Motorola ZN200

Specifications
Motorola ZN200
Network
2G
GSM 850 / 900 / 1800 / 1900
Size
Dimensions
Weight
Display
105 x 47 x 15.9 mm
115 gram
TFT, 256K colors
176 x 220 pixels, 1.9 inches
Memory
Phonebook
Call records
Internal
Card slot
2000 entries, Photocall
20 dialed, 20 received, 20 missed calls
30 MB
microSD, up to 2 GB
Data
GPRS
HSCSD
EDGE
3G
WLAN
Bluetooth
Infrared port
USB
Class 12 (4+1/3+2/2+3/1+4 slots), 32 - 48 kbps

Class 12


v2.0 with A2DP

v2.0
Features
OS
CPU
Messaging
Ringtones
Browser
Radio
GPS
Games
Camera
Video
Colors
Java
Linux / Java-based MOTOMAGX

SMS, MMS, Email
Vibration; Downloadable polyphonic ringtones
WAP 2.0/xHTML, HTML
FM radio with RDS

Yes
2 MP, 1600x1200 pixels
Yes
Licorice, pink
MIDP 2.0
- Loudspeaker
- ModeShift morphing keypad
- MP3/AAC+/WMA/WMV player
- MP3/WMA/eAAC+ player
- MotoID music recognition
- CrystalTalk Technology
- Organizer
- Calendar
- Alarm
Battery

Stand-by
Talk time
Standard battery, Li-Ion (BC50)
Up to 340 h
Up to 8 h 30 min

Image: http://www.mobilegazette.com/motorola-zn200-w396-w388-08x08x14.htm

Nokia N92

Specifications
Nokia N92
Network
2G
3G
GSM 900 / 1800 / 1900
UMTS 2100
Size
Dimensions
Weight
Display
107.4 x 58.2 x 24.8 mm, 136 cc
191 gram
TFT, 16M colors
240 x 320 pixels, 2.8 inches, 42 x 57 mm
Memory
Phonebook
Call records
Internal
Card slot
Practically unlimited entries and fields, Photocall
Detailed, max 30 days
40 MB storage, 64 MB RAM
miniSD, (up to 2GB), hot swap
Data
GPRS
HSCSD
EDGE
3G
WLAN
Bluetooth
Infrared port
USB
Class 11

Class 10, 236.8 kbps
384 kbps
Wi-Fi 802.11b/g
Yes

v2.0
Features
OS
CPU
Messaging
Ringtones
Browser
Radio
GPS
Games
Camera
Video
Colors
Java
Symbian OS, Series 60 UI
Dual ARM 9 268 MHz processor
SMS, MMS, Email, Instant Messaging
Downloadable polyphonic, monophonic, MP3 ringtones
WAP 2.0/xHTML, HTML
FM radio; Visual Radio

Yes
2 MP, 1600x1200 pixels, LED flash
CIF
Black
MIDP 2.0
- Second external display 65K colors, (128x36 pixels), 1 inch
- VGA videocall camera
- CIF videocall camera
- WMV/RV/MP4/3GP video player
- MP3/WMA/WAV/RA/AAC/M4A music player
- Document viewer (Word, Excel, PowerPoint, PDF)
- Organizer
- Calendar
- Alarm
Battery

Stand-by
Talk time
Standard battery, Li-Po 1500 mAh
Up to 216 h
Up to 6 h

Image: http://phone.mobile9.com

Nokia 7710

Specification & Features

Availability

Q1 2005

Form Factor

Unique

Network

GSM 900 / GSM 1800 / GSM 1900

Dimensions

143mm x 128mm x 70mm

Weight

189g

Storage

90 MB

Expansion

128 MB MMC provided, support up to 512 MB

Side Keys


Platform

Symbian Series 80

Battery

type with 3 hours talk time and 216 hours standby time

Website

Nokia 7710 Official Site


Display Type LCD
Size 640px X 320px
Colors 65536
2nd Display
Camera Type Yes
Zoom Yes
Flash No
Video No
Organiser Alarm Yes
Calculator Yes
Calender Yes
Predictive Text Yes
PC Sync Yes
Speaker Phone Yes
Voice No
Messaging SMS Yes
MMS Yes
EMS Yes
IM No
Email No
Multimedia Java Yes
Ringtones Yes
Music Playback No
Video Playback No
Connectivity GPRS Yes
EDGE Yes
WAP Yes
Cable Yes
Infrared No
Bluetooth Yes
Wifi No
Extra Radio Yes
Touch Screen Yes
QWERTY Yes
Others Word processor, Sheet, and MS Powerpoint viewer


Source:
http://phone.mobile9.com

Sony Ericsson W660i

Specification

Date Announced

2007, 1Q

Network Technology

UMTS /GSM 900 / 1800/ 1900

Dimensions (mm)

102 x 46 x 14.5

Weight (g)

93

Available colours

Record Black, Rose Red

Display

Screen Size

:

2.0 inch, 176 x 220

Screen Color

:

TFT 262K colors

Design

Type

: Candybar

Antenna

: Fixed Internal

Memory

Phonebook

: 1000

Internal(MB)

: 16

Expansion

: Memory Stick Micro (M2) (512 MB included), up to 1GB

Battery

Battery Type

: Li-ion

Stand-by (hrs)

: 360

TalkTime(min)

: 360

Entertainment

Ringtones

Polyphonic

:

MP3

Yes

A2DP

Yes

TV Receiver

Null

FM Radio

Yes

Video Record

Yes, video calling

Video Support

MPEG-4 H.263, RealVideo 8, WMV

Audio Support

AAC, AAC+, E-AAC+, MP3, M4A, 3GP, AMR-NB, AMR-WB, WAV, G-MIDI 1, SP-MIDI, RealAudio 8, eMelody, iMelody, RHz, XMF, Mobile XMF, WMA

Voice Support

Command, Dial, Recording, Speaker

Messaging

SMS

Yes

MMS

Yes

EMS

No

Email

Yes, Push email

Connectivity

Bluetooth

Yes, version 2.0

3G

Yes

GPRS

Class 10 (4+1/3+2 slots)

Infrared (IrDA)

No

USB Port

Yes

Software

Java (J2ME)

Yes ,MIDP 2.0, CLDC 1.1

WAP

Yes Ver 2.0

Platform / OS


Browser

XHTML/ HTML (Netfront 3.3), RSS Reader

Predictive Text Entry

T9

PIM Application

Alarm clock, Business card exchange, Calculator, Calendar, Notes, Stopwatch, Tasks, Timer

Other Application

Walkman player 2.0, Disc2Phone

Personals

Themes

Yes

Caller ID

Photo Caller ID

ProfileID

Yes

Camera

Lens Type

CMOS, 2.0 Megapixel

Digital zoom

2.5x

Max. Resolution

1600 x 1200

Flash

No

Night Mode

Yes

Multi Shot

Yes

Extra Features


Photo Format


Video

Yes, video calling

Video Format

3GP/3GPP

Source:
http://www.mobile88.com

Motorola PEBL VU20

Specifications
Motorola PEBL VU20
Network2G/3GGSM 900 / 1800 / 1900; HSDPA 900 / 2100
SizeDimensions
Weight
Display
100 x 48.9 x 18.9 mm
103 gram
TFT, 256K colors
240 x 320 pixels, 2.2 inches (~182 ppi pixel density)
MemoryPhonebook
Call records
Internal
Card slot
1000 entries, Photocall
10 dialed, 10 received, 10 missed calls

microSD, up to 4 GB
DataGPRS
HSCSD
EDGE
3G
WLAN
Bluetooth
Infrared port
USB
Class 12 (4+1/3+2/2+3/1+4 slots), 32 - 48 kbps

Class 12
HSDPA, 7.2 Mbps; HSUPA, 3.6 Mbps

v2.0 with A2DP

v2.0
FeaturesOS
CPU
Messaging
Ringtones
Browser
Radio
GPS
Games
Camera
Video
Colors
Java


SMS, EMS, MMS
Vibration; Downloadable polyphonic, MP3 ringtones
WAP 2.0/xHTML
Stereo FM radio with RDS

Yes
2 MP, 1600x1200 pixels
Yes
Purple, rose bloom, navy blue
MIDP 2.0
- 3.5 mm jack
- Second external OLED, 65K colors display (128 x 160 pixels)
- Touch sensitive music keys
- Downloadable wallpapers, screensavers
- Downloadable logos
- MP3/AAC/AAC+/WMA/OGG/AMR player
- WMV/MP4 player
- iTap
- Organizer
- Calendar
- Alarm
Battery
Stand-by
Talk time
Standard battery, Li-Ion 950 mAh
Up to 240 h (2G)/130 h (3G)
Up to 3 h 20 min

Image: http://mobiles.sulekha.com/motorola_pebl-vu20_compare_prices.htm

Permainan Tikungan (Lampung)

Salah satu permainan anak-anak yang lain adalah permainan tikungan, yakni sejenis permainan petak umpet. Tikungan dimainkan secara berkelompok dengan jumlah pemain tak terhingga, biasanya dimainkan oleh empat hingga enam orang. Permainan ini memerlukan tempat yang luas. Oleh karena itu, pekarangan rumah atau tanah lapang sangat cocok untuk permainan tersebut. peralatan yang dipergunakan dalam tikungan adalah pecahan genting yang dibentuk bulat sebanyak 12 buah; dan pecahan genting bulat lain yang lebih besar ukurannya untuk pelemparan.

Permainan diawali dengan memilih penjaga, pemain, sekaligus menentukan urutan pemain yang akan melempar tumpukan genting. Penjaga atau kucingnya menumpuk ke-12 pecahan genting tadi menjadi satu. Pemain urutan pertama melempar tumpukan pecahan genting dari batas garis yang telah ditentukan. Jika lemparannya idak mengenai tumpukan genting, posisinya digantikan pelempar selanjutnya. Jika seorang pelempar dapat melempar tepat pada tumpukan pecahan genting, semua pemain berlairan untuk bersembunyi ke tempat yang sulit diketahui. Sementara pemain bersembunyi, penjaga menumpukkan genting pada tempat yang telah ditentukan.

Setelah itu, penjaga mencari pemain yang bersembunyi. Jika diketahui tempat persembunyiannya, penjaga harus menyebutkan nama orang yang ditemukannya. Lalu, mereka beradu lari menuju tumpukan pecahan genting. Jika pemain lebih dulu sampai ke tempat yang dituju, dia akan menendang tumpukan pecahan genting hingga berantakan. Pemain itu bisa kembali bersembunyi, sementara penjaga sedang menyusun kembali pecahan genting tadi. Dalam hal ini si penjaga kalah. Lain halnya jika si penjaga yang lebuh dahulu sampai, dia akan menyebutkan kata-kata tertentu sambil menginjak pecahan genting untuk pelempar. Ini berarti pemain kalah, ia harus menunggu teman-teman lain tertangkap dengan harapan dapat diselamatkan oleh salah seorang temannya.

Pergantian pemain terjadi setelah semua diketahui tempat persembunyiannya. Pemain yang paling dulu diketahui tempat persembunyiannya harus menempati posisi penjaga berikutnya, menjadi penjaganya, menggantikan penjaga sebelumnya.

Sumber:
Sucipto, Toto, dkk,. 2003. Kebudayaan Masyarakat Lampung di Kabupaten Lampung Timur. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

Makam Raja-raja Tallo (Sulawesi Selatan)

Pengantar
Di Provinsi Sulawesi Selatan banyak dijumpai berbagai peninggalan sejarah yang berupa benteng, monumen, masjid, makam dan bangunan-bangunan tua lainnya. Salah satu diantaranya adalah makam raja-raja Tallo. Kompleks makam ini terletak di Kelurahan Tallo, Kecamatan Tallo, sekitar 7 kilometer di sebelah utara kota Makassar. Kompleks makam yang dibangun sekitar abad ke-17 ini merupakan tempat pemakaman raja-raja Tallo abad ke-17 hingga abad ke-19. Kerajaan Tallo dahulu adalah merupakan bagian dari kerajaan Gowa. Namun, pada masa pemerintahan Raja Gowa VI (Tunatangkalopi), kerajaan Gowa dibagi menjadi dua (Gowa dan Tallo) dan diserahkan kepada kedua puteranya. Kedua kerajaan baru tersebut kemudian membentuk suatu persekutuan yang kekuasaannya sangat berpengaruh di wilayah Indonesia bagian timur.

Pada tahun 1974/1975 dan 1981/1982 kompleks makam raja-raja Tallo dipugar oleh pemerintah melalui Ditjen Kebudayaan, Direktorat Perlindungan dan pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bangunan makam yang dipugar hingga mendekati bentuk aslinya ini sekarang tampak asri, tertata apik dengan pepohonan yang rindang, dan dapat dijadikan sebagai suatu obyek wisata budaya.

Komplek makam raja-raja Tallo
Komplek makam raja-raja Tallo berada di sudut sebelah timur laut dalam lingkup benteng Tallo yang luasnya sekitar 9.225 meter persegi. Namun, benteng Tallo itu saat ini hanya dapat ditemui sisa-sisanya saja pada sisi barat, utara dan selatan. Sedangkan, di dalam areal benteng, kecuali makam, telah dijadikan sebagai lahan hunian penduduk setempat.

Makam raja-raja Tallo yang berjumlah sekitar 78 buah itu dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu: (1) tipe susun-timbun, yakni tipe makam yang berbentuk susunan balok batu berbentuk persegi, sehinggga hampir menyerupai bentuk susunan candi-candi di Jawa yang terdiri dari kaki, tubuh dan atap. Tipe makam yang dahulu disebut dengan istilah jiret semu ini merupakan tipe makam yang umum dijumpai di daerah Sulawesi Selatan, yang biasanya diperuntukkan bagi raja, pejabat atau pembesar istana; (2) tipe papan batu, yakni tipe makam yang dibuat seperti model bangunan kayu berbentuk empat persegi panjang, namun bahannya terbuat dari pasangan empat bilah papan batu; dan (3) tipe kubah, yakni bangunan berongga yang berdiri di atas batur empat persegi dengan atap kubah yang terdiri dari empat bidang lengkung ke dalam. Bangunan makam tipe kubang ini selain di Sulawesi Selatan, dapat dijumpai pula di daerah Timor dan Tidore.

Sedangkan, ragam hias pada ketiga tipe makam tersebut cukup bervariasi, yang diantaranya adalah: medalion, tumpal, panel persegi berisi ukiran dengan pola geometris, tumbuhah/daun/kelopak bunga/suluran yang distilir, pemasangan cawan atau piring keramik pada panel hias atau pada dinding-dinding cungkup makam, dan kaligrafi.

Dari ke-78 makam di Tallo ini, baru sekitar 20 makam yang dapat diidentifikasi, antara lain: makam Sultan Mudhafar (Raja Tallo ketujuh), Karaeng Sinrinjala (saudara Sultan Mudhafar), Syaifuddin (Sultan kesebelas), Siti Saleha (Raja Tallo keduabelas), La Oddang Riu Daeng Mangeppe (Sultan keenambelas) dan I Malingkaang Daeng Manyonri (Raja Tallo pertama yang memeluk agama Islam). Raja Daeng Manyori, yang mendapat julukan Macan Keboka ri Tallo (Macan Putih dari Talo) dan Karaeng Tuammalianga ri Tomoro (Raja yang berpulang di Timur) ini, sangat berjasa dalam menyebarkan agama Islam di wilayah Buton, Ternate dan Palu. (ali gufron)

Foto: http://www.geocities.co.jp
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1992. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Lawang Kuri (Lampung)

Lawang kuri adalah pintu gerbang kerajaan adat di lingkungan masyarakat adat pepadun. Dibuat dari bahan kayu atau hanya dari bambu yang diberi hiasan-hiasan. Di dalam upacara dipasang kain penutup berupa sanggar. Ketika upacara sanggar dibuka, setelah terjadi perang tanding (simbolis) dan acara silat lidah peribahasa, barulah para tamu kerajaan dipersilahkan memasuki lawang kuri.

Sumber:
Hadikusuma, Hilman, dkk. 1978. Adat Istiadat Daerah Lampung. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sistem Kepercayaan Orang Arso (Papua)

Dasar religi orang Arso adalah penghormatan pada roh-roh nenek moyang yang upacaranya dipusatkan pada pesta dansa, atau yages. Orientasi, konsep-konsep serta kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada upacara terima kasih atas keselamatan dan minta pertolongan untuk mengatasi kegagalan-kegagalan dalam pelbagai segi kehidupan.

Konsep keagamaan orang Arso yang terpenting adalah sebutan terhadap Tuhan utamanya, yang mereka puji dan sembah, yaitu Chaimbo, dewa yang dianggap menciptakan dan memiliki langit, bumi dan segala isinya, termasuk manusia dan pada fowor, atau roh. Menurut hirarkinya, Tuhan membawahi tiga makhluk halus, yaitu fowor, atau manusia ruh, keti dan yonggoway. Chaimbo menjelma menjadi mata air, gunung, dan hutan, di samping menjaga agar hak kekuasaannya tidak bisa pindah kepada orang lain. Orang Arso paling takut akan yonggoway, karena roh itu bertugas untuk mencabut nyawa orang.

Sistem keyakinan orang Arso tercantum dalam mitologi mereka. Ada cerita-cerita tentang asal mula terjadinya alam binatang dan tumbuh-tumbuhan, di samping cerita suci tentang air bah besar seperti yang disebutkan dalam kitab Injil orang Kristen (Rombouts, 1957). Cerita-cerita suci lainnya tentang pasangan menusia yang pertama, yaitu seorang pria bernama Towyatuwa dan wanita pernama Ubosuwa, serta anak pria mereka Narowra, yang dapat disamakan dengan tokoh dewa pembawa adat dalam mitologi bangsa-bangsa lain. Narowra-lah yang mengajarkan orang Arso berkebun, mengambil sagu, berburu, mencari ikan, membuat berbagai kerajinan, serta menyanyi dan menari. Kedua bentuk kesenian tersebut amat penting dan malahan merupakan pusat dari hampir semua upacara religi dan adat. Serupa dalam mitologi bangsa-bangsa lain juga, dewa pembawa adat menjadi satu atau erat bekerjasama dengan tokoh dewa yang bersifat dualistik, artinya bersifat baik tapi juga merusak. Dalam mitologi orang Arso, tokoh itu adalah seekor buaya raksasa bernama Watuwa.

Masyarakat Arso mengenal tiga dewa tertinggi, karena itu aktivitas kehidupan mereka selalu dihubungkan dengan fungsi dari ketiga dewa itu dalam perwujudan konkret, berupa berbagai upacara dengan pesta tari-menari tertentu yang disesuaikan dengan adat kebiasaan keret masing-masing.

Tujuan upacara keagamaan orang Arso adalah (1) memintah kesejahteraan keluarga dan keret-keretnya, terutama yang berhubungan dengan aktivitas hidup mereka (2) mengucapkan rasa terima kasih kepada dewa-dewa karena kehidupan mereka baik; (3) minta agar mereka terhindar dari bahaya maut, kecelakaan, atau peperangan. Upacara adat worasyu adalah untuk menyatakan terima kasih kepada fowor, misalnya karena terjadi pengangkatan status sosial dan derajat wanita yang telah memelihara ternak babi, agar di tahun-tahun mendatang hasil peternakan babi mereka lebih banyak lagi. Di samping itu mereka memohon perlindungan dalam jabatannya agar mereka berwibawa dan agar pengaruhnya itu dapat mengimbangi kaum pria.

Bila dilihat dari arti katanya, maka worasyu berasal dari kata oras, yang artinya “induk dari papeda bungkus”, sedang yu berarti “menyanyi”. Jadi worasyu dalam artinya yang pertama, melambangkan rejeki yang berlimpah-limpah, sedang pengertian yang lain adalah pengangkatan status sosial dan derajat wanita yang berhasil memelihara ternak babi yang jumlahnya mencapai 30 sampai 80 ekor. Pemeliharaan babi disebut wotiaken. Besar-kecilnya penyelenggaraan upacara worasyu itu sangat tergantung dari hasil yang diperoleh. Bila hasilnya sedikit, biasanya diadakan upacara sederhana yang disebut worasnasi, yaitu mengadakan penguburan papeda bungus dan tepung sagu sebagai sesajen kepada fowor. Upacara ini biasanya dilakukan di hutan yang berjarak kurang lebih 400-600 meter dari kampung. Upacara worasyu biasanya dilakukan di halaman terbuka, di suatu tempat yang telah disiapkan, yaitu yatia. Di sini biasanya dibuat suatu bangunan yang menyerupai kerucut, bundar dengan garis tengah 20-30 meter. Atapnya terbuat dari daun sagu, seperti juga dindingnya, dan tiang intinya dari kayu besi, tingginya kira-kira 4-5 meter.

Penanggungjawab upacara ini adalah wotaken, yaitu tuan ternak, dibantuk oleh yuskwontor atauondowafi. Para petugas dalam upacara ini adalah seorang pembaca mantra, pengawas yatia, dan seorang pemimpin lagu dan syair selama upacara berlangsung, tokoh-tokoh adat yang bertugas merangkap semua urusan upacara, serta semua kerabat yang datang dari kampung lain maupun warga lain yang diundang.

Adapun atribut-atribut yang penting dalam upacara ini adalah papeda bungkus (worasnasi), tepung sagu mentahatau naa, pisang atau yur, sirih atau fer, kapur atau ku, tifa atau wong, babi, dan burung cendrawasih. Upacara ini berlangsung selama 24 jam, yang dimulaipada sore hari.

Orang Arso mempunyai konsep tentang orang sakti, yaitu orang yang berhubungan dengan seekor buaya sakti (watuwa), yang dalam mitologi menurunkan manusia melalui buah zakarnya. Anak yang dilahirkan Towyatua dan ubosuwa itu dinamakan Narowra, yang merupakan manusia yang mendapat kepercayaan Watuwa untuk meneruskan keturunan buaya sakti itu (Rombouts 1989: hlm. 13-17).

Seperti dalam semua kebudayaan di dunia, orang Arso juga mengenal upacara-upacara yang dilakukan sepanjang daur hidup. Walaupun pemberinan nama dan upacara perkawinan tampaknya tidak banyak mengandung unsur religi, upacara-upacara kematian sebaliknya mengandung banyak unsur religi.

Pada proses sosialisasi biasanya anak pria dan wanita yang sudah berumur 12-13 tahun dipisahkan dari orang tuanya. Mereka harus masuk rumah suling (mum-ja) yang didirikan di luar kampung dan dipagari agar tidak terlihat oleh seorang wanita dan anak-anak. Di rumah inilah anak pria itu diiniasiasi. Sebelum seorang anak laki-laki memasuki mum-ja, orang tua anak tersebut serta paman dari pihak ibunya menyediakan makanan sebanyak-banyaknya untuk pesra dan menjadi pelindung (jarwo) mereka dalam arti kata umum. Apabila suling ditiup, yang dilakukan oleh orang dewasa, maka anak-anak masuk ke dalam mum-ja. Pada waktu itu, mereka diberi waluh (penutup penis) dan noken, serta mendapat nama. Di dalam mum-ja mereka dipukuli dengan pelepah pisang hutan oleh orang-orang dewasa serta ditakut-takuti. Setelah itu mereka disuruh duduk di lantai dan orang-orang dewasa kemudian menyanyi dan meniup suling sambil berpesta pora. Anak-anak dilarang makan pisang, sukun, babi, ikan, pepaya, ubi, dan segala jenis daging, dan hanya boleh makan papeda, sayur, serta ikan-ikan kecil.

Anak-anak yang diinisiasi tinggal dalam mum-ja selama tiga-empat bulan. Di sana mereka diajar meniup suling secara benar dan bagus, cara berburu, dan dikenalkan dengan cerita-cerita mitologi. Menjelang kawin, anak-anak yang masuk mum-ja itu disebut sinbewagi. Biasanya setelah masa inisiasi berakhir, rambut mereka dicukur dan mereka disuruh berbaris di halaman muka mum-ja. Seorang pria dewasa kemudian memanah matahari, dan dengan demikian selesailah sudah masa inisiasi itu. Setelah keluar dari mum-ja, biasanya mereka tinggaldi rumah bujang (jatiya) sampai mereka menikah.

Suatu upacara kematian mengandung sedikit terligi karena mati berarti nyawanya diambil oleh roh yonggoway. Kematian juga bisa disebabkan karena masalah pelanggaran hak ulayat, perzinahan, atau karena pengaruh ilmu sihir orang lain. Biasanya orang meninggal akibat sihir itu. Jenazahnya diminta menunjukkan siapa yang telah membunuhnya. Akibatnya, akan timbul pembalasan dendam yang biasanya berakhir dengan suatu peperangan antar-keret. Setelah itu, jenazah diletakkan di atas sebuah bale-bale di hutan dan ditinggalkan begitu saja. Jalan menuju jenazah itu ditutupi dengan pohon-pohon kecil.

Sumber:
Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Suku Bangsa Ameng Sewang

Ameng Sewang adalah suatu kelompok sosial yang berdiam di sekitar Pulau Belitung dalam wilayah administratif Provinsi Sumatera Selatan. Sumber kepustakaan lama mencatat bahwa orang Ameng Sewang telah berabad-abad lamanya menghuni laut dan pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Ketika pada tahun 1668 kapal Belanda mendarat di Pulau Belitung, awak kapal itu mendapat serangan dari orang Ameng Sewang ini. Jadi mereka pernah mempertahankan Pulau Belitung yang kaya timah itu terhadap pendudukan tentara kompeni abad ke-17 yang lalu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka pernah mempunyai kekuatan yang cukup berarti.

Sumber di atas menunjukkan bahwa pada abad ini jumlah mereka sudah tidak begitu besar lagi. Pada tahun 1950-an jumlah mereka diperkirakan masih ada ribuan kepala keluarga. Akan tetapi jumlah itu rupanya semakin menciut karena seleksi atau tantangan alam di tengah kehidupan di laut yang keras dibandingkan dengan pengetahuan mereka yang masih sederhana dalam menghadapi tantangan itu. Satu keluarga yang sempat mendapat enam orang anak sudah merasa beruntung andai kata ada dua rang anak yan sempat hidup sampai dewasa. Pada tahun 1980 di empat kecamatan Kota Tanjungpandan, Nambalong, Manggar, dan Gantung, diperkirakan jumlah mereka hanya 500 jiwa yang tergabung dalam kira-kira 150 kepala keluarga. Berdasarkan perkiraan di atas orang mengkhawatirkan kelompok ini akan segera punah bila tidak segera diambil langkah penyelamatan.

Kini anggota masyarakat ini bukanlah sebagai masyarakat yang menetap, tetapi hidup di atas perahu dengan berpinah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu pulau ke pulau kecil lainnya di sekitar pulau Belitung. Di sekitar Pulau Belitung ini ada sekitar 120 pulau kecil. Kepindahan mereka berlangsung menurut musim penangkapan ikan. Bila bukan musim ikan mereka menetap buat sementara di sekitar pantai; di sana mereka tinggal dalam perahu atau dalam gubuk-gubuk sementara yang mereka buat sendiri.

Mata pencaharian pokok mereka adalah menangkap ikan dan mencari hasil laut lainna. Alat penangkapan ikan yang digunakan masih sederhana, misalnya pancing dan tombak. Dengan cara dan alat sederhana itu mereka dengan mudah dapat memenuhi kebutuhannya. Mereka yang masih sering disebut sebagai kelompok “masyarakat terasing” itu sudah mengenam minuman bir, ciu, dan jenis minuman keras lainnya. Sejak masa-masa yang lalu mereka memang sudah terbiasa minum tuak nira kelapa. Kebiasaan merokok menjadi kegemaran umum masyarakat ini yang rata-rata sudah memulainya sejak umur yan relatif muda.

Pelukisan tentang orang Ameng Sewang berdasarkan sumber tersebut di atas mungkin merupakan pola umum yang terwujud di masa lalu. informasi lain seperti yang diungkapkan oleh Imansyah Asin dalam Suara Karya (6-11-1982) ternyata kelompok ini tidak cocok lagi disebut sebagai “masyarakat terasing”. Sejak tahun 1954 orang Ameng Sewang telah membangun kampung d Kelurahan Paal I, Kecamatan Tanjungkarang, yang diberi nama “Kampung Laut”. Tidak lama kemudian mereka berbaur dengan anggota suku bangsa lain dan terjadi pula kawin campur. Mereka pun telah memasukkan anaknya ke sekolah yang ada, dan hasilnya ada yang telah menjadi pegawai negeri, karyawan tambang timah, dan perusahaan swasta lainnya. Hasil pemil 1995 yang lalu menyebabkan diangkatnya anggota masyarakat ini menjadi anggota DPRD Tingkat II Belitung. Kini hampir 90 dari orang Ameng Sewang memeluk agama Islam, yang tidak jelas berapa jumla mereka yang telah berbaur dengan warga lainnya di antar 182-189 jiwa (tahun 1988) jumlah penduduk Kabupaten Belitung.

Sumber:
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Motorola Moto Q

Specifications
Motorola Moto Q
Network
2G
GSM 850 / 900 / 1800 / 1900
Size
Dimensions
Weight
Display
116 x 64 x 11.5 mm, 85 cc
115 gram
TFT, 65k colors
320 x 240 pixels, 2.4 inches, 36 x 48 mm
Memory
Phonebook
Call records
Internal
Card slot
Practically unlimited entries and fields, Photocall
Practically unlimited
40 MB
miniSDIO, 128 MB card included
Data
GPRS
HSCSD
EDGE
3G
WLAN
Bluetooth
Infrared port
USB
Class 10 (4+1/3+2 slots), 32 - 48 kbps

Class 10, 236.8 kbps

Wi-Fi 802.11 b/g
v1.2

v1.1 miniUSB
Features
OS
CPU
Messaging
Ringtones
Browser
Radio
GPS
Games
Camera
Video
Colors
Java
Microsoft Windows Mobile 6.0 Standard Edition
32-bit Intel XScale PXA270 312MHz processor
SMS, MMS, Email
Vibration; Downloadable polyphonic ringtones
HTML (Pocket IE)


Yes
1.3 MP, 1280x960 pixels, LED flash
Yes
Black, silver
MIDP 2.0
- QWERTY keyboard
- 5-way navigation button
- Downloadable wallpaper and screensavers
- Loudspeaker with stereo speakers
- WiFi 802.11b/g through miniSDIO (optional)
- MP3/AAC music player
- MP4 video recording & playback
- Voice memo
- Calendar
- Alarm
Battery

Stand-by
Talk time
Standard battery, Li-Ion 1170 mAh
Up to 240 h
Up to 5 h

Image: http://www.letsgomobile.org

Malaysian Tamils and Tamil Linguistic Culture

By Harold F. Schiffman
University of Pennsylvania

The purpose of this paper is to examine the position of Tamil as an ethnic minority and language in Malaysia, and to make some predictions about the prognosis for survival of Tamil in the twenty-first century. Tamils are the largest of the language groups that form the `Indian' minority in Malaysia, which constitutes around 9% of the population, or 1.5 million. Within this number, people classified as Tamil-speaking are about 85%.Below I will deal with the subject of the increasing number of Tamils who are not actually Tamil speakers. In a fairly recent compendium of articles on South Asian immigrants in Southeast Asia (Sandhu and Mani, eds. 1993) over half of the articles are devoted to the question of Indian communities in Malaysia--nineteen out of a total of 37, the rest being devoted to Brunei, Indonesia, Myanmar (Burma), the Philippines, Singapore and Thailand.

All of them see the situation of Indians in Malaysia as somehow problematical, whether it be the preferences given to Bumiputra Malaysians over immigrant Indians, the socio-economic conditions affecting plantation workers or the educational opportunities provided their children. I will try in this talk is to place the issue of Tamil language and language maintenance within the larger scheme of the future of the Indian community in Malaysia, and see whether we can predict a prognosis for the survival of Tamil, and indeed the survival of a Tamil-speaking minority, in Malaysia in the twenty-first century. Contrast this with the articles on Singapore, where the future of Indians in Singapore is described as ``not without promise." (Sandhu 1993:787, op. cit.) . In fact the future of Indians in Singapore may be more secure than the languages spoken by them; what would happen if all Singapore Indians were to become English speakers, and how this would fit the wishes of the Chinese majority is another question. In a sense, this paper will somewhat resemble a book review of that portion of the Sandhu and Mani volume devoted to Malaysia, for it provides the most up-to-date research on the general problems facing Tamils (and other Indian immigrant communities) in Malaysia. What it does not do is to discuss in very great detail the fate of the Tamil language in Malaysia, and here is where I must fill in with my own very inadequate observations.When the request to appear on this panel came, I had hopes to be doing research on the question by means of a Fulbright grant in Malaysia and Singapore; the research clearance for Malaysia came too late for me to do any but the most perfunctory kind of research into this issue, but many of the observations I made in Singapore are pertinent, though one must be careful to not overgeneralize.

Language policy in Malaysia is a topic that cannot be openly discussed without fear of being charged under the Sedition Act of 1948.The policy, as stated in the Constitution (Amendment) Act, 1971, is that the status of Malay as official and other languages as tolerated, ``may no longer be questioned, it being considered that such a sensitive issue should for ever be removed from the arena of public discussion." (Suffian bin Hashim, 1976:324) It is only one of those taboo issues (the place of Islam, the special status of Malays) that may not be discussed in Malaysia, for fear of disturbing certain ethnic sensibilities. Therefore the only writing one finds on the topic of language policy are filiopietistic articles extolling the virtue of the system, its natural fairness, its commitment to building up the national culture, and so forth. It can be described, but it cannot be criticized, so criticism of it will only be made outside the country.

Internal critics must therefore tread lightly. Recently the government of Malaysia itself made some moves that violated, in some people's views, its own policy toward Bahasa Malaysia. That was the proposal, made early in 1994, to allow some science teaching to go on in English, because of the generally low level of knowledge of English among Malaysians (code for: among Malays) which would jeopardize Malaysia's ability to modernize and become an industrialized nation any time soon. The Prime Minister himself defended this proposal, but he had to immediately contend with massive criticism from the association of Malay teachers, who vowed to ``not give an inch" to such a ``drastic" change in the language policy.

That this should cause such a furor must be viewed in terms of the issues it covertly raises. The problem is not that there is an inadequate knowledge of English among Malaysian citizens, such that would jeopardize Malaysia's ability to participate in scientific developments. The problem is that though Malaysians of Indian and Chinese background do quite well in English, and often must seek higher education abroad (though English medium) because they are denied access to Malaysian institutions of higher learning due to the ethnic quotas, the problem is that there are not Malays or Bumiputras whose knowledge of English is adequate. Thus if English-knowing non-Bumiputras are allowed to dominate the scientific fields, even if it would help Malaysia to modernize, this will not help the Malays, so it cannot be allowed to happen. What apparently would be the ideal solution would be a policy to help Malays learn enough English to study science, but not permit this for non-Bumiputras. Such a policy would be too blatantly unfair, and therefore impossible to implement and defend, so it cannot be formulated as such.

My original stated goal for this paper was to establish how the Tamils of Malaysia were maintaining their language in the face of a national language policy that emphasizes integration through Bahasa Malaysia and Islam. Since the Tamils are known for their intense language loyalty in India and Sri Lanka, I was expecting to find that their love of the language and intense language maintenance efforts, manifested in India and Sri Lanka with strong opposition to Hindi, Sanskrit and EnglishThe current antipathy is strongest against Hindi and is known as Hindi etirppu; the opposition to Sanskrit was stronger several decades ago, and the opposition to English is mainly to English loan words being borrowed into Tamil (angliak kalappu), not to English as an instrument or as a language per se. The opposition to Sanskrit has had the effect of ridding the written language of almost all traces of loan words from that language; in the spoken language, where no overt rules are prescribed, Hindi, Sanskrit, English, Portuguese and other loan words abound. would result in effective language maintenance within the Malaysian context. The approach taken by the Tamils is known as corpus planning or corpus treatment by sociologists of language; it is perceived by Tamils to be the most important kind of language maintenance, but in this day and age it may in fact have little relevance in contexts such as Malaysia and Singapore.

Language maintenance in Tamilnadu, and in contested Sri Lanka, also involves status management,I prefer the terms `corpus management' and `status management' to `planning' or `treatment'.and various measures have been undertaken to restrict the domains of Hindi, Sanskrit and English (in Tamilnadu), and Sinhala (in Sri Lanka) so that Tamil can recapture the domains of elementary and secondary education, the media, and so forth. This has been more successful in terms of keeping back Hindi and Sanskrit, but in the case of Sinhala, of course, things have degenerated into civil war. In the case of English, which is perceived in some ways as a buffer against Hindi (and Sinhala) efforts are ambivalent, and many of those who decry angilak kalappu use English and even send their children to English-medium schools. The result is that English is still the main language of higher education in Tamilnadu; in Sri Lanka the battle to replace English with Sinhala, even in higher education, has been much more intense. In India, of course, the central government has no control over local educational policies, so no attempt to impose Hindi as a medium of instruction in Tamilnadu universities and colleges has ever been, or will ever be, attempted.

In Malaysia (and in Singapore) language policy is not set by the Tamils, and Tamils are therefore in the position that Telugu speakers or Kannada speakers are in Tamilnadu: they are a tiny minority, have no say in overall policy formulation, and are suffered to maintain their languages only for elementary education, if there. One of the great weaknesses of Indian language policy is the very weak provisions for language groups who live in territories where they are in the minority. It is fine to be a Telugu speaker in Andhra Pradesh; it is not so fine to be one in Kerala, Karnataka or Tamilnadu, and the constitutional provisions to protect such groups are noticeably without teeth. Each linguistic state, having driven out the perceived oppressor and established its own linguistic regime, turns out to be an even more ferocious oppressor of its own linguistic minority groups.

Malacca - Where History Lives On

By Rozita J. Sekdek

About an hour and a half’s drive from Malaysia’s capital city, Kuala Lumpur, the historical state of Malacca is well-known for its rich and colourful cultural and historical past – which earns it the nickname `Negeri Bersejarah’ (Historical State) - evidence of which can still be found around town and on its streets.

The Legend that is Malacca
The origins of Malacca came about in the late 14th century when a young Srivijayan prince from Sumatra named Parameswara witnessed a mousedeer pushing one of his dogs into the river in self-defense. Impressed by the courage of the seemingly-gentle mousedeer against the ferocious dog, and inspired by its significance of `the weak overcoming the great’, he decided to build an empire right there and then, naming it `Melaka’ (Malacca), after the Melaka tree he was resting under when he witnessed the event.

Under the administration of Parameswara, what was initially a small, sleepy fishing town became the most important port of trade and commerce in the whole Asian region, thanks to its strategic location. Traders from all over the world especially from Java, India, Arabia and China flock to Malacca to trade their goods such as tobacco, gemstones and silk.

Malacca continued to prosper throughout the years, and became the most powerful region in Asia – much envied and sought-after by neighbouring regions. The Siamese’s attempt to invade Malacca was hampered with the help of Malacca's biggest trade partner, China, and Malacca’s relationship with China was further strengthened by the marriage of their princess, Princess Hang Li Poh, to the Sultan, Sultan Mansur Shah, which gave rise to one of the most ancient lineages of Malacca, the Peranakan line, to which the `Baba-Nyonya’ community belongs.

Malacca was eventually conquered by the Portuguese in 1511, under the leadership of Alfonso de Albuquerqe, who made it a strategic base for Portuguese expansion in the East Indies. The Sultan at the moment, who was also the last Sultan of Malacca, Sultan Mahmud Shah, fled to Sumatra. In 1641, the Dutch defeated the Portuguese and took over, who then handed it over to the British in exchange for a region in Sumatra. Many of the influences from the era of the Western invasion can still be seen around Malacca today, such as the A’ Famosa fort and the red Stadthuys buildings.

Malacca is also home to the legend of Hang Tuah, the greatest warrior in Malay history.

Historical Attractions of Malacca
There are many relics still standing all over the state of Malacca - symbols of Malacca’s rich historical past:

The Stadthuys Building
Built in the 17th century, The Stadthuys Building was the official residence of the Dutch Governer and his deputy, and is a fine example of Dutch architecture. It is now home to the Museum of History and Ethnography, which houses traditional wedding costumes and historical artefacts. The Christ Church is located nearby, housing hand-crafted church benches, jointless ceiling skylights and a replica of `The Last Supper’.

Fort A’ Famosa
An important relic from the Portuguese era, Fort A’ Famosa was built in the 16th century and had suffered a sizeable damage to its original structure during the Dutch invasion. The fort was saved from complete destruction - there were plans for absolute demolition of the fort by the British colony - by the intervention of Sir Stamford Raffles, who decided that it should be preserved.

Portuguese Square
Also known as `Mini Lisbon’, Portuguese Square represents the Portuguese culture in its full splendour. It is located within the Portuguese settlement of Malacca, and during Fiesta San Pedro, this area comes to life with Portuguese-style entertainment and celebrations. Portuguese restaurants selling authentic Portuguese dishes can also be found here.

Jonker’s Street
Jonker’s Street, otherwise known as `Jalan Hang Jebat’, is filled with buildings and settlements that reflect the Baba-Nyonya rich cultural heritage, with immaculately-constructed façade and elaborately-carved pillars and panels. This street is also famous for its antique shops, and is the perfect shopping spot for visitors wanting to bring home a piece of Malacca with them.

Bukit China
Bukit China or China Hill was the original settlement for the Chinese migrants who came with Princess Hang Li Poh’s entourage, where the Sultan of Malacca had built a palace for himself and his new bride on top of the hill. Nowadays, the hill is home to an extensive Chinese graveyard, some dating back as far as the Ming Dynasty.

There are many other interesting historical sites around Malacca such as the Baba & Nyonya Heritage Museum on Jalan Tun Cheng Lock, St. John’s Fort, St. Paul’s Church, Sam Po Kong Temple, Cheng Hoon Teng Temple and Kampung Keling Mosque, as well as a replica of the Sultan of Malacca’s palace at the foot of St. Pauls’ Hill, of which design was based on the description of the palace taken from the 16th-century Sejarah Melayu (The Malay Annals), providing a glimpse of the ancient royal kingdom that had once resided in Malacca.

Malacca is best experienced on foot or via the many cheap and cheerful rickshaws available all over town.

Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive