Syekh Nawawi al-Bantani

Syekh Nawawi al-Bantani merupakan salah seorang ulama besar asal Banten yang ahli dalam bidang fiqih, tauhid, tafsir, tasawuf, dan hadist. Syekh Nawawi lahir dengan nama Abû Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi di Kampung Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, pada tahun 1815 M1. Ayahnya bernama Umar bin 'Arabi dan ibu Zubaedah. Berdasarkan silsilah dari Sang Ayah, Syekh Nawawi bernasab pada Pangeran Sunyararas, keturunan ke-12 Sultan Banten Maulana Hasanuddin, Putra Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Nasab ini apabila dirunut lebih jauh akan sampai pada Husein, cucu Nabi Muhammad SAW2.

Mengacu pada nasab tersebut, maka tidak mengherankan apabila Syekh Nawawi tumbuh dalam suasana keagamaan yang sangat kuat. Semenjak kecil beliau telah dibimbing dan diarahkan oleh Sang Ayah menjadi seorang ulama. Ketika memasuki usia 8 tahun Sang Ayah membawanya pada Kyai Sahal untuk belajar mengaji. Setelah itu dibawa lagi ke Purwakarta untuk belajar pada Kyai Yusuf3. Sepulang dari Purwakarta, Nawawi muda mulai menerapkan ilmu yang diperoleh guna mengajar orang-orang di kampungnya. Beliau memilih lokasi di tepi pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang kian hari bertambah banyak1.

Saat berusia 15 tahun, bersama dua orang saudaranya, Nawawi menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Namun, setelah musim haji usai beliau tidak langsung kembali ke tanah air, melainkan ingin menimba ilmu kepada para ulama besar asal Indonesia yang ada di Mekkah, seperti Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, Syekh Abdul Hamid Daghestani, Syekh Junaid Al-Betawi4.

Setelah tiga tahun berguru pada para syekh di Mekkah Nawawi pulang ke Banten dan mengajar di pesantren milik ayahnya. Namun karena waktu itu beliau sering menyaksikan praktik-praktik ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penindasan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang semakin merajalela, maka timbullah nasionalismenya. Beliau kemudian berkeliling Banten untuk mengobarkan perlawanan terhadap Belanda. Hal ini tentu saja membuat Pemerintah Belanda membatasi gerak-geriknya dengan cara melarangnya berkhutbah di berbagai masjid. Bahkan, untuk mematahkan semangatnya, Nawawi juga dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu sedang mengobarkan perlawanan terhadap Belanda.

Ketiadaan ruang gerak ini akhirnya membuat Syekh Nawawi mengambil keputusan untuk kembali ke Mekkah pada sekitar tahun 1830 M. Di sana beliau menekuni kembali ilmu agama hingga akhirnya dapat mengajar di halaman rumahnya di daerah Syi'ib 'Ali. Mula-mula muridnya hanya berjumlah puluhan orang, kemudian jumlahnya semakin bertambah banyak dan datang dari berbagai penjuru dunia. Di antara para murid tersebut adalah: KH Hasyim Asy'ari (pendiri Nahdlatul Ulama); KH Khalil dari Bangkalan, Madura; KH Mahfudh at-Tarmisi dari Tremas, Jawa Timur; KH Asy'ari dari Bawean; KH Nahjun dari Tangerang; KH Asnawi dari Labuan; KH Ilyas dari Serang; KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah); KH Tubagus Bakri dari Purwakarta; KH Abdul Ghaffar dari Serang; KH Mas Muhammad Arsyad Thawil dari Serang; dan lain sebagainya. Mereka belajar ilmu tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawwuf.

Seiring waktu, namanya semakin melejit di jazirah Arab dan akhirnya ditunjuk menjadi Imam Masjidil Haram menggantikan Syekh Ahmad Khatib Sambas yang telah berusia lanjut. Dan, sejak saat itu beliau dikenal dengan nama resmi Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Artinya, Syekh Nawawi dari daerah Banten, Jawa. Selain penambahan nama, berkat keintelektualannya dalam bidang agama Syekh Nawawi juga mendapat berbagai macam gelar dan julukan, diantaranya: Doktor Ketuhanan yang diberikan oleh Snouck Hourgronje1; al-Imam wa al-Fahm al Mudaqqiq (Tokoh dan pakar dengan pemahaman mendalam) yang diberikan oleh para intelektual masa itu; al-Sayyid al-'Ulama al-Hijaz (Tokoh ulama Hijaz/jazirah Arab); dan A'yan 'Ulama al-Qarn ar-Ram 'Asyar Li al-Hijrah5.

Keintelektualan Syekh Nawawi dalam bidang ilmu agama ditandai dengan banyaknya kitab yang berhasil ditulisnya. Sabrial.wordpress.com, menyatakan Syekh 'Umar' 'Abdul Jabbar (Ulama Mesir) pernah menyinggung dalam kitabnya yang berjudul "al-Durûs min Mâdhi al-Ta’lîm wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Harâm” (beberapa kajian masa lalu dan masa kini tentang pendidikan masa kini di Masjidil Haram) bahwa Syekh Nawawi sangat produktif menulis sehingga karyanya telah mencapai lebih dari seratus judul dalam berbagai disiplin ilmu (tauhid, kalam, sejarah, syari'ah, tafsir, dan lain sebagainya). Dari seluruh karya tersebut, menurut senibudaya-ind.blogspot.com, 34 buah diantaranya tercatat dalam Dictionary of Arabic Printet Books karya Yusuf alias Sarkis.

Karya-karya Syekh Nawawi sebagian besar diterbitkan di Mesir dan kemudian disebarluaskan ke seluruh penjuru Timur Tengah dan wilayah Asia Tenggara, termasuk Malaysia, Filipina, Thailand, serta pesantren-pesantren yang ada di Indonesia. Khusus untuk Indonesia, pengaruh kitab-kitab Syekh Nawawi membawa perubahan mencolok pada kurikulum pesantren terutama dalam bidang tafsir, ushul fiqh, dan hadists. Bahkan, hingga sekitar tahun 1990, diperkirakan terdapat sekitar 22 buah karya Syekh Nawawi yang masih dipergunakan oleh banyak pesantren di Pulau Jawa.

Kitab-kitab karya Syekh Nawawi didasarkan atas faham Asy'ariyyah dan Maturidiyyah yang dianutnya. Faham yang dilahirkan oleh Abu Hasan al Asyari dan Abu Manshur al Maturidi ini memfokuskan diri pada pembelajaran sifat-sifat Ilahi. Sedangkan mazhab fikihnya mengikut Imam Syafi'i3. Adapun kitab-kitab itu di antaranya adalah: (1) al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah; (2) al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn; (3) Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh; (4) BaÄ¥jah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf; (5) al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb; (6) Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi MuÄ¥immâh al-Dîn; (7) Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah; (8) Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd; (9) Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄; (10) Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân; (11) al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd; (12) Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah; (13) Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah; (14) Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm; (15) Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts; (16) Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji; (17) Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî; (18) Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm; (19) Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd; (20) Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry; (21) Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb; (22) Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq; (23) Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ; (24) al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-ÃŽmâniyyah; (25) ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain; (26) Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits; (27) Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd; (28) al-NaÄ¥jah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah; (29) Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah; (30) Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman; (31) al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah; (32) al-Riyâdl al-Fauliyyah; (33) Mishbâh al-Dhalâm’ala MinÄ¥aj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm; (34) Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd; (35) al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny; (36) Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm; (37) al-Durrur al-BaÄ¥iyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah; (38) Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.

Setelah berhasil membuahkan ratusan buah kitab dan mengabdikan diri sepenuhnya pada agama Islam, Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib 'Ali pada 25 Syawal 1314 Hijriah/1897 Masehi. Suami dari Nyai Nasiham dan ayah dari Nafisah, Maryam, Rubiah ini dimakamkan di Ma'la, berdekatam dengan makam Asma binti Abu Bakar As-Shiddiq, anak Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq. Sebagai catatan, pemerintah Kerajaan Saudi pernah mencoba memindahkan jasad beliau karena - sesuai dengan peraturan setempat - jasad orang yang telah dikubur selama satu tahun di Ma'la harus digali kembali dan dipindahkan ke tempat lain yang ada di luar kota. Tetapi ketika makam Syekh Nawawi dibongkar ternyata jasadnya masih utuh tanpa adanya tanda-tanda pembusukan mereka segera mengurungkannya. (gufron)

Sumber:
1. "Nawawi al-Bantani", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Nawawi_al-Bantani, tanggal 10 Agustus 2015.

2. "Ulama Indonesia yang Menjadi Imam Masjidilharam", diakses dari http://daerah.sindonews.com/read/917708/29/ulama-indonesia-yang-menjadi-imam-masjidilharam-bagian-2-habis-1414689759/6, tanggal 10 Agustus 2015.

3. "Kisah Ulama Asal Banten yang Menjadi Imam Masjidil Haram", diakses dari http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/07/23/mqdrwi-kisah-ulama-asal-banten-yang-menjadi-imam-masjidil-haram, tanggal 11 Agustus 2015.

4. "Syaikh Nawawi al Bantani, diakses dari https://sabrial.wordpress.com/syaikh-nawawi-al-bantani-4/, tanggal 9 Agustus 2015.

5. "Riwayat Hidup Syekh Nawawi al Bantani", diakses dari http://senibudaya-ind.blogspot.com/2014/03/riwayat-hidup-syekh-nawawi-al-bantani.html, tanggal 9 Agustus 2015.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive