BMW R68 (1954)

Technical Specifications
Engine
Engine type
Bore x Stroke
Displacement
Valves
Compression ratio
Max Power
Max Torque
Carburation system
Transmission
Final drive
Clutch
Ignition type
Starting system
Lubrication
Gear ratios

four-stroke, two-cylinder, air-cooled boxer
72 x 73 mm (2.83 X 2.87 inches)
594 cm3 (34 inches3)
OHV
8.0:1
35 hp @ 7,000 rpm
-
2 Bing 1/26/9 - 1/26/10
4-speed
-
single disc saucer spring, dry
magneto ignition
Kick starter
Forced feed lubrication
4.00 / 2.28 / 1.7 / 1.3
Dimensions
Frame type
Overall length
Overall width
Overall height
Wheelbase
Seat height
Ground clearance
Weight
Fuel capacity
Suspension (front)
Suspension (rear)
Tyre (front)
Tyre (rear)
Brake (front)
Brake (rear)

Double-loop steel tubular frame
2130 mm
725 mm
985 mm
1400 mm
-
-
190 kg
17 litres
Telescopic fork
Telescopic (plunger) suspension
3.50 x 19
3.50 x 18 ( at sidecarbetrieb hinten 4 x 18)
Drum brake Ø 200mm diameter duplex
Drum brake Ø 200mm diameter duplex

Source: http://motos.home.att.net

BMW R63 (1928)

Technical Specifications
Engine
Engine type
Bore x Stroke
Displacement
Valves
Compression ratio
Max Power
Max Torque
Carburation system
Transmission
Final drive
Clutch
Ignition type
Starting system
Lubrication
Gear ratios

4-stroke, 2 cylinder flat twin
83 x 68 mm
735cc
OHV
6.2:1
24 hp @ 4,000 rpm
-
1 carburettor, type BMW Spezial 2 valve 24 mm
3-speed
-
Single plate, dry-two plates from engine No. 75845
Bosch high voltage magneto ignition
-
Forced feed lubrication
2.83 / 1.55 / 1.08
Dimensions
Frame type
Overall length
Overall width
Overall height
Wheelbase
Seat height
Ground clearance
Weight
Fuel capacity
Suspension (front)
Suspension (rear)
Tyre (front)
Tyre (rear)
Brake (front)
Brake (rear)

Twin loop steel tubular frame
2100 mm
800 mm
950 mm
1400 mm
770 mm
130 mm
152 kg
12.5 litres
Plate spring, 6 laminae
Rigid
26x3.5 on 19x3
26x3.5 on 19x3
Drum brake 200 mm
External shoe brake at the gearing on Cardan shaft

Image: http://www.flickr.com
Source:
http://www.bmbikes.co.uk

BMW R65 (1978)

Technical Specifications
Engine
Engine type

Bore x Stroke
Displacement
Valves
Compression ratio
Max Power
Max Torque
Carburation system
Transmission
Final drive
Clutch
Ignition type
Starting system
Lubrication
Gear ratios

4-stroke, 2 cylinder horizontally opposed
"Boxer" engine, air cooled
82 x 61.5 mm
649.6cc
-
9.2:1
45 hp @ 7,250 rpm
50 kgm @ 5,500 rpm
2 constant depression carburettors
5-speed
-
Dry single plate with diaphragm spring
Battery engine
Electric starter
Wet sump
-
Dimensions
Frame type
Overall length
Overall width
Overall height
Wheelbase
Seat height
Ground clearance
Weight
Fuel capacity
Suspension (front)
Suspension (rear)
Tyre (front)
Tyre (rear)
Brake (front)
Brake (rear)

Double loop tubular frame with bolt on rear section
2110 mm
688 mm
1090 mm
1390 mm
770 mm
130 mm
205 kg
22 litres
Telescopic fork with hydraulic shock absorber
Long swinging arm with adjustable strut
3.25 S 18
4.00 S 18
Single disc, 260 mm
Drum, 240 mm

Image: http://www.suraklyn.com
Source:
http://www.bmbikes.co.uk

Ducati 999R

Technical Specifications
Engine
Engine type

Bore x Stroke
Displacement
Valves
Compression ratio
Max Power
Max Torque
Fuel system
Transmission
Final drive
Clutch
Ignition type
Starting system
Lubrication
Gear ratios

Twin-cylinder L-configuration, Desmodromic timing,
liquid cooled
104 x 58.8 mm
999cc
4 valves per cylinder
12.0:1
150 HP @ 9,750 rpm
11.9 kgm @ 8,000 rpm
-
6-speed
Chain
Multi-disk
IAW 5M2
Electric starter
dry sump
First 15/37;
Second 17/30;
Third 20/28;
Fourth 22/26;
Fifth 23/24;
Sixth 24/23
Dimensions
Frame type
Overall length
Overall width
Overall height
Wheelbase
Seat height
Ground clearance
Weight
Fuel capacity
Suspension (front)
Suspension (rear)
Tyre (front)
Tyre (rear)
Brake (front)
Brake (rear)

steel tubing, trestle-type
2095 mm
730 mm
1255 mm
1420 mm
780 mm
125 mm
181 kg
- litres
Telescopic fork (upside-down)
Swing arm
rim MT 3.50x17” tyre 120/70 17
rim MT 5.50x17” tyre 190/50 17
Double disc, 320 mm
Single disc, 240 mm

Image: http://img136.imageshack.us
Source: http://www.webbikeworld.com

Mencari Kedamaian Melalui Budaya Spiritual

Oleh Wardoyo Sugianto

Pengantar
Tulisan ini hanyalah merupakan catatan-catatan kecil yang berisi uraian-urian singkat tentang beberapa pengertian/definisi yang berkaitan dengan judul tersebut di atas, dan dimaksudkan hanya sebagai pegangan tertulis dalam mendengarkan uraian saya selanjutnya.

Budaya/Kebudayaan
Secara umum dalam arti yang sederhana pengertian kebudayaan menurut Prof Dr Soekmono adalah : segala hasil cipta, rasa dan karsa manusia.

Akan tetapi pengertian ini sangatlah luas cakupannya sehingga cukup memingungkan dan mungkin agak rancu untuk memahaminya.

Secara lebih rinci Soekmono dalam bukunya Sejarah Kebudayaan Indonesia menyebutkan pengertian istilah kebudayaan sbb :

Segala ciptaan manusia, yang sesungguhnya hanyalah hasil usahanya untuk mengubah dan memberi bentuk serta susunan baru kepada pemberian Tuhan sesuai dengan kebutuhan jasmani dan rokhaninya, itulah yang dinamakan kebudayaan. Maka pada hakekatnya kebudayaan itu mempunyai dua segi, bagian yang tak dapat dilepaskan hubungannya satu sama lain yaitu :

1. Segi kebendaan, yang meliputi segala benda buatan manusia sebagai perwujudan dari akalnya. Hasilnya dapat diraba.

2. Segi kerokhanian, yang terdiri atas alam pikiran dan kumpulan perasaan yang tersusun teratur. Keduanya tak dapat diraba, hanya penjelaannya saja yang dapat difahami dari segi keagamaan, kesenian, kemasyarakatan dan sebagainya.

Spiritual
Istilah yang berasal dari bahasa Latin : Spiritus, roh, dan berarti yang serba roh, yang berkaitan dengan masalah kerokhanian.

Animisme
Berasal dari bahasa latin: anima, nyawa, roh. Diartikan sebagai kepercayaan akan adanya roh-roh atau nyawa-nyawa; manusia mempunyai roh yang hidup terus sesudah ia mati (arwah); selain daripada itu seluruh alam pun bernyawa. Pohon, gunung, sungai, laut, bintang-binatang mempunyai nyawa. Animisme ini terkadang sukar dibedakan dengan polytheisme, sedangkan istilah animisme ini sendiri adalah ciptaan E.B. Tylor (1832-1917), ahli ethnology yang sampai sekarang tetap berpengaruh.

Dinamisme
Istilah yang digunakan untuk menamai kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan gaib yang terdapat dalam alam semesta ini.

Ethic
Kata ethic berasal dari bahasa Yunani ethos yang mengandung arti : watak, kesusilaan atau adat. Dalam bahasa Indonesia istilah ini lebih dikenal sebagai etika, yang hampir sama dengan moral dan berarti cara hidup atau adat.

Juga dijelaskan bahwa ethic dimaksudkan pula sebagai kumpulan azas atau nilai yang berkaitan dengan akhlak. Begitu pula ethic dijelaskan sebagai nilai mengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Dalam hal ini, nilai yang dianggap benar oleh suatu golongan/masyarakat yang satu belum tentu dianggap benar oleh golongan/masyarakat yang lain, karena masing-masing mempunyai kriteria tersendiri untuk menentukan nilai-nilai yang dianutnya.

Untuk menentukan segala sesuatu yang baik dan yang buruk, di dalam masyarakat perlu adanya norma yang dijadikan acuan. Norma merupakan aturan, ukuran atau pedoman untuk menentukan mana yang dianggap baik atau buruk, salah atau benar. Ada tiga buah norma yang berlaku dalam masyarakat yaitu : sopan-santun, hukum dan moral.

Norma sopan-santun berkaitan dengan kebiasaan/adat-istiadat dan bisa berubah sesuai dengan kebutuhan/perkembangan jaman.

Norma hukum terdiri dari pidana dan perdata yang masing-masing mempunyai sangsi tersendiri.

Norma moral adalah nilai-nilai yang ada hubungannya dengan moral/kebiasaan, dan yang paling peka hubungannya dengan norma moral biasanya adalah masalah-masalah seksual.

Pengertian lain mengenai ethica adalah : ilmu/filsafat tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana patutnya hidup dalam masyarakat, apa yang baik dan apa yang buruk; segala ucapan senantiasa harus berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan tentang peri keadaan hidup dalam arti kata seluas-luasnya.

Sering juga dikatakan bahwa ethica adalah sebuah pengetahuan yang mempelajari konsep-konsep nilai dari alam secara sistematik, sepertia apa yang dimaksud dengan : baik, buruk, sukar, salah dan sebagainya, serta penerapannya untuk dipakai dalam prinisp-prinsip umum yang digunakan sehari-hari.

Mawas Diri
Mawas Diri adalah kata-kata bahasa Jawa yang kemudian secara umum dinaturalisasikan ke dalam bahasa Indonesia, yang mempunyai pengertian : meninjau ke dalam pribadi sendiri, ke dalam hati nurani guna mengetahui benar tidaknya serta dapat dipertanggungjawabkan atau tidaknya suatu tindakan yang telah dilakukan seseorang.

Secara teknis psikologis usaha tersebut dapat dinamakan introspeksi, yang pada dasarnya adalah pencarian tanggung jawab ke dalam hati nurani tentang suatu perbuatan.

Namun dalam masyarakat Penghayat Keperayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa mawas diri itu merupakan pemantapan sikap dalam kehidupan sehari-hari, sehingga bersifat mendasar, bukan sekedar insidental saja.

Manfaat dari mawas diri adalah pertama-tama sebagai pengamanan preventif dan selanjutnya untuk mencari jawaban atas persoalan yang dihadapinya, antara lain apakah suatu perbuatan yang akan dilakukannya atau suatu tindakan yang telah diambilnya secara moral dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan.

Jawaban akan diperoleh dengan jalan menelaah hati nurani yang selalu dekat dengan tuntunan kesucian.

Mawas diri dewasa ini telah demikian kokoh kedudukannya di dalam perbendaharaan kata Indonesia dan sudah demikian meluas pula dalam pemakaiannya di dalam bahasa Indonesia, sehingga hampir-hampir tak terasa lagi istilah yang sebenarnya berintikan penghayatan rohani yang mewarnai sikap masyarakat Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Mawas diri ini dihayati dalam masyarakat Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sejak jaman dahulu.

Kegiatan mawas diri, mulat sarira atau introspeksi merupakan suatu yang hanya dapat didekati dengan rasajati masing-masing dan bukan semata-mata dengan pikiran logisnya.

Namun dalam pola berpikir secara bermoral di dalam masyarakat kita terdapat juga anjuran penerapan mawas diri ini, karena masyarakat percaya akan arti dan manfaat positif dari kebiasaan untuk mawas diri.

Sangkan Paraning Dumadi
Ciri paling utama Kejawen adalah sifatnya yang religius. Orang Jawa pada umumnya percaya tentang adanya Tuhan. Munculnya pandangan tentang sangkan paraning dumadi tentunya juga dikarenakan sifat budaya Kejawen yang religius tadi. Sangkan paraning dumadi adalah kata-kata bahasa Jawa yang berarti : asal dan tujuan segala sesuatu yang ada di dunia ini. Menurut pandangan Jawa, manusia dan segala yang ada di alam semesta ini berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena kita berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan, maka agar kembalinya tidak salah alamat, kita harus berjalan di atas rel yang merupakan jalan yang sudah disediakan Tuhan.

Pandangan bahwa Tuhan merupakan sangkan paraning dumadi tampak dari bunyi salah satu bait tembang Dhandhang Gula seperti di bawah ini :

Saking pundi kawitane nguni
Manungsa kutu walang ataga
Kang gumelar ngalam kiye
Sayekti kabeh iku
Mesthi ana ingkang nganani
Yeku Kang Karya Jagad
Ingkang Maha Agung
Iku kang dadi sangkannya
Iya iku kang dadi paranireki
Sagunging kang dumadya

(Dari mana asal-mulanya dulu
Manusia dan segala makhluk
Segala yang ada di alam ini
Sebenarnyalah semua itu
Pasti ada yang mengadakan
Yaitu Pencipta Alam Semesta
Tuhan Yang Maha Agung
Itulah asal-mula
Dan itulah pula tujuan akhir
Dari semua yang ada)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa manusia dan segala makhluk yang ada di alam semesta ini berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan.

Selanjutnya masih ada satu bait tembang Dhandhang Gula lagi yang dapat lebih memperjelas makna sangkan paraning dumadi ini yaitu :

Kaweuhanan sejatining urip
Manungsa urip ana ing donya
Prasasat mung mampir ngombe
Umpama manuk mabur
Oncat saking kurunganeki
Ngendi pencokan benjang
Ywa kongsi kaliru
Umpama wong lunga sanja
Njan-sinanjan nora wurung
Mesthi mulih
Mulih mula-mulanya

(Ketahuilah perihal hidup sejati
Manusia hidup di dunia
Ibarat hanya singgah untuk minum
Ibarat burung terbang
Lepas tinggalkan kurungan
Di mana nanti hidup
Janganlah keliru
Ibarat orang bertandang
Saling tengok toh akhirnya
Harus pulang
Pulang ke asal-mula)

Dari bait tembang tersebut di atas dapat kita ketahui bahwa hidup ini menurut pandangan Jawa sangat singkat. Ungkapan prasasat mung mampir ngombe (ibarat hanya singgah untuk minum) sangat tepat untuk menggambarkan betapa singkatnya waktu yang harus dijalani manusia dalam hidupnya. Oleh karena hanya sebentar, maka waktu yang tiidak lama tadi harus digunakan dengan sebaik-baiknya agar bila ro kita lepas dari raganya tidak keliru “tempat hinggapnya” kelak. Mengapa demikian karena “tempat hinggap” tadi ditentukan oleh amal dan perbuatan kita selama hidup di dunia. Kalau kita selalu berbuat seperti apa yang dikehendaki Tuhan tentulah kita akan menemukan “tempat hinggap” yang benar, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini perlu mendapat perhatian, karena bila hidup ini diibaratkan orang bertandang ke rumah orang lain, suatu saat pasti akan kembali pulang ke asalnya.

Menarik bahwa pengetahuan tentang sangkan paraning dumadi ini menurut Franz Magnis Suseno Sj dapat dijelaskan melalui kisah Dewaruci yang memuat inti kebijaksanaan mistik Jawa, yaitu pengertian bahwa manusia harus sampai pada “sumber air hidupnya” apabila ia mau mencapai kesempurnaan, dan dengan demikian sampai pada realitasnya yang paling mendalam. Sumber air itu tidak ditemukan dalam alam di luar diri manusia, melainkan berada di dalam diri manusia itu sendiri sebagaimana dilambangkan oleh Dewaruci yang berbentuk kecil mirip dengan Bima. Kemiripan Dewaruci dengan Bima menunjukkan bahwa Dewaruci sendiri sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing, melainkan batin Bima sendir. Sesudah memasuki batinnya sendiri Bima teringat bahwa pada dasar hakekatnya ia berasal-usul Illahi.

Dalam ingatan itu ia kembali menghayati kesatuan hakikinya dengan asal-usul Illahi itu, kesatuan hamba dengan Tuhan. Melalui kesatuan itu manusia mencapai apa yang oleh orang Jawa disebut kawruh sangkan paraning dumadi yang berarti : pengetahuan tentang asal (sangkan) dan tujuan (paran) segala apa yang diciptakan (dumadi).

Mulat Sarira Hangrasa Wani

Rahayu,
Yogyakarta, 29 Juni 2009
Wardoyo Sugianto

Sumber:
Makalah disampaikan dalam Dialog Budaya Spiritual DIY di Wisma PU Yogyakarta, 29-30 Juni 2009 yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.

Samsung B3210 CorbyTXT

Specifications
Samsung B3210 CorbyTXT
Network2G
3G
GSM 850 / 900 / 1800 / 1900
SizeDimensions
Weight
Display
112 x 59.6 x 12.9 mm
94 gram
TFT, 256K colors
220 x 176 pixels, 2.2 inches (~128 ppi pixel density)
MemoryPhonebook
Call records
Internal
Card slot
1000 entries, Photocall
Yes
40 MB
microSD, up to 8 GB
DataGPRS
EDGE
3G
WLAN
Bluetooth
Infrared port
USB
Class 10 (4+1/3+2 slots), 32 - 48 kbps
Class 10, 236.8 kbps


v2.1 with A2DP

microUSB v2.0
FeaturesOS
CPU
Messaging
Ringtones
Browser
Radio
GPS
Games
Camera
Video
Colors
Java


SMS, MMS, Email, IM
Vibration, MP3 ringtones
WAP 2.0 / xHTML, HTML
Stereo FM radio with RDS, FM recording

Yes
2 MP, 1600x1200 pixels
QCIF
Black
MIDP 2.0
- Loudspeaker
- 3.5mm jack
- QWERTY keyboard
- Fashion Jackets (changeable battery covers)
- MP3/eAAC+/WMA player
- MP4/H.263 player
- Organizer
- Voice memo/dial
- Predictive text input
- Clock
- Calendar
- Alarm
Battery
Stand-by
Talk time
Standard battery, Li-Ion 800 mAh
Up to 390 h
Up to 7 h 30 min

Image: http://www.gsmarena.com/samsung_b3210_corbytxt-pictures-2943.php

Samsung Vodafone 360 H1

Specifications
Samsung Vodafone 360 H1
Network2G
3G
GSM 850 / 900 / 1800 / 1900
HSDPA 2100
SizeDimensions
Weight
Display
115.9 x 58 x 12.9 mm
134 gram
AMOLED capacitive touchscreen, 16M colors
480 x 800 pixels, 3.5 inches (~267 ppi pixel density)
MemoryPhonebook
Call records
Internal
Card slot
Yes, Photocall
Yes
16 GB
microSD, up to 16 GB
DataGPRS
EDGE
3G
WLAN
Bluetooth
Infrared port
USB
Class 10 (4+1/3+2 slots), 32 - 48 kbps
Class 10, 236.8 kbps
HSDPA
Wi-Fi 802.11 b/g
v2.0 with A2DP

microUSB v2.0
FeaturesOS
CPU
Messaging
Ringtones
Browser
Radio
GPS
Games
Camera
Video
Colors
Java
LiMo OS
600 MHz Cortex-A8, PowerVR SGX
SMS, MMS
Vibration; Polyphonic(64), MP3 ringtones
HTML
Stereo FM radio with RDS
A-GPS support
Yes
5 MP, 2560 x 1920 pixels, autofocus, LED flash
HD 720p@30fps
Silver, black
MIDP 2.0
- Loudspeaker
- 3.5mm jack
- 3D user interface
- MP3/video player
- Organizer
- Clock
- Calendar
- Alarm
Battery
Stand-by
Talk time
Standard battery, Li-Ion
Up to 460 h
Up to 10 h (2G)/6 h 40 min (3G)

Image: http://mobile.ffmobile.com/mobile/vodafone-360-h1/10003453

Permainan Harimau dan Kancil (Kuansing, Riau)

Harimau dan kancil adalah suatu permainan yang berasal dari Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau. Penamaan permainan ini ada kaitannya dengan tingkah laku atau perbuatan yang dilakukan para pemain itu sendiri, khususnya pemain yang berperan sebagai harimau dan kancil. Selama permainan berlangsung, para pemainnya akan berbaris membentuk lingkaran untuk menghadang “harimau” yang akan menerkam “kancil”. Barisan tersebut diibaratkan sebagai “pagar” agar “harimau” tidak dapat menerkam “kancil” yang ada di dalamnya.

Awal mula permainan ini, konon berasal dari orang tua-tua yang hendak memberi pemahaman kepada anak-anak tentang binatang (harimau), yang dahulu masih sering terlihat di sekitar hutan yang berdekatan dengan perkampungan mereka. Harimau dianggap sebagai binatang buas yang makanannya adalah kancil, rusa, babi hutan dan lain sebagainya. Sewaktu mencari makan tersebut, terkadang hingga ke tepi hutan yang berbatasan dengan perkampungan penduduk. Harimau yang mendekati perkampungan itu dikhawatirkan akan memakan anak-anak, karena dianggap seperti kancil atau rusa yang merupakan makanannya sehari-hari. Warga yang merasa khawatir apabila harimau menerkam dan memakan anak-anak mereka, kemudian menciptakan suatu permainan bagi anak-anak yang berkaitan dengan tingkah laku binatang tersebut, agar anak-anak selalu waspada terhadap binatang tersebut.

Permainan Harimau dan kancil sebenarnya hampir mirip dengan permainan tan besi yang ada di daerah Maluku Utara, hanya “sejarahnya” saja yang beda. Pada tan besi, permainan diadakan pada malam hari, yang bertujuan untuk menjaga lingkungan sekitarnya dari gangguan penjahat yang mungkin akan datang secara tiba-tiba. Para pemainnya pun bukan hanya anak-anak, melainkan juga oleh remaja dan orang tua.

Pemain
Pemain Harimau dan Kancil ini berjumlah 10--40 orang. Permainan ini dapat dilakukan secara bersama-sama oleh anak laki-laki dan perempuan yang berusia antara 7--12 tahun. Dari sekian banyak pemain tersebut, hanya dua orang diantara mereka yang akan berperan sebagai harimau dan kancil. Pemain yang dipilih untuk menjadi harimau, adalah orang yang dianggap kuat dan memiliki postur tubuh yang lebih besar daripada pemain yang berperan sebagai kancil. Sedangkan pemain lainnya akan membentuk barisan melingkar sebagai pagar bagi kancil agar harimau tidak mudah masuk.

Tempat Permainan
Permainan ini dapat dilakukan di halaman sekolah, (pada waktu istirahat) atau di halaman rumah pada sore hari, sambil menunggu datangnya magrib.

Peralatan Permainan
Permainan Harimau dan Kancil tidak memerlukan peralatan apapun untuk memainkannya. Para pemain hanya menggunakan anggota tubuh mereka sebagai “alat” untuk menyerang (bagi harimau) dan membentuk “pagar” (bagi pemain lainnya) agar harimau tidak dapat menangkap kancil.

Peraturan Permainan
Peraturan permainan ini tergolong mudah yaitu, apabila harimau dapat menerobos “pagar” dan menangkap kancil, maka ia dinyatakan menang.

Jalannya Permainan
Proses permainan Harimau dan Kancil dimulai dengan membuat “pagar” yang dilakukan oleh sejumlah pemain dengan berbaris melingkar dan berpegangan tangan. Di tengah-tengah lingkaran ini terdapat pemain yang berperan sebagai kancil. Setelah pagar terbentuk, harimau datang dengan cara mengendap-endap ke dekat “pagar”. Lalu, ia akan melompat-lompat dan mencari celah, sambil sesekali mengaum, agar dapat masuk dan menerkam kancil. Pada saat harimau tersebut mengaum, biasanya para penonton akan tertawa melihat tingkah kancil yang berlari ketakutan di dalam “pagar”. Setelah itu, harimau akan berusaha sekuat tenaga untuk menerobos “pagar”. Jika berhasil menembus, “pagar” akan terpecah dan harimau nantinya akan mengejar kancil di luar “pagar”. Pengejaran yang dilakukan oleh harimau tergantung dari gesit atau tidaknya pemain yang berperan sebagai kancil. Apabila pemeran kancil gesit dalam berlari, maka kejar-mengejar akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Sedangkan apabila pemain kancil tidak terlalu gesit, maka harimau dapat dengan mudah menangkapnya dan permainan akan berakhir. Permainan akan dimulai lagi setelah peserta, secara aklamasi, menentukan pemeran harimau dan kancil yang baru.

Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan yang disebut sebagai Harimau dan Kancil adalah: kerja keras, kerja sama dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari semangat pemeran harimau yang berusaha sekuat tenaga untuk menangkap kancil. Kerja keras juga terlihat dari semangat barisan “pagar” yang berusaha untuk menghalangi harimau menangkap kancil. Nilai kerja sama tercermin dari kekompakan barisan “pagar” dalam menghalangi pergerakan harimau. Nilai kerja sama ini dapat menjadi cerminan kepribadian orang Kuantan Singingi dalam kehidupan kesehariannya, yang nantinya dapat digunakan untuk mengekalkan kesatuan di dalam masyarakatnya sendiri. Nilai sportivitas tercermin dari sikap para pemain yang setelah permainan usai hubungan pertemanannya tetap berlangsung baik. Sikap sportif perlu ditunjukkan karena permainan ini adalah permainan fisik (adu kekuatan) yang dapat menyulut emosi setiap pemain yang pada gilirannya dapat menimbulkan perkelahian. (gufron)

Sumber:
Fakhri dan Bustami M. Lipsi. 2002. Permainan Rakyat Kabupaten Kuantan Singingi. Pekanbaru: Unri Press.

Sistem Pewarisan pada Masyarakat Melayu-Bengkulu

Untuk membentuk sebuah keluarga seseorang harus melalui bebeapa proses mulai dari peminangan sampai perkawinan. Dengan perkawinan berarti sebuah keluarga terbentuk. Fungsi keluarga tidak hanya sebagai penerusan keturunan, tetapi juga sebagai kesatuan ekonomi. Sebuah keluarga, dalam perjalanannya, bisa langgeng (sampai kakek-kakek dan nenek-nenek), dan bisa juga putus di tengah jalan (cerai). Selain itu, sebuah keluarga bisa mempunyai keturunan, dan bisa juga tidak. Lepas dari masalah itu, yang jelas sebuah keluarga pada saatnya akan dihadapkan pada persoalan harta-benda yang dimilikinya. Dalam hal ini adalah pewarisan. Sistem pewarisan antara masyarakat yang satu dan lainnya bisa saja berbeda. Hal itu bergantung pada hukum dan atau budaya yang diacunya. Masyarakat Melayu yang tinggal di Provinsi Bengkulu adalah orang-orang yang sebagian besar beragama Islam, sehingga unsur-unsur kebudayaannya pun banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam (melalui proses akulturasi). Salah satu wujud dari akulturasi itu adalah sistem pewarisan yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakat Melayu-Bengkulu yang mengacu kepada hukum Faraidh[1].

Masyarakat Melayu-Bengkulu (masyarakat Melayu yang tinggal di Provinsi Bengkulu) membedakan harta-waris ke dalam tiga kategori, yakni: (1) reto tuo (harta tua atau harta pusaka), (2) harta yang merupakan hasil jerih-payah suami-isteri, dan (3) harta yang dibawa oleh masing-masing (suami dan isteri). Sistem pewarisan ketiga harta-waris tersebut adalah sebagai berikut.

Harta-waris yang disebut sebagai reto tuo adalah warisan yang berasal dari peninggalan orang tua yang diberikan (diturunkan) kepada salah seorang anaknya. Untuk itu, jika yang menerima warisan ini meninggal, maka akan jatuh ke salah seorang anaknya. Demikian seterusnya.

Harta-waris yang berasal dari hasil jerih payah suami istri, jika salah seorang di antara suami-isteri itu meninggal, maka yang masih hidup berhak mengatur keseluruhannya. Harta tersebut baru dapat diwarisi oleh anak-anaknya bila kedua orang tuanya sudah meninggal.

Harta-waris yang dibawa oleh masing-masing (suami-isteri) atau pemberian keluarga masing-masing ketika perkawinan, jika salah satu atau keduanya meninggal, maka harta-waris tersebut akan jatuh (diwariskan) kepada anak-anaknya berdasarkan hukum Faraidh (Islam). Namun, jika terjadi perceraian harta-waris ini akan kembali ke pihak masing-masing (dari suami kembali ke suami dan dari isteri kembali ke isteri).

Hukum-waris yang digunakan memang mengacu kesana (Faraidh), namun demikian tidak terlalu mendetail karena ketentuan adat masih berlaku, yaitu sepikulan[2] untuk bagian laki-laki dan segendongan[3] untuk bagian perempuan. Makna dari “sepikulan dan segendongan”, adalah laki-laki akan mendapat harta warisan yang jumlahnya dua kali lipat dari perempuan. Jika dengan cara ini ada yang protes, maka pewaris bersepakat untuk menyerahkan persoalannya ke Mahkamah Syariah Pengadilan Agama setempat kemudian dilegalisir oleh Pengadilan Negeri setempat.

Sebagai catatan, bila harta-waris belum terbagi, sementara yang mewarisi sudah meninggal semua, maka yang berhak memelihara (sementara) adalah anak tertua, baik laki-laki atau perempuan, anak yang dipercayakan atas kesepakatan bersama atau anak yang masih menunggu rumah tuo, yakni rumah peninggalan orang tua. Namun apabila hubungan antara mertua dan menantu yang tertua sangat erat, tidak jarang menantu tersebut secara langsung dipercayakan memelihara warisan yang belum terbagi itu.

Sebagai catatan pula, jika suami meninggal, sementara anak belum dewasa maka harta pusaka pihak suami yang didapat dari orang tua dan bukan penghasilan sendiri, sebelum dibagi kepada ahli warisnya, dipercayakan pemeliharaannya kepada isteri yang memelihara anak-anak dari almarhum suaminya. Bila keduanya meninggal maka yang memelihara harta warisan biasanya dipercayakan kepada paman atau bibi dari pihak bapak yang menanggung kehidupan para anak yatim-piatu itu.

Sumber:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1979. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Bengkulu. Bengkulu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

[1] Hukum Faraidh adalah hukum yang mengatur tentang pembagian harta warisan berdasarkan Al Quran, Hadis dan beberapa ijtihad Sahabat Nabi.

[2] Sepikulan adalah ukuran jumlah barang yang dibawa dengan alat pikulan. Dengan alat ini seseorang dapat membawa dua buah barang dengan cara sebagaian dikaitkan pada ujung pikulan yang satu, sedangkan sebagian lainnya dikaitkan pada ujung pikulan yang lain.

[3] Segendongan adalah ukuran jumlah barang yang dibawa dengan kain (selendang) yang diletakkan pada bagian punggung si penggendong.

Mbah Surip

Riwayat Singkat
“Sekali berarti//Sudah itu mati”.

Demikianlah untaian sebait puisi karya Chairil Anwar yang dapat dikaitkan dengan kehidupan seniman fenomenal yang bernama Mbah Surip. Setidaknya, hal itu tergambar dari kehidupan Mbah Surip yang berjuang dalam dunia seni musik selama 20 tahun dalam 'kesunyian' popularitas dan kekurangan rezeki. Namun, di saat popularitasnya melangit dan perengkuhan rezeki yang menggunung, tiba-tiba saja ia dijemput oleh sang maut.

Pria yang bernama asli Urip Ahmad Ariyanto ini lahir di Mojokerto[1], Jawa Timur, pada tanggal 5 Mei 1957. Ia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara pasangan Ibu Rasminah dan Bapak Soekotjo. Saudara-saudara kandung Mbah Surip diantaranya adalah: Takul Matrawi, Semiati, Senen Subandi, Suharti, Zualikah, dan Zaelani.

Sejak kecil Mbah Surip sudah dikenal sebagai anak yang mandiri. Ia bahkan terkadang bekerja dengan menjadi pedagang asongan, berjualan es lilin dan bahkan kacang goreng dengan berkeliling kampung untuk membantu perekonomian orang tuanya yang hanya berprofesi sebagai pedagang kikil.

Bakat seni Mbah Surip mulai tampak ketika ia bersekolah di Sekolah Teknik (ST) Pasna Wiyata pada tahun 1974. Waktu itu ia sudah mulai suka bernyanyi dan bahkan mulai menciptakan lagu-lagu yang berlirik unik dan lucu. Bahkan, pada saat melanjutkan ke STM Brawijaya pada tahun 1977, Mbah Surip sudah tidak dapat lagi dipisahkan dengan gitarnya. Setiap hari, Mbah Surip selalu duduk sambil bermain gitar dan bernyanyi.

Ada suatu kisah unik dan menarik mengenai gitar kesayangan Mbah Surip yang selalu “digendongnya ke mana-mana”. Kisah tersebut berawal ketika Mbah Surip ingin sekali memiliki sebuah gitar, namun tidak mempunyai uang untuk membelinya. Hal ini membuat Mbah Surip harus memutar otak agar apa yang diinginkannya itu dapat terwujud. Ia kemudian membuat sebuah gitar sendiri yang bentuknya lain daripada yang lain, yaitu kotak.

Pada tahun 1979, bersama gitar kotak kesayangannya itu Mbah Surip hijrah ke Ibukota Jakarta. Di sana ia bekerja sebagai makelar tiket bioskop untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, karena penghasilan sebagai makelar tiket tidak mencukupi, maka pria yang pernah berkuliah di jurusan Teknik Mesin Universitas Sunan Giri Cabang Mojokerto tersebut kemudian beralih profesi sebagai pengebor minyak dan penambang berlian hingga ke beberapa negara, seperti: Kanada, Texas, Yordania, dan California.

Walau beberapa kali berganti profesi pria yang telah dikarunai empat orang anak itu masih tetap menggeluti dunia seni musik yang sangat ia cintai. Bahkan, sejak tahun 1997 ia telah menelurkan beberapa buah album, yaitu: Ijo Royo-royo (1997), Indonesia I (1998), Reformasi (1998), Tak Gendong (2003), dan Barang Baru (2004).

Sebagai catatan, album-album tersebut kurang laku di pasaran. Dan, baru pada tahun 2009, lewat singlenya yang bertajuk Tak Gendong, nama Mbah Surip tiba-tiba melesat bak meteor. Ia tidak hanya dikenal oleh kalangan seniman saja, melainkan juga oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Menurut Mbah Surip, lagu yang berlirik dan beraransemen sederhana itu ia ciptakan pada tahun 1983 saat masih bekerja di Amerika. Walau terkesan sederhana, lagu tersebut adalah ungkapan Mbah Surip yang ingin “belajar salah”. “Belajar Salah” bukan bermaksud untuk belajar mencuri, berbohong, atau menipu, melainkan merupakan sebuah sindiran Mbah Surip bagi orang-orang yang selalu merasa benar sendiri tanpa menghiraukan orang lain.

Namun sayang, sebelum dapat menikmati seluruh hasil dari kesuksesannya itu, pria yang bergelar doktorandus, insinyur dan MBA ini lebih dahulu dipanggil oleh Sang Penciptanya. Mbah Surip terkena serangan jantung secara mendadak ketika sedang beristirahat di rumah komedian Mamiek Prakoso. Dia sempat dibawa ke Rumah Sakit Dik Pusdikkes, Jakarta Timur, sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir pada pukul 10.00 WIB, tanggal 4 Agustus 2009. Kepergian Mbah Surip tidak hanya meninggalkan duka bagi kaum kerabatnya, melainkan juga bagi sebagian besar bangsa Indonesia. I love you full Mbah Surip. (pepeng)

Sumber:
http://www.mediaindonesia.com
http://www.tempointeraktif.com
http://newspaper.pikiran-rakyat.com

[1] Mbah Surip dilahirkan di rumah berukuran 3,5 X 12 meter yang terletak di Jln. Magersari Gang Buntu 12 RT 3 RW 2 Kelurahan Magersari, Kecamatan Magersari, Kota Mojokerto.

Kawasaki KLX450R (2009)

Technical Specifications
Engine
Engine type
Bore x Stroke
Displacement
Valves
Compression ratio
Max Power
Max Torque
Fuel system
Transmission
Final drive
Clutch
Ignition type
Starting system
Lubrication
Battery

Liquid Cooled, DOHC, 4-stroke, single cylinder
96 x 62.1 mm
449cc
4 valves
12.0:1
10kW @ 9,500 rpm
11 Nm @ 7,500 rpm
Carburetor, KEIHIN FCR-MX40
5-speed
Chain
Wet, multi disc
Digital AC-CDI
Electric & kick starter
Semi-dry sump
12 v - 10 Ah
Dimensions
Frame type
Overall length
Overall width
Overall height
Wheelbase
Seat height
Ground clearance
Weight
Fuel capacity
Suspension (front)
Suspension (rear)
Tyre (front)
Tyre (rear)
Brake (front)
Brake (rear)

Tubular, Semi-double cradle
2180 mm
820 mm
1255 mm
1480 mm
940 mm
320 mm
126 kg
8 litres
Telescopic fork (upside-down)
Swing arm (new uni-trak)
80/100-21 51M Tube type
110/100-18 64M Tube type
Single disc
Single disc

Source: http://www.kawasaki.com.my

Kaisar Triseda

Technical Specifications
Engine
Engine type
Bore x Stroke
Displacement
Valves
Compression ratio
Max Power
Max Torque
Fuel system
Transmission
Final drive
Clutch
Ignition type
Starting system
Air cleaner
Battery

air Cooled, OHV, 4-stroke
62 x 49.5 mm
149cc
-
-
10kW @ 9,500 rpm
11 Nm @ 7,500 rpm
-
5-speed (N-1-2-3-4-5)
Chain
-
CDI - DC Battery
Electric & kick starter
-
12 v - 10 Ah
Dimensions
Frame type
Overall length
Overall width
Overall height
Wheelbase
Seat height
Ground clearance
Weight
Fuel capacity
Suspension (front)
Suspension (rear)
Tyre (front)
Tyre (rear)
Brake (front)
Brake (rear)

Box
2970 mm
1250 mm
1360 mm
1950 mm
-
160 mm
318 kg
11 litres
Telescopic
Swing arm
300-R18-6PR (30 psi)
450-R12-8PR (33psi)
Drum
Drum

Source: http://kaisarrindo.net76.net

Kaisar Sprinter

Technical Specifications
Engine
Engine type
Bore x Stroke
Displacement
Valves
Compression ratio
Max Power
Max Torque
Fuel system
Transmission
Final drive
Clutch
Ignition type
Starting system
Air cleaner
Battery

air Cooled, SOHC, 4 valve
50 x 49.5 mm
100cc
-
-
6.5kW @ 7,500 rpm
9.0 Nm @ 4,500 rpm
-
4-speed (N-1-2-3-4)
Chain
-
CDI - DC Battery
Electric & kick starter
-
12 v - 5 Ah
Dimensions
Frame type
Overall length
Overall width
Overall height
Wheelbase
Seat height
Ground clearance
Weight
Fuel capacity
Suspension (front)
Suspension (rear)
Tyre (front)
Tyre (rear)
Brake (front)
Brake (rear)

Diamond
1920 mm
715 mm
1100 mm
1220 mm
-
150 mm
96 kg
3.4 litres
Telescopic
Swing arm
2.50-17/175 kPa
2.75-17/200 kPa
Disc
Drum

Source: http://kaisarrindo.net76.net

Permainan Mallulok (Sulsel)

Luwuk adalah salah satu daerah yang tergabung dalam Provinsi Sulawesi Selatan. Di daerah ini ada sebuah permainan yang oleh mereka disebut mallulok. Mallulok merupakan kata jadian (penggabungan) dari dua kata, yakni ma yang berarti “melakukan sesuatu” dan lulok yaitu nama sebuah alat yang digunakan untuk menghalau binatang, terutama burung-burung. Alat ini jika dipergunakan akan mengeluarkan suara yang bising. Kebisingan inilah yang kemudian membuat binatang atau burung-burung ketakutan (lari menjauh).

Konon, pada walnya permainan ini dilakukan oleh anak-anak petani ketika sawah telah kering dan bersih dari tanaman padi (seudah panen). Dalam permainan ini, siapa yang kalah harus berteriak-teriak, sehingga burung-burung yang menyerang padi-padi yang lepas dari tuaian menjadi ketakutan dan berterbangan. Ketika itu, alat yang digunakan untuk bermain bukan batu pipih yang, jika dilempar, dapat mengeluarkan suara yang bising, tetapi sembarang batu.

Dalam perkembangannya, permainan ini tidak hanya dimainkan di sawah saja, melainkan di sekitar permukiman penduduk (perkampungan). Teriakan-teriakan keras yang dilakukan oleh pemain yang kalah tentunya mengganggu ketenangan warga dan karenanya banyak yang melarangnya. Lalu, sebagai ganti teriakan pemain, digunakan batu yang berbentuk pipih, yang jika dilontarkan akan mengeluarkan suara yang menyerupai suara lulok. Suara yang keluar dari batu pipih tersebut, walau tidak terlalu bising, dianggap dapat menggantikan suara teriakan pemain yang kalah. Oleh karena itu, permainan ini kemudian disebut sebagai mallulok.

Pemain
Mallulok adalah suau permainan yang memerlukan fisik dan tenaga yang kuat, sehingga permainan ini pada umumnya dilakukan oleh laki-laki, baik anak-anak maupun remaja (usia 7--16 tahun). Permainan ini dilakukan secara kelompok. Jadi, ada 2 kelompok yang masing-masing beranggotakan 3 orang.

Tempat permainan
Mallulok dapat dimainkan di mana saja, dengan catatan di atas areal yang luasnya 80 meter persegi (10 x 8 meter). Jadi, bisa di lapangan, di pekarangan rumah (adat) ataupun di tempat-tempat lain yang memungkinkan. Arena yang luasnya 80 meter persegi itu diberi 3 buah garis batas lontar. Garis pertama jaraknya sekitar 9 meter dari batu lulok, garis kedua sekitar 7,5 meter, dan garis ketiga (terakhir) jaraknya sekitar 6 meter.

Peralatan Permainan
Peralatan yang digunakan adalah sebuah batu yang bentuknya agak bulat dan pipih dengan diameter sekitar 6 cm (untuk setiap pemain). Batu-batu tersebut bukan buatan pemain, tetapi “batu alam” (terbentuk secara alami) yang dapat diperoleh (dicari) di sekitar sungai. Batu ini sering disebut sebagai pengngambak. Selain batu itu, ada juga batu lulok yang berukuran besar (sebesar buah kelapa), yang digunakan sebagai sasaran lontaran.

Aturan Permainan
Inti dari permainan yang disebut sebagai mallulok ini, adalah pelontaran pengngambak ke batu sasaran (batu lulok). Regu yang dapat mengenai batu sasaran, dinyatakan sebagai pemenangnya. Aturan mainnya adalah sebagai berikut: (1) lontaran yang dianggap sah adalah yang berhasil mengenai batu sasaran (batu lulok); (2) apabila pengngambak jatuhnya berdempetan dengan batu lulok, maka pengngambak akan digeser. Jika dalam pergeseran itu batu pengngambak bergoyang/bergetar, maka lontaran tersebut dianggap sah. Namun, jika tidak, lemparan dianggap tidak sah; (3) apabila salah satu anggota regu berhasil mengenai batu lulok, maka anggota yang lain dalam regu tersebut tidak perlu melempar lagi, dan dapat maju ke garis batas lemparan yang berikutnya; (4) apabila pelontar pertama tidak dapat mengenai batu lulok, maka dapat diganti oleh anggota regunya yang lain; (5) pemain yang lontarannya mengenai batu pengngambak lawan yang sudah terlebih dahulu dilontarkan, harus kembali mengulangi lontarannya; (6) sebelum mulai melontar, pemain harus berjongkok dan melentingkan batu pengngambaknya terlebih dahulu ke udara melewati batas lutut, dan kemudian ditangkap kembali. Apabila tidak berhasil menangkap, pemain tersebut tidak diperkenankan untuk melontar; dan (7) pergantian pelontar dilakukan apabila seluruh anggota regu tidak dapat mengenai batu lulok.

Proses Permainan
Permainan ini diawali dengan undian untuk menentukan regu mana yang akan mulai permainan. Proses pengundian dimulai dengan berbarisnya setiap anggota regu pada garis anjak yang terjauh dari batu lulok. Kemudian, satu-persatu anggota kedua regu tersebut akan melemparkan pengngambaknya ke arah batu sasaran. Bagi regu yang anggotanya paling banyak mengenai batu lulok, maka regu tersebut akan memulai permainan. Namun, apabila tidak ada seorang pun yang dapat mengenai batu sasaran, maka batu pengngambak pemain yang paling dekat dengan sasaran yang akan memulai permainan. Selanjutnya, bagi regu yang kalah, akan berdiri di dekat batu lulok untuk mengamati jalannya permainan. Sedangkan, anggota regu yang mendapat giliran untuk melontar berdiri di garis anjak yang terjauh dari batu lulok (jaraknya sekitar 9 meter). Sebelum mulai melontar, anggota regu yang mendapat giliran akan berjongkok dan melentingkan batu pengngambaknya hingga melebihi lutut sebelum ditangkap kembali. Apabila ia dapat menangkap pengngambaknya, maka pemain tersebut baru diperbolehkan melontarkannya ke batu sasaran. Apabila pemain tidak berhasil menangkap pengngambak yang dilentingkannya, maka ia dianggap gagal dan harus digantikan oleh anggota regunya yang lain.

Cara-cara melempar yang ditetapkan pada setiap garis anjak dapat dibagi menjadi 3, yaitu: (1) Pada garis anjak pertama, pemain boleh melontarkan pengngambaknya sambil berdiri. Apabila salah seorang dari anggota ada yang berhasil mengenai batu lulok, maka seluruh anggota regu dinyatakan berhasil dan dapat maju ke garis anjak yang kedua; (2) pada garis anjak yang kedua, pemain diharuskan untuk melontar sambil berjongkok. Pada tahap ini, pemain juga diharuskan untuk melentingkan pengngambaknya terlebih dahulu sebelum melontarkannya ke arah batu lulok; dan (3) pada garis anjak yang terakhir, yang berjarak sekitar 6 meter dari batu lulok, pemain diharuskan berjongkok dengan kaki kanan ke depan. Saat berada dalam posisi tersebut, pemain kemudian akan melontarkan pengngambaknya dari belakang, melewati “lorong” di antara kedua kakinya. Apabila telah berhasil mengenai batu lulok maka regu tersebut akan mendapatkan satu nilai, dan permainan dimulai lagi seperti semula dengan regu pelontar menjadi pengamat dan sebaliknya, regu pengamat menjadi pelontar. Bagi regu yang berhasil mendapatkan satu nilai, dipersilahkan untuk melemparkan batu pengngambaknya sejauh mungkin. Tempat jatuhnya batu pengngambak tersebut, nantinya akan digunakan sebagai “garis start” yang harus ditempuh oleh regu yang kalah untuk menggendong regu yang menang, hingga ke garis anjak permainan. Dalam permainan mallulok, regu yang paling banyak mendapatkan nilai akan dinyatakan sebagai pemenang.

Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan yang disebut sebagai mallulok adalah: kerja keras, kerja sama dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari semangat pemain yang berusaha agar pengngambak yang dilontarkannya dapat mengenai sasaran (batu lulok). Nilai kerja sama tercermin dari kekompakan setiap regu, yang anggotanya akan saling membantu agar dapat melewati tahap-tahap permainan secara bersama-sama, sampai berhasil mendapatkan satu nilai. Nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada.

Sumber:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1980. Permainan Anak-Anak Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Permainan Akmemu-memu (Sulsel)

Pengantar
Ara adalah sebuah daerah yang tergabung dalam wilayah Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Di daerah ini ada sebuah permainan yang disebut sebagai akmemu-memu. Akmemu-memu itu sendiri sebenarnya merupakan kata jadian yang berasal dari kata “ak” yang berarti “melakukan sesuatu” dan “memu” yang berarti “tupai”. Dengan demikian, akmemu-memu dapat diartikan sebagai “melakukan sesuatu yang menyerupai seekor tupai”. Konon, permainan akmemu-memu berawal dari kebiasaan yang dilakukan oleh penduduk Ara yang sering pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Pada saat di hutan tersebut, mereka menjumpai pertikaian antara sekelompok tupai dengan seekor monyet yang saling memperebutkan buah-buahan di atas pohon. Kebiasaan berkelahi antara tupai dengan monyet inilah yang pada akhirnya dijadikan sebagai sebuah permainan oleh anak-anak di daerah Ara. Dalam permainan ini, para pemain dibagi menjadi dua regu, yaitu regu tupai (memu) dan regu penyerang (doeng), yang diibaratkan sebagai monyet. Regu penyerang nantinya akan merebut anggota regu memu dengan cara memukulnya (menggunakan ekor). Apabila jumlah anggota kedua regu telah seimbang, maka akan diadakan tarik menarik, baik dengan tangan ataupun dengan kain sarung untuk menentukan pemenangnya.

Pemain
Akmemu-memu adalah permainan kelompok. Artinya, permainan ini baru dapat dilakukan jika ada dua kelompok. Jumlah keseluruhan pemainnya 6--9 orang. Permainan akmemu-memu pada umumnya dimainkan oleh anak laki-laki maupun perempuan yang berumur 6--13 tahun. Dari ke-9 pemain tersebut, hanya seorang diantara mereka yang dijadikan sebagai monyet (penyerang), yang dipilih karena dianggap benar-benar kuat dan dapat mengatasi semua rintangan yang akan dihadapi selama permainan berlangsung. Sedangkan pemain yang lain akan berperan sebagai memu yang dipimpin oleh pemain yang juga dianggap sama kuatnya dengan penyerang (doeng).

Tempat Permainan
Permainan akmemu-memu dapat dilakukan di mana saja; bisa di halaman rumah, di halaman rumah adat, atau di lapangan, pada siang ataupun malam hari.

Peralatan Permainan
Peralatan yang digunakan dalam permainan ini adalah sebuah sarung untuk setiap pemain. Sarung tersebut nantinya akan dilingkarkan pada bagian perut dan ujungnya dipilin sedemikian rupa, sehingga menyerupai ekor tupai atau monyet.

Aturan Permainan
Inti dari permainan yang disebut sebagai akmemu-memu ini adalah penyerang harus merebut anggota regu memu hingga jumlah anggota regu seimbang. Setelah jumlahnya seimbang, mereka akan saling tarik menarik, dengan menggunakan tangan dan sarung, hingga salah satu regu tidak mempunyai anggota lagi. Regu yang dapat menarik seluruh anggota regu lawan akan menjadi pemenangnya. Secara lebih rinci, aturan dalam permainan ini adalah sebagai berikut: (1) penentuan ketua kelompok memu dengan seorang penyerang harus disepakati bersama. Para peserta biasanya sudah mengetahui, siapa diantara mereka yang paling kuat dan cocok untuk menjadi penyerang dan pemimpin regu memu, sehingga proses penentuannya pun dapat berlangsung cepat tanpa harus mengadakan gambreng atau siut terlebih dahulu; (2) urutan tempat berdiri dari tiap-tiap anggota memu harus ditentukan lebih dahulu sebelum diadakan penyerangan; (3) anggota regu memu tidak boleh bertukar tempat; (4) penyerang harus memukul anggota memu yang berdiri paling belakang; (5) penyerang tidak diperkenankan menggunakan tangan untuk mendorong atau mengelak, tetapi harus dengan badan; (6) pemimpin regu memu pada waktu bertahan atau melindungi anggotanya, tidak diperkenankan menangkap penyerang; (7) pemimpin regu memu pada saat menghalangi penyerang hanya boleh merentangan kedua tangannya; dan (8) pemain yang berdiri pada bagian belakang dan berhasil dipukul dengan ekor oleh penyerang, harus berhenti dari permainan dan menjadi milik penyerang untuk dipertaruhkan dalam adu tarik-menarik.

Proses Permainan
Proses permainan akmemu-memu dapat dibagi menjadi 3 tahap, yang diantaranya adalah sebagai berikut: (1) Tahap Ammile (memilih). Pada tahap ini ketua regu memu akan memilih anggota regunya yang nanti akan berbaris memanjang di belakangnya. Cara pemimpin regu memilih urutan anggotanya adalah dengan menghadap tembok atau tiang dan menutup matanya. Setelah itu regu penyerang (doeng) akan mengatur posisi anggota regu memu di belakang pemimpin yang sedang menutup mata tersebut. Pengaturan tersebut dimaksudkan agar pemimpin memu tidak dapat menebak anggota mana yang akan berdiri di belakangnya. Kemudian pemimpin memu dipersilahkan untuk menyebutkan nomor urut barisan yang ada di belakangnya. Nomor-nomor urut peserta yang telah disebut oleh pemimpin memu tersebut nantinya akan berbaris memanjang sesuai dengan urutan yang disebutkan oleh pemimpin regu memu. (2) Tahap akluru (menyerang). Pada tahap ini permainan akmemu-memu hampir mirip dengan permainan Tan Besi yang ada di Provinsi Maluku, yaitu si penyerang (doeng) akan berusaha menarik anggota regu memu yang berada di urutan terakhir dari barisan, namun tidak dengan tangan, melainkan dengan pukulan ekornya. Pada waktu menyerang terebut, doeng akan bergerak ke kiri dan kanan, untuk mencari posisi yang tepat dalam menyerang anggota memu Apabila si penyerang berhasil memukul anggota regu memu yang paling belakang, maka anggota itu harus dikeluarkan dan menjadi anggota regu penyerang. Penyerangan terus dilakukan hingga regu penyerang mampunyai jumlah anggota yang sama dengan regu memu, sebelum berlanjut pada tahap berikutnya. (3) Tahap Sibesok (tarik-menarik). Pada tahap ini diadakan adu kekuatan dalam tarik menarik antaranggota regu yang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu tarik menarik dengan menggunakan tangan (sibesok lima) dan dengan ekor (sibesok ingkok). Sibesok lima dilakukan dengan saling berpegangan tangan antara dua orang anggota regu tersebut di bawah garis batas permainan. Apabila salah seorang diantara mereka berhasil menarik lawannya melewati garis batas yang ditentukan, maka pemain tersebut dinyatakan menang dan akan melawan anggota regu lawan yang lain. Begitu seterusnya hingga akhirnya ketua regu penyerang akan berhadapan dengan ketua regu memo. Sedangkan sibesok ingkok pada pelaksanaannya sama dengan si besok lima, hanya saja pemain tidak menggunakan tangan mereka untuk saling tarik-menaik, melainkan dengan ekor (sarung) yang ada di belakang mereka. Dalam tahap sibesok ini, apabila ketua regu doeng dapat menarik ketua regu memu hingga melewati garis batas permainan, maka regu doeng akan dinyatakan menang. Namun sebaliknya, apabila ketua regu memu yang dapat menarik ketua regu doeng, maka regu memu yang akan memenangkan permainan.

Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan yang disebut sebagai akmemu-memu adalah: kerja keras, kerja sama dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari semangat pemimpin regu doeng yang berusaha sekuat tenaga untuk mencuri satu demi satu anggota regu memu. Kerja keras juga terlihat dari semangat para pemain ketika sedang tarik menarik mengadu kekuatan, agar dapat mengalahkan pihak lawannya. Nilai kerja sama tercermin dari kekompakan barisan memu dalam menghalangi pergerakan pemimpin doeng ketika berusaha mengambil satu per satu anggota memu. Nilai kerja sama ini dapat menjadi cerminan kepribadian orang Bulukumba dalam kehidupan kesehariannya, yang nantinya dapat digunakan untuk mengekalkan kesatuan di dalam masyarakatnya sendiri. Nilai sportivitas tercermin dari sikap para pemain yang setelah permainan usai hubungan pertemanannya tetap berlangsung baik. Sikap sportif perlu ditunjukkan karena permainan ini adalah permainan fisik (adu kekuatan), yang dapat menyulut emosi setiap pemain yang pada gilirannya dapat menimbulkan perkelahian.

Sumber:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1980. Permainan Anak-Anak Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Permainan Tuju Lubang (Kepri)

Pengantar
Tuju lubang adalah suatu permainan yang terdapat di Sedanau, Kecamatan Bunguran, Kepulauan Riau. Penamaan permainan ini ada kaitannya dengan kegiatan pemainnya yang berusaha untuk melontarkan kerang ke arah/menuju sebuah lubang. Awal mula permainan ini, konon berasal dari kegiatan para nelayan yang disebut berkarang. Berkarang adalah bagian dari pekerjaan kaum nelayan yang dilakukan dengan cara menggali pasir di sekitar pantai untuk mendapatkan kerang kelimpat[1]. Selain mengumpulkan kelimpat, berkarang juga dimanfaatkan oleh para nelayan untuk memberi pelajaran awal kepada anak-anaknya dalam memanfaatkan hasil laut, sebelum mereka ikut mencari ikan di laut lepas. Kelimpat-kelimpat yang didapatkan dari kegiatan berkarang tersebut, selanjutnya akan dibawa ke rumah untuk dikonsumsi seluruh anggota keluarga. Kelimpat-kelimpat yang telah dikonsumsi itu, biasanya kulitnya akan dibuang di sembarang tempat, di sekitar pekarangan atau kolong rumah panggung para nelayan. Dan, kulit-kulit yang banyak berserakan di sekitar rumah oleh anak-anak akhirnya dijadikan sebagai alat untuk bermain dengan cara melemparkannya ke sebuah lubang dan diberi nama tuju lubang. Lama-kelamaan, permainan tuju lubang tidak hanya digemari oleh anak-anak nelayan saja, melainkan juga oleh anak-anak kaum bangsawan pada masa kekuasaan Sultan Riau abad XVIII. Pada masa itu, anak-anak kaum bangsawan tidak menggunakan kulit kerang sebagai peralatan bermainnya, melainkan telah menggunakan uang-uang sen yang lebih berat dan relatif mudah mengenai sasaran ketika dilemparkan.

Seiring dengan perkembangan zaman, permainan tuju lubang tidak hanya menggunakan kulit kerang kelimpat dan uang sen, melainkan juga dengan tutup botol minuman. Permainan dengan menggunakan tutup botol minuman dan uang koin biasanya dilakukan oleh anak-anak di kota-kota di daerah Riau seperti Pekanbaru dan Tanjungpinang dengan sebutan permainan selubang. Sedangkan anak-anak yang tinggal di sekitar pantai umumnya masih menggunakan kulit kerang sebagai alat permainannya.

Pemain
Tuju lubang dapat dikategorikan sebagai permainan individual, dengan jumlah pemain antara 2--5 orang. Permainan ini pada umumnya dimainkan oleh anak-anak perempuan dan laki-laki yang berusia 6--20 tahun. Namun dalam permainannya tidak diperbolehkan kedua jenis kelamin tersebut bermain bersama-sama. Jadi, laki-laki harus bermain dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan.

Tempat Permainan
Permainan tuju lubang ini tidak membutuhkan tempat (arena) yang khusus. Ia dapat dimainkan di mana saja, asalkan di atas tanah, pada sore hari sambil menunggu waktu magrib. Jadi, dapat di tepi pantai, di tanah lapang, atau di pekarangan rumah. Di dalam arena permainan tersebut akan dibuat garis persegi empat yang berukuran sekitar 2 x 2 meter yang di tengahnya dibuat sebuah lubang sebesar uang benggol atau kurang lebih sebesar telur ayam dengan kedalaman sekitar 2 ruas jari telunjuk. Kemudian akan dibuat sebuah garis batas lontaran yang jaraknya sekitar 6--12 langkah kaki pemain (ukurannya tergantung kesepakatan).

Peralatan Permainan
Peralatan yang digunakan adalah beberapa tagan yang dapat berupa kulit kerang, tutup botol minuman serta uang logam pecahan 50-100 rupiah keluaran tahun 80-an (jumlahnya tergantung dari kesepakatan pemain). Tagan-tagan tersebut nantinya ada yang digunakan sebagai alat untuk melontar dan ada yang dijadikan sebagai taruhan.

Aturan Permainan
Aturan Permainan tuju lubang adalah sebagai berikut: (1) pada saat melontar, salah satu tangan harus melewati garis batas lontaran; (2) pelontar akan didenda satu tagan (kulit/cangkang kerang, tutup botol atau uang coin) bila tagan yang dilontarkan mengenai tagan lawan yang telah lebih dahulu dilemparkan; (3) pelontar akan didenda satu tagan apabila tagan yang dilontarkannya masuk ke lubang; (4) lontaran dianggap gagal, apabila tidak berhasil mengenai tagan sasaran; (5) bila tagan yang dilontarkan berhimpit dengan tagan sasaran (kampek), maka lontaran dinyatakan tidak sah; dan (6) lontaran juga dianggap tidak sah apabila tagan yang dilempar dan tagan sasaran masuk ke dalam lubang.

Jalannya Permainan
Ada empat tahap yang dilalui atau dilakukan dalam permainan ini. Pertama, penentuan jumlah taruhan, yaitu masing-masing peserta akan bermusyawarah untuk menentukan jumlah tagan taruhan yang harus disediakan oleh setiap peserta. Jumlah tagan yang biasanya dijadikan taruhan 5--12 buah, sebab jika terlalu banyak permainan menjadi tidak menarik dan akan cepat selesai. Kedua, tikam undi (pengundian), yaitu sebelum mulai bermain, akan dilakukan pengundian terlebih dahulu, dengan cara melontarkan tagan ke arah lubang. Pemain yang dapat memasukkan tagannya ke dalam lubang akan memulai permainan. Namun, apabila tidak ada seorang pun yang dapat memasukkan tagannya ke dalam lubang, maka tagan yang paling dekat dengan lubang akan memulai permainan. Apabila tagan yang dilontarkan mengenai tagan lawan yang lebih dahulu dilontarkan (pintis), maka seluruh peserta harus melontarkan kembali tagannya. Ketiga, membuang taruhan. Pemain yang mendapat kesempatan memulai permainan akan mengumpulkan tagan taruhan dari setiap pemain untuk dilontarkan ke arah lubang. Apabila tagan yang dilontarkan ada yang masuk ke lubang, maka tagan tersebut dapat diambil dan menjadi milik si pelontar. Sedangkan tagan lain yang tidak masuk lubang, akan ditunjuk pemain lain (lawan) untuk dikenai oleh si pelontar. Tagan yang ditunjuk biasanya adalah tagan yang posisinya sulit untuk dikenai, atau apabila terkena akan mengenai tagan yang lain. Keempat, tikam (melontar), yaitu pemain akan mulai melontarkan tagannya ke arah tagan sasaran. Apabila dapat mengenai tagan yang ditunjuk lawan, maka si pelontar berhak mengambil seluruh tagan taruhan yang berada di sekitar lubang. Kelima, tukar bawa. Apabila tidak ada satu tagan taruhan pun yang dapat dikenai, maka pelontar harus digantikan oleh pemain yang lain. Pemain yang dapat mengumpulkan tagan taruhan paling banyak dinyatakan sebagai pemenang.

Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan tuju lubang adalah ketangkasan, kecermatan, keuletan, dan sportivitas. Nilai ketangkasan, kecermatan dan keuletan tercermin dari usaha para pemain untuk dapat mengenai tagan taruhan, walaupun posisinya terkadang sangat sulit. Nilai-nilai tersebut, dapat berfungsi sebagai acuan dalam menghadapi segala rintangan dan halangan yang dialami dalam menjalani kehidupan. Dan, nilai sportivitas tercermin dari kesediaan menyerahkan tagan yang menjadi taruhan kepada lawan main yang keluar sebagai pemenangnya.

Sumber:
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Riau. 1984. Permainan Rakyat Daerah Riau. Pekanbaru: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

[1] Kelimpat adalah sejenis kerang kecil yang berbentuk agak bundar dan hidup di bawah pasir pantai sedalam 10--15 cm. Daging kelimpat rasanya manis dan berlemak, sehingga menjadi makanan kegemaran para nelayan di daerah Sedanau, Kepulauan Riau.

Teater Bangsawan (Kepri)

Konon, kesenian yang bernama Bangsawan ini pada masa lalu bernama Wayang Parsi. Menurut Ediruslan dan Hasan Junus (t.t), kedatangan rombongan seniman wayang parsi ke Pulau Penang (1870) bukanlah dari Persia (Iran), melainkan dari orang-orang Majusi yang melarikan diri ke India karena tidak mau di-Islam-kan. Keturunan orang-orang Majusi yang banyak bermukim di Mumbay inilah yang akhirnya membawa wayang parsi ke Pulau Penang. Dari Penang, wayang parsi kemudian menyebar ke seluruh semenanjung Malaysia, dan juga ke kesultanan-kesultanan Melayu di Sumatera Utara, Riau, dan Kalimantan Barat.

Wayang parsi yang telah berubah menjadi Bangsawan diperkirakan masuk Penyengat tahun 1906. Dari Pulau Penyengat[1], akhirnya menyebar pula ke berbagai daerah di wilayah Kepulauan Riau. Walaupun demikian, kesenian ini tidak tumbuh subur di Penyengat, tetapi justeru di tempat lain, seperti Daik-Lingga dan Dabo-Singkep. Malahan, sekarang seolah-olah yang “memilikinya” adalah kedua masyarakat tersebut. Indikator ini terlihat dari setiap kali ada penampilan Bangsawan, terutama di ibukota Propinsi (Tanjungpinang), kalau tidak Bangsawan dari Dabo-Singkep, adalah dari Daik-Lingga. Oleh karena itu, setiap orang jika mendengar kata Bangsawan, maka seringkali yang terbayang dalam benaknya adalah dari kedua daerah tersebut.

Penamaan Bangsawan itu sendiri, untuk pertama kalinya, konon diberikan oleh Abu Muhammad Adnan, yang sering disebut juga dengan Mamak Phusi, kepada perkumpulan yang didirikannya. Lengkapnya adalah Phusi Indra Bangsawan of Penang. Jenis seni pertunjukan tradisional yang berupa komedi stambul dengan ceritera seputar kehidupan istana ini juga dikenal dengan nama Wayang Bangsawan atau Indra Bangsawan.

Ketika seni pertunjukan ini sedang berlangsung, maka lagu-lagu yang mengiringinya, disamping lagu-lagu yang sering dinyanyikan dalam joged atau tarian Zapin, adalah lagu-lagu Stambul Dua, Stambul Opera, dan Dondang Sayang. Sedangkan, ceritera yang dimainkan antara lain: 1001 Malam, Rakyat Melayu, Dongeng India dan Cina, dan Hikayat Melayu. Setiap ceritera terbagi dalam beberapa babak atau adegan. Dan, setiap adegan diselingi dengan sret atau selang waktu untuk menceriterakan apa yang akan terjadi pada adegan berikutnya. Jadi, semacam pengantar agar para penonton mengetahui apa yang akan disajikan adegan berikutnya.

Para tokoh pemainnya terdiri atas: Sri Panggung (diperankan oleh pemain yang tercantik yang akan menjadi primadona panggung), anak muda, raja, permaisuri, menteri, hulubalang, saudagar-saudagar, inang-dayang, dan pelawak yang oleh masyarakat setempat sering disebut sebagai Khadam. Bahasa yang dipergunakan adalah Melayu dengan dialek Riau-Kepulauan, dengan tata cara istana atau bangsawan. Berikut ini adalah penggalan dialog antara Dayang dan Hadang dalam sebuah pementasan Bangsawan.

Dayang: “Manelah Panglime Hadang nih? Sudah bermain-main di taman tak ade. Sebentar lagi kalau Tuan Puteri sudah datang kemari pasti akan murke kalau melihat Panglime Hadang tak ade. Bencilah same die. Pak Hadang, Pak Hadang, o…Pak Hadang. Kemane aje wak nih?”

Hadang: “Lagi sibuk betul aku, patik…e salah, e…sesat. Jalan-jalan ke taman larangan nih, nyari-nyari jelutung. Untunglah ada Mak Inang di belakang nunjuk sane tu…tu..hah…baru sampai”.

Pesan yang ingin disampaikan dalam berbagai cerita yang disuguhkan adalah seorang raja akan dihargai oleh rakyatnya apabila bijaksana, sebagaimana ungkapan yang tidak asing lagi bagi masyarakat Melayu, yaitu: Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah dan Hukum adil kepada rakyat, tanda raja beroleh inayat.

Pemain (pelakon) seni pertunjukan ini terdiri atas: Sri Panggung dan anak muda yang merupakan tokoh utama, raja, seorang khadam, dan beberapa peran pembantu raja, menteri, hulubalang, inang-dayang, dan pengukuh lakon lainnya. Jadi, jumlahnya jika ditambah dengan pemain musik kurang lebih 20 sampai dengan 25 orang.

Durasi pementasannya bergantung pada ceritera dan waktu yang tersedia. Sedangkan waktu pementasannya pada malam hari. Pada mulanya seni pertunjukan ini tampil dalam rangka mengisi acara-acara upacara lingkaran hidup individu (khitanan dan perkawinan), hari-hari besar agama Islam, dan hari-hari nasional seperti peringatan hari kemerdekaan Indonesia, serta peringatan-peringatan lainnya. Namun, dewasa ini hanya terbatas pada hari kemerdekaan saja, itu pun tidak selalu. Dengan kata lain, bergantung pada pemerintah daerah setempat, baik di kecamatan, kabupaten, maupun propinsi.

Berbeda dengan seni pertunjukan modern, seni pertunjukan ini tidak memerlukan sutradara, walaupun setiap group mempunyai seorang pemimpin. Satu hal yang mesti ada (terbuat) adalah tempat para pemain berlaga (panggung). Panggung sebuah pementasan yang disebut sebagai Bangsawan ini dilengkapi dengan layar berlapis yang disebut dengan layar stret. Layar-layar tersebut dibubuhi dengan lukisan istana, taman, hutan (pemandangan alam) dan lain sebagainya. Maksudnya untuk menggambarkan situasi dan kondisi di mana sebuah dialog atau perseteruan terjadi. Jadi, jika suatu peristiwa terjadi di istana, maka layar yang ditampilkan adalah yang berlukisan istana, dan seterusnya.

Seni pertunjukan yang disebut sebagai Bangsawan ini adalah kesenian yang menggabungkan musik, lagu, tari dan laga. Peralatan musik yang mengiringi pementasannya terdiri atas: biola, akordion, gendang, gong dan tambur. Sesuai dengan namanya, yaitu Bangsawan, kostum yang digunakan adalah tata rias yang menyerupai orang-orang di kalangan Bangsawan. Sedangkan, perlengkapan pendukungnya menyesuaikan dengan ceritera yang ditampilkan, karena patokan yang khusus tidak ada.

Adapun urut-urutan pementasannya adalah sebagai berikut: (1) pentas dibuka dengan lagu-lagu dan tarian pembuka yang mengisahkan ceritera yang akan dimainkan. Sebagai catatan, setiap kelompok biasanya mempunyai lagu pembuka tersendiri yang sekaligus menjadi ciri khasnya; (2) peralihan dari satu adegan ke adegan berikutnya diikuti dengan pergantian layar; terkadang diselingi dengan lagu atau nyanyian yang berisi ceritera yang akan dimainkan pada adegan berikutnya; dan (3) pentas ditutup dengan lagu dan tarian penutup. (gufron)

Sumber:
Amanrisa, Ediruslan dan Hasan Junus. t.t. Seni pertunjukan Tradisional (Teater Rakyat) Daerah Riau.

Galba, Sindu dan Siti Rohana. 2002. Peta Kesenian Rakyat Melayu Kebupaten kepulauan Riau, Tanjungpinang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Marden, William. 1999. Sejarah Sumatera. Bandung: Remaja Rosdakarya

[1] Penyengat adalah nama sebuah pulau yang kemudian dijadikan nama sebuah desa (desa-pulau). Pulau ini secara administratif terdapat dalam Kecamatan Tanjungpinang. Pulau ini sangat populer karena pernah menjadi pusat Kerajaan Riau-Lingga. Konon, pulau ini pada masa lalu menjadi sarang serangga yang suka menyengat. Suatu saat ada awak kapal tersengat dan meninggal dunia ketika sedang mengambil air tawar. Dan, sejak saat itu pulau tersebut dinamai “Pulau Penyengat”.

Permainan Abbatu Samba (Sulawesi Selatan)

Pengantar
Pada masyarakat Bugis-Makassar yang tinggal di Kabupaten Bulukumba (Sulawesi Selatan, Indonesia), khususnya di Bonto Bahari, ada sebuah permainan yang disebut sebagai abbatu samba. Dari mana dan kapan permainan ini bermula sulit diketahui secara pasti, yang jelas permainan tersebut telah dikenal oleh orang Bonto Bahari secara turun-temurun.

Abbatu samba yang merupakan bahasa setempat (Bugis-Makassar dialek Bonto Bahari) untuk sebuah permainan sesungguhnya merupakan gabungan dari kata “ab” yang berarti “melakukan sesuatu”, kata “batu” yang berarti “biji”, dan kata “samba” yang berarti “asam”. Abbatu samba, dengan demikian, dapat diartikan sebagai suatu permainan yang berkenaan dengan biji asam. Dalam konteks ini, biji-biji asam disusun dalam sebuah lubang yang pinggirnya dilingkari dengan sebuah garis yang melingkar. Dalam permainan ini, biji-biji tersebut pada gilirannya dilempar dengan batu pengngambak. Dan, yang dikenainya akan menjadi milik si pelempar.

Pada masa lalu garis yang melingkari lubang tidak pernah ada. Jadi, ketika itu biji yang terkena batu penggambak dan keluar dari lubang, maka biji tersebut menjadi milik si pelempar. Namun, setelah adanya garis melingkar dengan jarak sekitar satu jengkal dari lubang, maka yang akan jadi milik si pelempar adalah biji yang keluar dari garis.

Pemain
Permainan ini pada umumnya hanya dimainkan oleh anak laki-laki yang berusia sekitar 6--12 tahun, dengan jumlah pemain minimal 2 orang dan maksimal 4 orang. Permainan ini dilakukan secara individual dan bukan kelompok.

Tempat permainan
Permainan abbatu samba tidak memerlukan tempat yang luas, sebab arena permainannya hanya berupa sebuah lubang berdiameter 10 cm dengan kedalaman sekitar 5 cm. Dengan ukuran arena yang relatif kecil tersebut, tentu saja permainan dapat dilakukan di mana saja, asalkan di atas tanah, seperti di pekarangan rumah atau lapangan. Sekitar 20 cm dari lubang, terdapat garis yang melingkar yang berfungsi sebagai garis batas boleh-tidaknya biji asam taruhan diambil. Para pemain yang akan bermain, biasanya akan berjongkok sekitar satu meter dari garis batas tersebut sebelum melakukan lontaran.

Peralatan Permainan
Peralatan yang digunakan dalam permainan abbatu samba adalah sebuah batu pengngambak dan sejumlah biji asam untuk setiap pemain. Batu pengngambak yang akan digunakan sebagai pelontar sebenarnya adalah juga biji asam. Namun, yang dipilih untuk dijadikan pengngambak biasanya adalah biji yang agak besar dan berat, sehingga ketika dilontarkan dapat dengan mudah menghamburkan biji-biji asam lain yang berada di dalam lubang. Sedangkan biji-biji asam lain yang dibawa oleh pemain, adalah sebagai taruhan yang nantinya akan dimasukkan dalam lubang untuk dikenai oleh batu pengngambak. Jumlah biji-biji asam yang harus dibawa bergantung dari kesepakatan pemain.

Peraturan Permainan
Peraturan permainan abbatu samba tergolong mudah karena hanya melontarkan batu pengngambak ke arah biji-biji asam yang berada di dalam lubang. Jika seseorang dapat mengeluarkannya dalam jumlah yang banyak (lebih banyak daripada lawan mainnya), maka ia akan menjadi pemenangnya. Agar permainan ini dapat berjalan dengan tertib dan lancar, maka aturan permainan sangat diperlukan. Aturan-aturan dalam permainan ini adalah sebagai berikut: (1) pemain harus berjongkok ketika melontarkan batu pengngambak-nya; (2) apabila lontaran tidak berhasil mengenai biji-biji taruhan, maka pelontarnya harus memberi kesempatan pemain lawan untuk melontar; (3) lontaran dianggap sah apabila posisi pemain berada di luar garis lingkar lubang. Peraturan ini jarang sekali diterapkan karena garis lingkar hanya berdiameter sekitar 30 cm, sehingga para pemain umumnya selalu berhasil melontarkan batu pengngambak-nya; (4) apabila melontar dan ternyata biji taruhan bersama batu pelontar berada di luar garis lingkar, maka biji taruhan tersebut berhak diambil dan pelontar masih diberi kesempatan melontar lagi biji taruhan yang sudah keluar dari lubang, namun hanya biji yang masih berada di dalam garis lingkar; dan (5) apabila batu pengngambak berada di dalam garis lingkar, sedang biji asam taruhan terhambur melewati garis lingkar, maka semua biji tersebut berhak diambil sebagai kemenangan (baha).

Jalannya Permainan
Proses permainan abbatu samba adalah sebagai berikut:
  1. Sipekke (sepakat), yaitu penentuan urutan pemain yang akan melontarkan batu pengngambak. Caranya dengan gambreng dan suit (apabila jumlah pemainnya 4 orang). Namun apabila hanya 2 orang, maka hanya suit saja yang dilakukan. Siapa diantara pemain yang sewaktu gambreng atau suit dapat mengalahkan lawan mainnya, maka yang bersangkutan akan mendapat kesempatan pertama untuk memulai permainan;
  2. Mallele (memungut), yaitu pemain yang akan memulai permainan selanjutnya akan mengambil biji-biji asam dari pemain lainnya. Jumlah biji asam yang harus diserahkan biasanya hanya sekitar 6--10 biji saja, karena jika terlalu banyak, akan memenuhi lubang dan sulit untuk disusun;
  3. Ammolik (menyimpan), yaitu biji-biji yang telah dikumpulkan, selanjutnya akan di susun di dalam lubang. Penyusunan biji-biji asam tersebut diusahakan serapi mungkin agar tidak ada biji yang bertumpang-tindih;
  4. Mengngambak (melontar), yaitu pemain akan mulai melontarkan batu pengngambak-nya ke arah lubang untuk mengeluarkan biji-biji taruhan. Cara melontar batu pengngambak adalah dengan berjongkok, kemudian salah satu tangan yang menggenggam pengngambak akan diangkat, dan setelah itu pengngambak akan dilontarkan ke arah lubang; dan
  5. Nisambe (pergantian), yaitu pergantian pelempar yang terjadi apabila pemain melakukan kesalahan atau tidak berhasil mengenai biji-biji asam taruhan. Permainan abbatu samba dinyatakan selesai apabila seluruh biji taruhan yang berada di dalam lubang telah habis. Apabila para pemain masih mempunyai biji-biji buah asam sebagai taruhan, maka permainan akan dimulai kembali seperti semula. Pemenang dari permainan ini adalah pemain yang dapat mengumpulkan biji-biji buah asam paling banyak diantara pemain-pemain lainnya dan disebut accakkarak (pemenang). Dan, bagi yang kalah dalam permainan ini akan disebut carruk (bangkrut).
Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan yang disebut sebagai abbatu samba ini adalah keterampilan, kecermatan dan sportivitas. Nilai keterampilan dan kecermatan tercermin dari usaha para pemain untuk sedapat mungkin mengeluarkan biji-biji asam taruhan dari garis lingkar agar dapat diambil sebagai nilai kemenangan. Seseorang dapat dengan mudah mengeluarkan biji taruhan dari dalam lubang apabila telah menguasai teknik-teknik melontarkan batu pengngambak dan memiliki kecermatan dalam memilih sasarannya. Keterampilan melontar dan memilih sasaran tersebut hanya dapat dimiliki, apabila seseorang sering bermain dan atau berlatih melontarkan pengngambak. Dalam kehidupan sehari-hari, apabila orang selalu melatih keterampilan dan kecermatan yang dimilikinya, apapun bentuknya, kemungkinan besar akan meraih kesuksesan dalam setiap usahanya. Dan, nilai sportivitas tercermin dari sikap dan perilaku yang sportif para pemain. Dalam hal ini, pemain yang kalah harus mengakui kekalahannya dan rela menyerahkan biji-biji buah asam yang dipertaruhkannya kepada pihak yang menang. Sedangkan bagi pihak yang menang, tidak boleh menyombongkan diri, sebab pada permainan yang akan datang, mungkin saja dapat dikalahkan oleh pihak yang sebelumnya kalah.

Sumber:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1980. Permainan Anak-Anak Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive