Batu Putu

Batu Putu merupakan salah satu kawasan hutan yang secara administratif berada di Kelurahan Batu Putu, Kecamatan Telukbetung Utara. Lokasinya tidak begitu jauh dari Taman Wisata Bumi Kedaton (TWBK) dan juga Taman Kupu-Kupu. Untuk dapat mencapainya relatif mudah karena kondisi jalannya relatif baik (telah beraspal). Dari Kota Tanjungkarang hanya berjarak sekitar 20 kilometer atau 20-30 menit perjalanan menggunakan kendaraan bermotor.

Batu Putu adalah sebuah hutan yang dijadikan sebagai kawasan wanawisata oleh pemerintah Provinsi Lampung. Di tempat ini pengunjung dapat menikmati keindahan alam berupa hamparan pepohonan yang menjulang tinggi, kicauan burung yang bertengger di atas ranting, serta gemericik air yang berasal dari air terjun. Sebagai catatan, di sekitar kawasan wisata alam Batu Putu juga dikenal sebagai penghasil buah-buahan, seperti durian, duku, pisang, manggis, dan lain sebagainya. Jadi, selain menikmati keindahan alam pengunjung juga dapat mencicipi berbagai macam buah yang dihasilkan petani di Batu Putu. (pepeng)

Foto: https://eloratour.wordpress.com/2013/12/01/air-terjun-sukadanaham/

Desa Cikeusi

Letak dan Keadaan alam
Desa Cikeusi berada sekitar 3 kilometer sebelah barat Kecamatan Darmaraja atau sekitar 24 kilometer dari Kota Sumedang. Secara geografis batas-batas desa ini adalah: sebelah utara berbatasan dengan Desa Karang Pakuan, sebelah timur berbatasan dengan Desa Tarunajaya, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cienteung, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Cinangsi.

Desa Cikeusi merupakan desa tua yang sudah terbentuk sejak sekitar 1801 dengan kepala desanya bernama Jaham (periode 1801-1831). Setelah masa kepemimpinan Jaham berakhir, hingga saat ini sudah ada 16 orang kepala desa yang pernah memimpin Cikeusi. Mereka adalah: Yakin (periode 1831-1857), Antapraja (periode 1858-1883), Muhani (periode 1889-1918), Intapraja (periode 1918-1937), Ardipraja (1939-1943), Arintapraja (periode1943-1947), Sumawijaya (periode 1947-1956), Parmasasmita (periode 1959-1961), D. Karta (periode 1961-1974), Tarsedi (periode 1975-1978), A. Kusnadi (periode 1980-1988), U. Kuswandi (periode 1989-1997), Momo (periode 1997-1999), dan Cece Surakhman (periode 1999-2007-sekarang).

Setelah dimekarkan pada tahun 1982 menjadi Desa Cikeusi dan Desa Pasirmukti (kini Desa Cinangsi, Kecamatan Cisitu), luas wilayah Desa Cikeusi hanya menjadi 369,487 ha, terdiri dari: tanah darat seluas 121,78 ha, persawahan seluas 96 ha, pengangonan 59,56 ha, tanah titisan 72 ha, dan balong (kolam) seluas 0,05 ha. Namun, apabila Waduk Jatigede mulai beroperasi, luas desa akan semakin berkurang karena sebagian lahannya menjadi waduk.

Kependudukan
Penduduk Desa Cikeusi berjumlah 2.330 orang atau 730 Kepala Keluarga yang terdiri atas 1.197 orang laki-laki dan 1.133 orang perempuan. Jika dilihat berdasarkan tempat tinggal, persebaran penduduk hampir merata di dua dusun yang ada.

Mata Pencaharian
Seperti dikatakan di atas, Desa Cikeusi terbagi dalam dua dusun (Andir dan Citembong Girang) serta 4 Rukun Warga dan 17 Rukun Tetangga. Setiap Rukun Warga mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. Rukun Warga 01 warga masyarakatnya rata-rata berusia produktif dan bermata pencaharian sebagai Pegawai Negeri Sipil, petani, wirausaha, dan pensiunan PNS. Penduduk Rukun Warga 02 rata-rata bermata pencaharian sebagai petani padi, sawo, rambutan, aren dan perajin batu bata. Penduduk Rukun Warga 03 rata-rata berprofesi sebagai guru, PNS, dan petani, tengkulak buah, dan peternak. Sedangkan penduduk Rukun Warga 04 sebagian besar berprofesi sebagai petani dan peternak.

Pendidikan dan Kesehatan
Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Cikeusi berupa 2 buah Sekolah Dasar (SDN Cikeusi I dan SDN Cikeusi II), satu buah pondok pesantren, sebuah SD-SLB dengan jumlah pengajar 8 orang, sebuah SMP-SLB serta sebuah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). PAUD di desa ini menampung 40 siswa dengan jumlah pengajar sebanyak 3 orang. Sedangkan Sekolah Dasar menampung 192 siswa dengan jumlah tenaga pengajar sebanyak 12 orang. Sementara untuk sarana kesehatan hanya ada empat buah Posyandu dengan tenaga medis sebanyak 40 orang, terdiri atas: seorang bidan dan 39 orang kader Posyandu aktif. Selain itu ada juga seorang dukun beranak atau paraji yang siap membantu kaum perempuan melahirkan.

Organisasi Pemerintahan dan Kemasyarakatan
Secara administratif dan teritorial, pemerintahan Desa Cikeusi terdiri dari Pemerintah Desa dan BPD. Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa (kuwu) dijabat Cece Surakhman dan perangkat desa (sekretaris desa/juru tulis/ulis (Uca S.), Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat (Tohidi), Kepala Urusan Pemerintahan (Uca Somantri), Kepala Urusan Keuangan (Ai Kurniasih), dan Kepala Ekbang (Dia Adipura). Sementara BPD atau Badan Permusyawaratan Desa adalah perwakilan penduduk yang dipilih berdasarkan musyawarah-mufakat terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama, atau pemuka masyarakat lainnya. BPD adalah sebuah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintah desa.

Selain kedua oraganisasi pemerintahan tersebut, terdapat juga organisasi kemasyarakatan seperti Karang Taruna, Alhidayah, kelompok tani, Kelompok Wanita Tani, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), dan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK). PKK bergerak dalam urusan kebutuhan hidup melalui 10 program, yaitu penghayatan dan pengamalan Pancasila, gotong royong, pangan, sandang, Perumahan dan tata laksana rumah tangga, pendidikan dan keterampilan, kesehatan, pengembangan kehidupan berkoperasi, kelestarian lingkungan hidup, dan perencanaan sehat.

Desa Sukaratu

Letak dan Keadaan Alam
Desa Sukaratu terletak hanya sekitar 1 kilometer dari Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang. Secara geografis batas-batas desa ini: sebelah utara berbatasan dengan Desa Cibogo dan Desa Tarunajaya; sebelah timur berbatasan dengan Desa Jatibungur dan Desa Leuwihideung; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Darmaraja; dan sebelah barat juga berbatasan dengan Desa Darmaraja.

Desa Sukaratu sudah terbentuk sejak era kepemimpinan Pangeran Aria Atmadja pada tahun 1918, dengan wilayah meliputi Kampung Durung dan Kampung Cibungur yang saat ini merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Darmaraja. Nama desanya sendiri konon diambil dari kata suka atau seneung dan ratu atau raja yang dapat diartikan sebagai wilayah yang dicintai oleh para pemimpin.

Sekitar tahun 1947 terjadi perkembangan wilayah desa, meliputi: (1) Kampung Cibungur dan Kampung Dangdeur di bawah kendali Kepala Kampung (kokolot) Cibungur; (2) Kampung Jatiroke di bawah kendali Kokolot Jatiroke; (3) Kampung Cipendeuy di bawah kendali Kokolot Cipendeuy; dan Kampung Pasar dan Kampung Durung di bawah kendali Kokolot Pasar Durung.

Kemudian pada masa kepemimpinan Kuwu Minta, sekitar tahun 1953, terjadi perubahan lagi sejalan dengan adanya PP tentang pembentukan RT dan RK, menjadi: (1) Rukun Kampung 01 meliputi wilayah Kampung Cubungur dan Kampung Dangdeur sejumlah 6 Rukun Tetangga; (2) Rukun Kampung 02 meliputi wilayah Kampung Jatiroke sejumlah 6 Rukun Tetangga; (3) Rukun Kampung 03 meliputi wilayah Kampung Cipendeuy sejumlah 9 Rukun Tetangga; dan (4) Rukun Kampung 04 meliputi wilayah Kampung Pasar dan Kampung Durung sejumlah 8 Rukun tetangga.

Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Bupati Sumedang Nomor: 140/19/Pemb Smd/1982 di era kepemimpinan Kuwu Tachya, wilayah dimekarkan menjadi dua desa, yaitu: Desa Sukaratu berkedudukan di Jalan Hasanah No. 2 Cipendeuy dengan Kepala Desa tetap dijabat oleh Tachya; dan Desa Jatibungur berkedudukan di Jalan Rd. Umar Wirahadikusuma KM 28 No. 375 Cibungur dengan Kepala Desa dijabat oleh Pjs. Kuwu Taan Suriadisastra.

Pasca pemekaran wilayah Desa Sukaratu menjadi: Dusun Pasar (Rukun Kampung 01, 6 Rukun Tetangga); Dusun Durung (Rukun Kampung 02, 6 Rukun Tetangga); Dusun Cipendeuy (Rukun Kampung 03, 12 Rukun Tetangga); dan Dusun Dangdeur (Rukun Kampung 04, 2 Rukun Tetangga). Rukun Kampung kemudian menjadi Rukun Warga sejak tahun 1986 berdasarkan peraturan Negara Republik Indonesia.

Keempat rukun warga tersebut kemudian dimekarkan lagi menjadi 7 rukun tetangga pada tahun 2007 karena ada perpindahan penduduk Dusun Dangdeur ke wilayah dusun lainnya akibat terkena proyek pembangunan Waduk Jatigede. Jadi, hanya sebagian kecil saja dari desa ini yang akan tergenang dan menjadi bagian waduk. Sedangkan wilayah lainnya tetap ada dengan luas keseluruhan mencapai 130,11 ha, terdiri dari: pemukiman penduduk (29,32 ha), persawahan 80,26 ha, ladang/tegalan 19,52 ha, perkantoran pemerintah 0,84 ha, lahan angon 55 ha, pemakaman, 0,16 ha, dan lain sebagainya.

Kependudukan
Penduduk Desa Sukaratu berjumlah 2.499 orang atau 896 Kepala Keluarga yang terdiri atas 1.261 orang laki-laki dan 1.238 orang perempuan. Jika dilihat berdasarkan tempat tinggal, persebaran penduduk hampir merata di ketiga dusun yang ada.

Mata Pencaharian
Jenis-jenis mata pencaharian yang digeluti oleh warga masyarakat Desa Sukaratu cukup beragam, tetapi sebagian besar bertumpu pada sektor pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Pada sektor pertanian, produksi tanaman padi di lahan seluas 80,260 ha dapat menghasilkan beras sejumlah 447 ton. Dari sektor perkebunan berupa 340 batang pohon mangga, 108 batang pohon petai, dan 158 batang pohon rambutan dapat menghasilkan sekitar 251 ton buah per tahun yang dijual secara borongan pada para bandar buah. Dari sektor peternakan berupa 164 ekor domba, 16 ekor sapi, 3 ekor kerbau, dan 6 ekor kuda masih diusahakan secara perorangan sehingga hasilnya belum dapat menjadi komoditas unggul di Desa Sukaratu. Sedangkan, dari sektor perikanan seluas 9.660 meter persegi yang sumber dananya berasal dari alokasi khusus (DAK) dan APBD Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Sumedang untuk pembesaran ikan gurame dan nila dapat menghasilkan lebih dari 3 ton untuk sekali panen.

Kesenian
Desa Sukaratu memiliki dua buah grup kesenian kuda renggong, yaitu: Sinar Rahayu (Heboh Grup) pimpinan Een Sutisna dan Mitra Wangi pimpinan Uum Sumiyati. Keduanya berada di Dusun Cipendeuy. Kuda renggong adalah suatu kesenian khas masyarakat Sunda (Jawa Barat) yang menampilkan 1-4 ekor kuda yang dapat menari mengikuti irama musik. Di atas kuda-kuda tersebut biasanya duduk seorang anak yang baru saja dikhitan atau seorang tokoh masyarakat. Kata renggong adalah metatesis dari ronggeng yang artinya gerakan tari berirama dengan ayunan (langkah kaki) yang diikuti oleh gerakan kepala dan leher. (gufron)

Museum Perjuangan Yogyakarta

Sejarah
Museum Perjuangan berada di Jalan Kolonel Sugiyono No. 24, Yogyakarta. Keberadaan museum ini di Kota Yogyakarta bermula dari gagasan Sri Sultan Hamengkubuwana IX untuk mendirikan sebuah monumen saat memperingati setengah abad Kebangkitan Nasional pada bulan Mei 1958. Adapun tujuannya adalah agar dapat mengenang perjuangan bangsa Indonesia dalam sebuah bangunan monumental yang memuat sejarah perjuangan anak negeri dalam memperjuangkan kemerdekaan1.

Agar bangunan monumen cepat terealisasi, dibentuklah Panitia Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional, terdiri dari: Sri Sultan Hamengkubuwana IX (ketua), Sri Paku Alam VIII (wakil ketua), Moh. Djamhari (wakil ketua II), Letkol Joesmin (wakil ketua III), Mayor R.M. Hardjokoesoemo (wakil ketua IV), Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo (wakil ketua), R. Soetardjo (sekretaris), dan anggota (R. Soemarsono, K.R.T. Kertoprodjo, R. Rio Darmoprodjo, R. Mangoenwastio, Prodjosudono, Lets. Soejoedi, Soesila Prawirosoesanto, Bismo Wignyoamidjojo, S. Mangoenpuspito, R.W. Pronosoeprojo, Winoto, Ds. SP. Poerbpwijogo, Ibnoe Moekmin, Daljoeni, Prodjokaskojo, Ny. Sahir Nitihardjo, K.R.T. Labaningrat, Prof. Ir. Soewandi, R.M. Srihandojokoesoemo, dan Soedharso Pringgobroto)2.

Panitia Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional membentuk lagi sebuah panitia khusus yang akan membahas tentang apa dan bagaimana monumen itu kelak. Kepanitiaan khusus ini beranggotakan sembilan orang sehingga sering disebut juga sebagai Panitia Sembilan, terdiri atas: Soenaryo Mangoenpoepito (ketua), Soetardjo (sekretaris), dan anggora (Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo, Soenito Dojosoegito, Ny. Sahir Nitihardjo, Daljoeni, Fadlan AGN, Mangoenwarsito, Bismo Wignjoamidjojo, dan R.W. Probosoeprodjo)2.

Selain membentuk Panitia Sembilan, Panitia Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional juga membentuk seksi Pembangunan Gedung Museum, seksi Pengumpulan Barang-barang dari Pihak Sipil, seksi Pengumpul Barang-barang dari Pihak Militer, seksi usaha sesudah museum jadi dan dibuka, seksi relief, seksi administrasi keuangan, serta seksi penerangan dan propaganda. Seksi-seksi tersebut mulai bekerja hingga pemasangan patok pertama pada tanggal 17 Agustus 1959 oleh Sri Paku Alam VIII sebagai tanda tempat akan dibangunnya museum di halaman nDalem Brontokusuman, pencangkulan pertama tanggal 5 Oktober 1959 oleh Sri Paku Alam VIII sebagai tanda dimulainya pembangunan museum, pemasangan batu terakhir tanggal 29 Juni 1961 oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai tanda berakhirnya pembangunan museum, dan upacara pembukaan museum tanggal 17 November 1961 oleh Sri Paku Alam VIII sebagai tanda dibukanya museum untuk umum.

Setelah dibuka untuk umum, pengelolaan museum dilakukan oleh Panitia Setengah Abad Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, karena ditangani oleh sebuah panitia dan bukan organisasi khusus, kegiatan museum mengalami pasang surut dan bahkan sempat tutup dari tahun 1963 hingga 1969. Bangunan dan perawatan koleksi yang berada di dalamnya dilimpahkan kepada pihak Museum Angkatan Darat yang waktu itu juga berkedudukan di nDalem Brontokusuman (di bagian belakang Museum Perjuangan).

Pada tahun 1970, walau masih tertutup untuk umum, pengelolaan museum beralih ke Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta c.q Inspeksi Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Empat tahun kemudian, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menyerahkan pengelolaan museum kepada Bidang Permuseuman Sejarah dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai bagian dari Museum Sonobudoyo.

Ketika menjadi bagian dari Museum Sonobudoyo yang saat itu menjadi UPT pada Direktorat Permuseuman Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan inilah pada tanggal 30 Juni 1980 Museum Perjuangan dibuka lagi untuk umum. Dan, pada tanggal 5 September 1997 pihak Museum Sonobudoyo yang telah beralih menjadi UPT Daerah Istimewa Yogyakarta melimpahkan pengelolaan Museum Perjuangan kepada Museum Benteng Vredeburg sesuai dengan keputusan Direktur Pendidikan dan Kebudayaan No: 386/FLIV/E/97 tanggal 22 Agustus 1997 serta Berita Acara Penyerahan No: 14/F4.113/D2.19971.

Oleh pihak Museum Benteng Vredeburg, pada tahun 2007 Museum Perjuangan direnovasi (akibat gempa) dan tahun berikutnya ditambahkan koleksi-koleksi sejarah persandian Indonesia di lantai bawah bangunan yang pengelolaannya diserahkan pada Lembaga Sandi Negara. Koleksi-koleksi sejarah persandian tersebut selanjutnya dikenal sebagai Museum Sandi yang pada pertengahan bulan Juli 2013 dipindahkan ke bekas Gedung Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Istimewa Yogyakarta3.

Sedangkan dalam hal pengoperasiannya, Museum Perjuangan dijadikan sebagai Unit II Museum Benteng Vredeburg yang pengelolanya ditunjuk dari karyawan-karyawan Museum Benteng Vredeburg oleh Kepala Museum berdasarkan surat tugas. Adapun susunannya terdiri dari seorang Kordinator Unit yang bertugas menyusun dan melaksanakan program kerja administrasi maupun teknis museum. Dalam melaksanakan tugasnya, Kordinator Unit dibantu oleh petugas persuratan/perlengkapan, petugas penyajian, petugas konservasi, petugas bimbingan edukasi, dan petugas keamanan.

Bangunan Museum
Bangunan Museum Perjuangan yang berada dalam areal nDalem Brontokusuman ini berbentuk bulat silinder menyerupai perpaduan antara bentuk bangunan model Romawi kuno dengan model Timur yang dinamai sebagai ronde temple. Adapun idenya berasal dari Sri Sultan Hamengkubuwana IX yang diutarakan oleh ketua panitia teknik Prof. Ir. Soewandi saat memberikan penjelasan tentang rencana dan bangunan pada rapat pleno keempat tanggal 19 Juni 1959.

Pembangunan museum disokong oleh dana bantuan pemerintah pusat sebesar Rp.8.000.000,00 yang terbagi dalam tiga termin. Termin pertama sebesar Rp.3.500.000,00 pada tahun 1959, termin kedua sebesar Rp.2.500.000,00 pada tahun 1960, dan termin terakhir pada tahun 1961 sebesar Rp.2.000.000,002. Sedangkan pengerjaannya dilakukan oleh E.I.C (Indonesian Engineering Corporation) yang menjadi pemenang lelang dengan penawaran paling mendekati budget pemerintah.

Khusus untuk pengerjaan patung dan hiasan puncak gedung, melalui sidang pleno ke sembilan tanggal 7 April 1960 Panitia Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional membuat dua macam sayembara, yaitu: sayembara hiasan puncak gedung museum dan sayembara kesatuan patung di muka gedung museum. Oleh karena tidak ada rancangan hiasan puncak museum yang memenuhi kriteria, panitia terpaksa memilih salah satu dari 44 rancang bangun museum yang telah dikirimkan peserta sayembara. Rancang bangun puncak museum yang memenangi sayembara tersebut diberi judul "Purana Swaraj". Pemenangnya yaitu F.A. Sutjipto diberi penghargaan serta hadiah sejumlah Rp.20.000,00. Sedangkan untuk pemanang sayembara kesatuan patung di muka gedung museum berjudul "Mara Hanung" diberi hadiah sebesar Rp.5.000,00.

Setelah seluruh persiapan matang, pendirian bangunan museum pun dimulai dengan dipimpin oleh Soerodjo dari NV I.E.C. Soerodjo membangun museum sesuai dengan yang diinginkan oleh panitia, yaitu berbentuk bulat dengan diameter 30 meter dan tinggi 17 meter. Pada bagian puncaknya berukuran dasar 3 meter, tinggi 7 meter dan berat sekitar 15 ton. Pengerjaan bagian puncak bangunan dibagi menjadi 3 bagian. Pertama, membuat cetakan menggunakan tanah liat sebanyak 11 ton. Kemudian cetakan itu dibalut gibs sejumlah 6 ton, dan terakhir memasang cetakan gibs di atas gedung museum untuk dicor dengan beton.

Selesai pembuatan puncak dilanjutkan dengan pengerjaan hiasan dan relief pada beberapa bagian museum. Adapun relief dan hiasan tersebut, diantaranya adalah: (1) makara berbentuk binatang laut pada bagian kiri dan kanan pintu masuk museum; (2) lima buah bambu runcing di bagian atap gedung yang berbentuk mirip ropi baja model Amerika; (3) bulatan dunia yang terletak di atas lima buah trap; (4) bintang bersudut delapan dengan peta kepulauan Indonesia di tengah-tengahnya yang dibuat di bagian atas pintu masuk museum; (5) pada bagian bawah bintang bersudut delapan dihias candrasengkala berbunyi ciptaan R.M. Kuswaji Kawindro Susanto berbunyi "Anggatra Pirantining Kusuma Negara"; (6) relief pada sekeliling gedung yang menceritakan riwayat perjuangan bangsa dari berdirinya Boedhi Utomo hingga terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (7) ukiran lung-lungan berbentuk menyerupai lidah api pada 45 buah pilar.

Koleksi Museum Perjuangan
Sesuai dengan namanya, museum ini mengkoleksi benda-benda yang berhubungan dengan perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Benda-benda bersejarah tersebut dibagi dalam dua tata pameran. Tata pameran pertama disajikan secara outdoor dan tata pameran kedua disajikan indoor4.

Koleksi tata pameran outdoor meliputi: bangunan museum sendiri; patung kepala pahlawan nasional (Sultan Hasanuddin, Kapitan Pattimura, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Raden Ajeng Kartini, Dr. Wahidin Soedirohoesodo, Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Husni Thamrin, dan Jenderal Soedirman); dan relief peristiwa sejarah berupa lahirnya Boedhi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, Muhammadiyah, Taman Siswa, Partai Nasional Indonesia, lahirnya Gabungan Politik Indonesia (GAPI), perlawanan rakyat terhadap penjajah Belanda, pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia, Kongres Pemuda II, Kongres Wanita Indonesia, Perang Dunia II, Penindasan Jepang, penyerahan Jepang pada Sekutu, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, gema proklamasi dalam peristiwa Ikada (Ikatan Atletik Djakarta), konsolidari kekuatan Jepang oleh rakyat Indonesia, insiden bendera Tunjungan di Surabaya, pemberontakan Tentara Keamanan Rakyat, Kongres Pemuda I, Sidang I Bdan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, Perpindahan Ibukota RI ke Yogyakarta, Perang Puputan di Bali, Berdirinya Universitas Gadjah Mada, peristiwa Bandung Lautan Api; Politik diplomasi tahun 1948; pengangkutan eks tahanan warganegara Belanda dan eks tentara Jepang; Agresi Militer Belanda I; Pekan Olahraga Nasional di Solo, Agresi Militer Belanda II; Serangan Umum 1 Maret 1949; penarikan tentara Belanda dari Yogyakarta; para pemimpin negara kembali ke Yogyakarta tanggal 6 Juli 1949; Konferensi Meja Bundar; pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda 27 Desember 1949; dan terbentuknya Republik Indonesia Serikat.

Sedangkan koleksi tata pameran indoor meliputi: replika meriam yang ditemukan di dalam komplek Museum Benteng Vredeburg; miniatur kalap armada laut Belanda; sepeda Armed yang pernah digunakan oleh para anggota BKR pada masa Perang Kemerdekaan; meja dan kursi tamu kapten Widodo; replika senjata serdadu VOC; buku ilmu kedokteran dari Stovia; benda-benda milik R.M. Soerjopranoto yang berujud udheng (penutup kepala), mesin ketik, dan peralatan makan (piring dan centong); miniatur kepanduan (miniatur Pandu Hizbul Wathan (HW), Pandu Rakyat, dan Pramuka); Tugu Kepanduan Bangsa Indonesia; pakaian perempuan Pandu Mataram; keranjang rumput yang dipakai oleh para pejuang di Bali; matang uang VOC, klise mata uang ORI, dan uang ORI; meja guru Militer Akademi Yogyakarta; perlengkapan milik Tjilik Riwut berupa tongkat, bumbung, perples, cangkir bambu, pinggang rotan, dan dokumen perjuangan; perlengkapan Soekarno ketika berada di Rengasdengklok berupa tempat tidur, meja, kursi, dan peralatan milik Djiaw Kie Slong; perlengkapan milik Soekimin (salah seorang Tentara Pelajar) berupa arsip surat-surat penting, buku catatan harian, topi-pakaian Tentara Pelajar, dan bendera Merah-Putih; perlengkapan SPN (Sekolah Polisi Negara) berupa meja, kentongan, dan lampu senthir; tas kayu; bambu runding; samurai; radio perjuangan dari PPT Bandung; pedang dan kenop milik Suto Darmo, anggota polisi Pamong Praja Desa Gerbosari, Kulonprogo; lumpang batu yang pernah digunakan untuk menyiapkan logistik bagi Tentara Ganie Pelajar saat berada di rumah Mulyo Sewoyo5; perlengkapan kedokteran yang pernah digunakan di Rumah Sakit Boro, Kulonprogo, pada masa Perang Kemerdekaan; plakat-plakat perjuangan; kentongan kesekretariatan MBKD (Markas Besar Komando Djawa); perlengkapan kepolisian yang dipakai Kepolisian Gunungkidul sebelum tahun 1958; tas kulit milih Mohammad Hatta; peralatan minum Jenderal Soedirman; perlengkapan Kolonel Zulkifli Lubis dan Letkol Suhano; replika patung Nyi Ageng Serang, Dewi Sartika, Dr. Soetomo, Tirto Koesoemo, K.H.A. Dahlan, R.M. Soerjopranoto, Adi Sutjipto, Ir. Soekarno, Oerip Soemohardjo, dan Moh. Hatta; serta lukisan-lukisan peristiwa sejarah seperti Pernyataan Negeri Ngayogyakarta, pengibaran Bendera Merah Putih di Gedung Agung, pertempuran Kotabaru, penawanan Tentara Pelajar di daerah Prambanan, Serangan Umum 1 Maret 1949, dan dapur umum di daerah gerilya di Kulonprogo; serta patung replika polisi Hindi Belanda (Dutch East Indies Politie) yang mulai dipamerkan pata 6 Januari 20156.

Fasilitas Museum
Selain ruang pamer indoor dan aoutdoor, Museum Perjuangan juga dilengkapi dengan fasilitas penunjang bagi pengunjung, seperti: areal parkir, taman bermain, hotspot area, toilet, mushola, perpustakaan, dan auditorium. Bagaimana, Anda berminat menyaksikan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia? Apabila ingin berkunjung, museum ini dibuka secara umum dari hari Senin-Jumat (kecuali hari Sabtu, Minggu, dan hari besar nasional) dengan perincian: Senin-Kamis pukul 08.00-16.00 WIB dan Jumat pukul 08.00-16.30 WIB7. Adapun tiket masuknya dibagi dalam beberapa kategori, yaitu: pengunjung dewasa perorangan sebesar Rp. 2.000,00, dewasa rombongan sebesar Rp. 1.000,00, anak-anak perorangan sebesar Rp. 1.000,00, anak-anak rombongan sebesar Rp. 500,00, dan wisatawan mancanegara (dewasa maupun anak-anak) sebesar Rp. 10.000,008. (ali gufron)

Foto: http://pariwisata.jogjakota.go.id/index/extra.detail/1993/museum-perjuangan.html
Sumber:
1. "Sekilas tentang Museum Perjuangan (Museum Benteng Vredeburg Unit II)", diakses dari http://museumvredeburg.blogspot.co.id/2011/04/sekilas-tentang-museum-perjuangan.html, tanggal 8 November 2015.
2. "Museum Perjuangan Yogyakarta", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Perjuangan_ Yogyakarta, tanggal 8November 2015.
3. "Museum Sandi", diakses dari https://gudeg.net/direktori/5215/museum-sandi.html, tang gal 2 November 2015.
4. "Tentang Museum", diakses dari http://perjuangan.museumjogja.org/id/page/8-Tentang-Museum, tanggal 10 November 2015.
5. "Koleksi", diakses dari http://perjuangan.museumjogja.org/id/collection, tanggal 9 Novem ber 2015.
6. "Penambahan Patung Polisi Jaman Hindia Belanda", diakses dari http://perjuangan. museumjogja.org/id/news/7-penambahan-patung-polisi-jaman-hindia-belanda, tanggal 9 November 2015.
7. "Tentang Museum", diakses dari http://perjuangan.museumjogja.org/id/page/8-Tentang-Museum, tanggal 27 November 2015.
8. "Museum Perjuangan Yogyakarta", diakses dari https://gudeg.net/direktori/1652/museum-perjuangan-yogyakarta.html, tanggal 10 November 2015.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive