebagai senjata penikam musuh atau senjata bela diri. Oleh karena itu reuncong masih sangat bernilai dan bermutu di dalam masyarakat Aceh hingga saat ini. Pada dasarnya setiap masyarakat Aceh memiliki sebilah reuncong sebagai senjata yang mendampingi hidupnya, sejak mereka berumur 18 tahun, walaupun reuncong itu tidak dibawa serta atau diselipkan di pinggangnya.

Sejarah
Mengenai sejarah timbulnya akal manusia dalam menciptakan senjata reuncong ini:

Pertama, sejak sebelum zman Islam orang Aceh sudah menggunakan berbagai peralatan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat. Berbagai macam bentuk alat-alat atau perkakas itu antara lain, alat perang, kapak, pisau dan sebagainya. Sudah barang tentu dalam penciptaan berbagai macam alat yang dibutuhkan tersebut mempunyai cara pembuatannya masing-masing, sebagai tampai pada kapak genggam zaman batu tua (paleolithikum) menjadi kapak licin atau diasah dengan baik sehingga tajam, merupakan hasil ciptaan manusia dalam pembuatan alat-alat pada zaman batu baru (neolithikum).

Demikian juga terjadi pada alat-alat pemotong seperti parang. Tentu saja pada mulanya berbentuk kasar, lama-kelamaan berbentuk licin dan halus. Hal ini merupakan tugas dari pandai-pandai besi, yang di Aceh dikenal dengan nama Pandee Beusou. Pandee Beusou itu umumnya menciptakan alat-alat pemotong yang praktis untuk rumah tangga yaitu pisau yang pada mulanya berbentuk kasar kemudian secara perlahan-lahan mencapai kesempurnaannya.

Kedua, reuncong dilihat sebagai senjata perang. Alat-alat ini mula-mula berasal dari pisau yang digunakan secara praktis kemudian dikembangkan untuk penggunaannya yang bersifat magis religius setelah dibentuk sedemikian rupa, sehingga menjadi senjata perang dan biasanya diciptakan oleh pandee beusou yang ahli. Pandee beusou disamping berkeahlian menciptakan bentuk yang indah, dia juga harus dapat menciptakan bentuk yang dapat membahayakan musuh, kalau digunakan untuk menikam.

Sebagaimana tiap naluri manusia menginginkan alat perkakas pribadi, demikian juga bahwa alat yang seperti reuncong diciptakan orang Aceh sebelum masuk Islam ke Indonesia. Untuk selanjutnya demikian pula bahwa reuncong secara evolusi mencapai kesempurnaannya mulai sejak masuknya Islam ke Indonesia. Dengan perkataan lain bahwa reuncong itu mulai dikenal sejak berdirinya kerajaan Islam yang bernama Pasee. Sejak Pasee tumbuh dan berkembang dia membutuhkan kekuatan anggota militer yang dibarengi dengan persenjataan dan peralatan perang yang cukup memadai. Salah satu alat ini adalan reuncong dan menurut para ahli sejarah reuncong ini mulai digunakan pertama kali pada saat Sultan Ali Muqhayat-Syah memerintah kerajaan pada tahun 1514-1528.

Senjata reuncong ini menemui bentuk yang sebenarnya pada waktu itu sebagaimana yang kita kenal sekarang, yang kelihatannya lebih berorientasi pada kepercayaan Islam sebagai agama yang amat berpengaruh dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh.

Oleh karena itu reuncong secara keseluruhan dapat dijelaskan sebagai berikut:
  • Gagang, yang melekuk kemudian menebal pada bagian sikunya merupakan aksara Arab BA.
  • Bujuran, bujuran gagang tempat genggaman merupakan aksara SIN.
  • Bentuk-bentuk lancip yang menurun ke bawah pada pangkal besi dekat gagangnya merupakan aksara MIM.
  • Lajur-lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan aksara LAM.
  • Ujung-ujung yang runcing dengan datar sebelah atas mendatar dan bagian bawah yang sedikit melekuk ke atas merupakan aksara HA.
  • Rangkaian dari aksara BA, MIM, LAM dan HA itu mewujudkan kalimah “BISMILLAH”.
Jadi jelas reuncong merupakan reaksi dan perwujudan dari kalimah “BISMILLAH” dalam bentuk senjata tajam sebagai alat perang untuk mempertahankan diri dari musuh-musuh. Di samping itu reuncong dipergunakan juga sebagai alat perhiasan sehari-hari.

Pada waktu pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah dan pengganti beliau reuncong telah digunakan sebagai senjata perang. Waktu itu tempat-tempat penempaan terdapat di seluruh Aceh. Tempat-tempat itu antaranya di kampung Pande, Lam blang, Sibreh, Ulee kareng, lampakuk di Aceh Besar, Peukan Pidie, Kampung Aree, Uno di Pidie. Matang Geulumpang dua, Gedong, Lho'sukon, Pantonlabu di Aceh Utara. Peureulak, Idi, Simpang Ulim dan Manyak Poyet di Aceh Timur.

Macam-macam Reuncong
Reuncong sebagai alat senjata maupun sebagai alat perhiasan dalam kehidupan masyarakat Aceh, makin lama makin memperoleh kesempurnaan dalam mutu penempaannya. Sebagai alat senjata yang khas Aceh, mata reuncong tidak berobah bentuk, karena bentuk mata itu mencerminkan kalimah Bismillah sebagai kalam pertama untuk memulai sesuatu pekerjaan di kalangan masyarakat Islam.

Adanya bermacam-macam reuncong bukan terletak pada mata atau bentuk penempaannya, tetapi tergantung pada gagangnya, atau sumbunya, mereka yang mengerti reuncong segera mengetahui macamnya. Oleh karena itu timbulah nama-nama tertentu terhadap reuncong di kalangan masyarakat pemakainya.

Macam-macam reuncong tersebut adalah:
Reuncong Meupucok, reuncong ini menggunakan ukiran emas pada gagangnya bagian atas. Gagang reuncong ini kelihatan kecil pada bagian bawahnya, hingga membesar pada bagian atasnya.

Reuncong Meucugek, reuncong ini menggunakan cugek (bergagang lengkung 90 derajat). Cugeknya itu melengkung ke bagian belakang mata reuncong kira-kira 8-10 cm, sehingga gagang (sumbunya) berbentuk siku-siku.

Reuncong Meukuree, reuncong ini tidak di titik beratkan pada gagangnya tetapi terpusat pada tanda gambar yang bermacam-macam bentuknya pada mata reuncong. Gambar ini terjadi dengan sendirinya, tidak sengaja dibuat oleh pandai besi saat menempanya.

Reuncong Pudoi, pudoi artinya tidak sempurna, rencong ini memiliki gagang yang pendek maka rencong yang gagangnya pendek disebut reincong Pudoi.

Warisan budaya yang pernah dihayati masyarakat Aceh tempo dulu, baik tentang reuncong, maupun unsur budaya lainnya perlu terus diteliti dan dikembangkan, agar generasi muda yang akan datang mengetahui dan bangga dengan budaya mereka. Dengan demikian hal ini dapat menghindarkan mereka dari keinginan untuk mencari bentuk dan nilai budaya yang ternyata bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Sumber:
Muhammad Agung Putranto (Asdep Urusan Program/Proyek Pemanfaatan Kebudayaan)
www.hupelita.com
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive