Pelanduk dengan Macan

Alkisah, ada seekor kerbau yang selalu dikejar oleh sang raja hutan (macan) untuk dijadikan mangsa. Setelah beberapa hari “bermain” kejar-kejaran dengan sang macan dan tidak sempat makan, maka sang kerbau pun akhirnya menghentikan larinya. Dan saat sang macan berada di hadapannya dan telah bersiap untuk menerkam, sang kerbau pun berkata, “Hai raja hutan, apakah engkau akan tetap memakanku walau dagingku tinggal sedikit?”

“Iya. Kenapa?” tanya sang macan.

“Bukankah akan lebih enak apabila engkau memakanku saat aku dalam keadaan gemuk?” kata sang kerbau.

“Hmm…seharusnya memang begitu. Tetapi aku sudah beberapa hari tidak makan. Aku lapar,” kata sang macan.

“Bukankah masih banyak binatang lain yang ada di hutan,” kata kerbau.

“Maksudmu?” tanya sang macan.

“Maksudku, biarkanlah aku makan sebanyak-banyaknya terlebih dahulu. Dan, setelah aku menjadi gemuk, engkau dapat memakanku. Pasti dagingku akan terasa enak sekali. Nah, sementara aku menggemukkan badan, engkau dapat memakan binatang lain dahulu agar engkau tidak kelaparan,” kata kerbau.

Setelah berpikir sejenak akhirnya sang macan pun berkata, “Baiklah kalau begitu. Engkau aku beri waktu selama satu tahun untuk menggemukkan badanmu. Dan setelah satu tahun engkau harus menyerahkan dirimu di tempat ini. Aku akan menunggumu!”

“Baiklah kalau begitu,” kata sang kerbau dengan senang hati karena ia masih dapat hidup sekitar satu tahun lagi.

Singkat cerita, selama hampir satu tahun sang kerbau dapat kembali hidup bebas tanpa ada seekor pun binatang yang mengganggunya. Namun beberapa hari menjelang perjanjiannya dengan sang macan berakhir, sang kerbau pun menjadi gelisah dan murung. Ia tidak tahu harus berbuat apa dan hanya bisa pasrah apabila sang macan menghendaki dagingnya.

Pada saat sang kerbau sedang memikirkan nasibnya, tiba-tiba lewatlah seekor pelanduk. Sang pelanduk yang melihat kerbau sedang murung lalu menghampirinya dan bertanya, “Hai kerbau, mengapa wajahmu terlihat murung?”

“Aku sedang memikirkan nasibku yang sebentar lagi harus menjadi santapan sang macan,” jawab kerbau.

“Loh, bukankah engkau dapat melarikan diri apabila sang macan akan menerkamu?” tanya pelanduk.

“Aku tidak dapat melarikan diri darinya, karena kami telah mengadakan suatu perjanjian,” jawab sang kerbau

“Perjanjian apakah itu?” tanya pelanduk penasaran.

“Dahulu, aku pernah hendak diterkam olehnya. Namun aku berhasil membujuknya agar tidak jadi memakanku dengan alasan tubuhku masih terlalu kurus. Kemudian, aku mengusulkan agar ia memberiku waktu satu tahun untuk menggemukkan badanku. Ia pun menyetujuinya,” jawab Kerbau.

“Lalu kenapa engkau menjadi sedih? Bukankah masih ada waktu satu tahun lagi?” tanya sang pelanduk.

“Satu hari lagi perjanjian itu tepat satu tahun. Aku harus menyerahkan nyawaku kepada sang macan,” jawab kerbau dengan sedih.

Setelah berpikir sejenak, sang kancil pun berkata, “Aku dapat menolongmu asalkan engkau mau melakukannya.”

“Apapun yang kau suruh akan aku lakukan,” jawab sang kerbau dengan penuh harap.

“Engkau harus merobohkan pohon ampulajeng yang ada di sampingmu itu. Nanti apabila sang macan datang, engkau harus berada di samping pohon itu dan pura-pura tidur mendengkur. Aku yang akan menghadapi sang macan,” jawab pelanduk.

“Baiklah kalau begitu. Aku harap besok pagi-pagi sekali engkau telah berada di sini untuk menemaniku,” jawab sang kerbau.

“Ya,” jawab sang pelanduk sambil berjalan perlahan meninggalkan sang kerbau.

Singkat cerita, keesokan harinya sebelum matahari terbit mereka bertemu kembali di dekat pohon ampulajeng yang telah dirobohkan oleh kerbau. Tidak berapa lama kemudian datanglah sang macan sambil meraung-raung mencari kerbau. Ia ingin menagih janji sang kerbau yang akan menyerahkan diri untuk disantap.

Saat sang macan telah berada di dekat pohon ampulajeng, tiba-tiba muncul sang pelanduk sambil berkata, “Wah, sungguh beruntung aku hari ini. Belum lagi habis macan tua aku makan, datang lagi macan muda membawa dirinya.”

Sang Macan terkejut, lalu bertanya, “Hai, siapa engkau itu? Baru kali ini saya mendengar ada yang berani memakan macan selain La Pitunreppa Wawo Alok”.

“Saya La Pitunreppa Wawo Alok,” jawab pelanduk dengan mantap.

Mendengar kata-kata si pelanduk tersebut, sang macan langsung lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu. Ia berlari menuju ke rumah Nenekpakande yang terkenal amat sakti.

Melihat sang macan yang terengah-engah, Nenekpakande pun berkata, “Ada apakah gerangan. Mengapa nafasmu terengah-engah hai macan?”

Tanpa berbasa-basi lagi sang macan langsung berkata, “Hai Nenekpakande, kalau engkau masih ingin hidup, marilah kita melarikan diri. Sebab, saya baru saja bertemu dengan La Pitunreppa Wawo Alok yang baru saja memakan macan tua.”

“Cih, mau saja engkau ditakut-takuti. Ayo kita kembali lagi ke sana, biar saya yang menghadapinya,” kata Nenekpakande.

“Aku sudah sangat takut untuk kembali lagi. Namun apabila engkau ingin menemuinya aku akan menunjukkan tempatnya saja,” kata sang macan sambil gemetaran.

“Eit, tidak bisa begitu. Kita harus bersama-sama agar dapat saling menjaga” kata Nenekpakande.

“Tidak. Aku takut kau akan meninggalkanku ketika telah sampai di sana,” jawab Macan.

“Jika engkau tidak percaya, ikatkan tali pinggangku ini ke tubuhmu. Kalau aku lari, lari juga engkau. Dan kalau engkau mati, aku pun akan mati,” jawab Nenekpakande.

“Baiklah kalau begitu,” jawab macan sambil mengikatkan tali pinggang milik Nenekpakande ke tubuhnya dan mereka langsung menuju ke tempat si pelanduk.

Pada waktu mereka sampai di tempat sang pelanduk, sambil berdiri di atas pohon ampulajeng sang pelanduk berkata, “Sungguh suatu kebetulan engkau datang hari ini Nenekpakande. Aku telah menunggumu dari kemarin karena engkau masih berhutang tujuh ekor macan kepadaku. Namun, mengapa engkau hanya membawa seekor hari ini?”

Mendengar kata-kata si pelanduk tersebut, sang macan menjadi marah karena mengira Nenekpakande telah mengumpankan dirinya pada La Pitunreppa Wawo Alok. Ia pun kemudian langsung menyerang Nenekpakande sehingga terjadilah perkelahian yang sangat hebat diantara mereka berdua. Dan, dalam perkelahian tersebut akhirnya sang macan dan Nenekpakande tewas secara bersamaan. Alhasil, sang kerbau pun akhirnya terbebas dari marabahaya dan dapat hidup dengan tenang.

Sumber:
Diadaptasi bebas dari
Rasyid, Abdul dan Muhammad Abidin Nur. 1999. Cerita Rakyat Daerah Wajo di Sulawesi Selatan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive