Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution

Sejarah dan Perkembangan
Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution (TLL-AISN) terletak di Jalan Belitung No. 1, Bandung, Jawa Barat1. Sesuai dengan namanya (taman lalu-lintas), taman yang berada di jantung Kota Bandung ini dibangun sebagai sarana bermain sekaligus tempat menanamkan etika dalam berlalu-lintas yang baik dan benar bagi anak-anak usia sekolah2. Di sini mereka dapat berkendara pada sebuah jalur buatan yang telah dilengkapi dengan rambu-rambu lalu lintas, sehingga dapat langsung mempraktekkannya dalam suasana yang menyenangkan.

Apabila ditilik dari sejarahnya TLL-AISN dahulu hanyalah sebuah lahan terbuka bagian dari pusat komando pertahanan Hindia-Belanda di Nusantara. Gunanya adalah sebagai tempat latihan baris-berbaris para serdadu Belanda2 yang bermarkas di gedung Paleis Legercommandat (sekarang Markas Komando Daerah Militer III/Siliwangi) dan gedung Departement van Oorlog (Departeman Peperangan) yang oleh warga masyarakat setempat dinamakan gedung Sabahu karena luas lahannya sebahu (0,7 hektar)3.

Tempat latihan baris-berbaris itu baru beralih fungsi menjadi taman setelah dibuatnya lapangan yang sekarang menjadi Stadion Siliwangi. Semenjak menjadi taman, namanya kemudian diganti menjadi Insulindepark karena jalan-jalan yang berada di sekelilingnya diberi nama daerah-daerah di Nusantara (Aceh, Kalimantan, Belitung, dan Sumatera). Selanjutnya, setelah bangsa Indonesia merdeka, Insulindepark dialihfungsikan menjadi taman lalu lintas atas prakarsa H. Nazaruddin SH yang saat itu menjabat sebagai Kepala Polisi Lalu Lintas Bandung dan Ketua Badan Keamanan Lalu Lintas (BKLL) cabang Bandung4.

Satu tahun sebelum dibukan secara resmi, taman lalu lintas mendapat sumbangan dari Kantor Pos dan Telekomunikasi berupa Kantor Pos Mini dan sebuah kapal terbang sumbangan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Dan, baru pada tanggal 1 Maret 1958 taman lalu lintas dibuka secara resmi oleh isteri Gubernur Jawa Barat, Ny. Ipik Gandamana. Acara peresmian itu didahului dengan sambutan pembukaan oleh R. Enoech Danubrata, Nazaruddin SH dan Ny. AH. Nasution4. Setelah beberapa tahun beroperasi, di belakang nama taman lalu lintas ditambah dengan Ade Irma Suryani Nasution (TLL-AISN). Tujuannya adalah untuk mengenang puteri Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution yang gugur tertembak dalam peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965.

Kondisi dan Fasilitas TLL-AISN
Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution memiliki luas sekitar 3,5 hektar. Oleh pihak pengelolanya, yaitu Yayasan Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution Bandung, taman ini difungsikan sebagai taman kota, arena rekreasi, serta pendidikan bagi anak-anak usia sekolah. Fungsi taman kota ditandai dengan adanya lebih dari 1000 buah pohon yang tersebar di seluruh penjuru taman5 sebagai paru-paru kecil penyejuk Kota Bandung.

Fungsi pendidikan ditandai dengan adanya tempat bagi penyelenggaraan kegiatan penyuluhan dan Pendidikan Keamanan Lalu Lintas (PPKLL) dengan materi unggulan yang disebut sebagai CAMEJASA (Cara Menyeberang Jalan supaya Aman) serta sebuah Taman Kanak-Kanak yang didirikan pada tahun 19926. Adapun fasilitas pendukungnya berupa taman kelompok bermain/playgroup, pondok baca, serta jalan-jalan mini dilengkapi dengan beragam rambu lalu lintas.

Sedangkan fungsi rekreasinya ditandai dengan dapat digunakannya taman lalu lintas sebagai sarana hiburan dan bersantai bagi keluarga. Sebagai tempat rekreasi, TLL-AISN dilengkapi dengan berbagai fasilitas, diantaranya: kereta api mini, arena sepeda mini, panggung hiburan, kerosel, kolam renang, kolam pancing anak-anak, mobil baterai, kereta fun game, kereta motor anak, flying fox, permainan stasioner, gedung serbaguna, sport kids, playground, kursi taman, tank baja, ayunan, jungkitan, dan lain sebagainya.

Bagaimana? Anda berminat membawa keluarga berekreasi ke TLL-AISN yang asri dan rindang sembari mengajari sang buah hati mempraktikkan etika berlalu lintas dalam suasana yang nyaman dan menyenangkan? Apabila berminat, TLL-AISN dibuka untuk umum dari hari Senin-Minggu (kecuali hari Jumat) dengan perincian: Senin-Kamis dan Sabtu pukul 08.00-15.00 WIB serta Minggu pukul 08.00-16.00 WIB. Adapun tiket masuknya, untuk hari Senin-Sabtu sebesar Rp.6.000,00, sedangkan hari Minggu atau libur nasional sebesar Rp.7.000,00 per orang. (gufron)
Foto: Pepeng
Sumber:
1. "Taman Ade Irma Suryani (Taman Lalu Lintas)", diakses dari http://www.bandungtourism.com /tododet.php?q=Taman%20Ade%20Irma%20Suryani%20(Taman%20Lalu%20Lintas), tanggal 25 Februari 2016.
2. "Serunya Bermain dan Belajar di Taman Lalu Lintas Bandung, diakses dari http://tempatwisata dibandung. info/taman-lalu-lintas-bandung/, tanggal 20 Februari 2016.
3. "Taman Lalu lintas Ade Irma Suryani Nasution", diakses dari https://id.wiki pedia.org/wiki/Taman_Lalu-lintas_Ade_Irma_Suryani_Nasution, tanggal 21 Februari 2016.
4. "Sejarah Taman Lalu Lintas", diakses dari http://tamanlalulintasbandung.com/sejarah-taman-lalu-lintas/, tanggal 21 Februari 2016.
5. "Fungsi Taman Kota", diakses dari http://tamanlalulintasbandung.com/fungsi-taman-kota/, tanggal 21 Februari 2016.
6. "Fungsi Pendidikan", diakses dari http://tamanlalulintasbandung.com/fungsi-pendidikan/, tanggal 21 Februari 2016.

Rais Latief

Riwayat Singkat
Rais Latif adalah salah seorang pelopor tradisi literasi di wilayah Lampung Barat. Pria yang pernah menyusun terjemahan hadist sahih Muslim1 ini lahir pada awal abad ke-20 (sekitar tahun 1900) di Desa Sebarus, Gedung Asin, sekitar 1 kilometer dari Pasar Liwa, Kabupaten Lampung Barat.

Semasa kecil Rais Latief didik dalam suasana keagamaan yang kuat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila setelah menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat di Liwa dia kemudian hijrah ke daerah Pandang Panjang untuk melanjutkan pendidikan di sekolah agama Thawalib. Namun karena keterbatasan biaya, Latief terpaksa pulang ke kampung halaman. Sekembalinya di Liwa Latief bekerja membantu ayahandanya berdagang kopi dan hasil bumi dari kebun mereka2.

Setelah usaha perdagangan keluarga maju, Latief berminat melanjutkan sekolah lagi. Kali ini institusi pendidikan yang dipilihnya bukanlah di Indonesia, melainkan ke Kairo di jazirah Arab. Di Kairo dia bermukim selama tujuh tahun lalu hijrah ke Mekkah dan bermukim di sana selama empat tahun sebelum akhirnya kembali ke tanah air3. Tetapi Latief tidak langsung menuju Liwa. Dalam perjalanan pulang dia singgah di Singapura dan sempat mengajar di Madrasah Sultan (sekarang komplek Masjid Sultan di Arab Street Singapore).

Beberapa waktu tinggal di Singapura, Latief kemudian memutuskan hijrah ke Jakarta. Di Jakarta Latief dan beberapa koleganya yang sama-sama alumnus Kairo dan berasal dari Lampung mendirikan sebuah sekolah Mualim di Gang Sentiong. Konon, sekolah ini sangat terkenal pada masanya dan mampu bersaing dengan sekolah-sekolah yang dipimpin oleh para pastor dari Belanda.

Sukses mendirikan sekolah Mualim di Gang Sentiong, menjelang Perang Dunia II Rais Latief kembali ke kampung halamannya (Liwa). Di tanah kelahirannya tersebut dia mendirikan sekolah di daerah Talangparis, dekat Bukit Kemuning. Selain itu dia juga menjadi pengajar di Wustho Mualim Muhammadiyah Liwa yang waktu itu mulai memperkenalkan sistem pendidikan modern dengan proses belajar-mengajar yang sangat progresif.

Dalam proses beajar-mungajar Wustho Mualim menerapkan aturan main yang cukup ketat. Misalnya, sebelum pelajaran dimulai para siswa diharuskan bersenam dengan menggunakan aba-aba dalam bahasa Arab. Para siswa pun diwajibkan mengenakan celana panjang dan bersepatu. Apabila terjadi sesuatu hal hingga kedua benda itu tidak dapat dikenakan, maka siswa diperbolehkan mengenakan kain dan bersandal.

Saat menjadi pengajar di Wustho Mualim inilah Rais Latief dijodohkan dengan salah seorang mantan muridnya yang kebetulah berasal dari desa yang sama. Usai menikah Latief berkeinginan kembali berkarya di Jakarta karena bangsa Indonesia telah merdeka. Kebetulan pada tahun itu (sekitar tahun 1949), pemerintah Republik Indonesia sedang membutuhkan banyak tenaga kerja terdidik untuk mengisi kekosongan formasi di berbagai jawatan. Setelah mengirim lamaran, tidak berapa lama kemudian datanglah surat panggilan dari Jakarta untuk mengisi mengisi formasi pada Jawatan Penerangan Agama (Departemen Agama).

Jawatan Penerangan Agama bertugas membenahi pendidikan agama di seluruh tingkatan sekolah. Salah satunya adalah mengadakan ujian persamaan bagi para guru agama pada tingkatan sekolah dasar hingga sekolah menengah atas serta mendirikan sekolah-sekolah bagi calon guru agama. Sementara pada bidang penyediaan materi ajar dibentuk tim yang ditugaskan membuat berbagai macam buku agama berbahasa Indonesia. Rais Latief dan H. Abdul Razak ditunjuk sebagai penterjemah hadist sahih Muslim dan menyusunnya menjadi buku.

Rais Latief mengabdi pada Departemen Agama hingga pensiun pada sekitar tahun 1962. Selanjutnya, dia memilih pulang untuk memajukan kampung halamannya (Liwa) ketimbang menjadi pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Jakarta. Di Liwa Latief memimpin dan mengajar di Sekolah Tsanawiyah Muhammadiyah Pekon Tengah Sabarus hingga usianya mencapai 70 tahun. Tujuh tahun kemudian beliau wafat dan dikebumikan di Desa Sebarus, Liwa.

Foto: http://paratokohlampung.blogspot.co.id/2008/11/rais-latief-1900-1977-pendidikan-par.html
Sumber:
1. "Siswa Lambar Bisa Suburkan Tradisi Literasi", diakses dari http://lampost.co/berita/siswa -lambar-bisa-suburkan-tradisi-literasi, tanggal 27 Maret 2016.
2. Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post.Hlm. 9-11.
3. "Rais Latief (1900-1977): Pendidikan 'Par Excellence' Prakemerdekaan, diakses dari http://parato kohlampung.blogspot.co.id/2008/11/rais-latief-1900-1977-pendidikan-par.html, tang gal 26 Maret 2016.

Sulaiman Rasyid

Riwayat Singkat
Sulaiman Rasyid atau lengkapnya H Sulaiman Rasyid bin Lasa adalah orang pertama yang berhasil penyusun buku Fiqh Islam di Indonesia1. Pria yang lahir di Pekon Tengah, Liwa, Kabupaten Lampung Barat pada tahun 1898 ini mulai memperoleh pendidikan agama dari Buya Kyai H. Abbas dan Perguruan Tawalib di Padang Panjang, Sumatera Barat2. Kemudian memperdalamnya lagi pada sekitar tahun 1926 dengan belajar ke sekolah Mualim (sekolah guru) di negeri Mesir dan meneruskan ke Perguruan Tinggi Al-Azhar, Jurusan Takhashus Fiqh (Ilmu Hukum Islam) hingga lulus pada tahun 19353.

Sekembalinya dari jazirah Arab, Rasyid ditunjuk oleh pemerintah Belanda di Indonesia sebagai Penyidik Hukum Agama di Lampung pada tahun 1936. Satu tahun kemudian atau tepatnya tahun 1937 Rasyid menjadi pegawai tinggi agama hingga tahun 1942. Tetapi kedudukan sebagai pegawai tinggi itu tidak lantas membuatnya hanya berdiam diri saat terjadi pendudukan oleh bangsa Jepang. Satu tahun menjelang kemerdekaan Indonesia, bersama H. Ali, Rasyid ikut berjuang mengangkat senjata mengusir tentara Jepang di Kalianda, Lampung Selatan4.

Setelah Indonesia merdeka, Rasyid bekerja pada Departeman Agama RI Jakarta sebagai Kepala Jawatan Agama dari tahun 1947-1955, lalu menjadi Kepala Perjalanan Haji, staf ahli Kementerian Agama, dan sekaligus menjadi asisten dosen Perguruan Tinggi Agama Islam (PTIAN) Jakarta serta dosen dalam bidang ilmu fikih di PTIAN Yogyakarta. Kepakaran dalam ilmu fikih inilah yang membuat Sulaiman Rayid diangkat menjadi gelar guru besar pada sekitar tahun 1960.

Selain sebagai pengajar, Rasyid juga pernah menjadi Rektor mata kuliah Ilmu Fiqh di IAIN Jakarta dan pendiri sekaligus Rektor Radin Intan Lampung pada tahun 1964. Dan, setelah mendedikasikan ilmunya bagi kemajuan bangsa, khususnya dalam bidang fiqh, pada tanggal 26 Januari 1976 H. Sulaiman Rasyid bin Lasa wafat dalam usia 80 tahun. Ayah dari delapan orang anak dan 20 orang cucu ini dimakamkan di TPU Pakiskawat Enggal, Bandar Lampung.

Sumber:
1. "Siswa Lambar Bisa Suburkan Tradisi Literasi", diakses dari http://lampost.co/berita/ siswa-lambar-bisa-suburkan-tradisi-literasi, tanggal 22 April 2016.
2. "Fiqh Islam, H. Sulaiman Rasyid", diakses dari http://dutailmu.co.id/product13797-fiqh-islam-h-sulaiman-rasyid.html#.Vr96sfl97iw, tanggal 21 April 2016.
3. Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 3-4.
4. "Sulaiman Rasyid (1898-1976): Penyusun Fikih Pertama", diakses dari http://parato kohlampung.blogspot.co.id/2008/11/sulaiman-rasyid-1898-1976-penyusun.html, tanggal 21 April 2016.

Waduk Jatigede

Pada masa lalu, sekitar tahun 1963, pemerintah pusat merencanakan sebuah megaproyek, yaitu pembangunan waduk atau bendungan di Kabupaten Sumedang dengan memanfaatkan aliran Sungai Cimanuk-Cisanggaru. Proyek tersebut meliputi wilayah Kabupaten Garut, Sumedang, Cirebon, Indramayu, Kuningan Provinsi Jawa Barat, serta Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah yang secara keseluruhan luasnya mencapai 7.711 kilometer persegi. Luas waduknya sendiri diperkirakan sekitar 4.891,13 hektar. Adapun lokasi dam/bendungannya berada di Kampung Jatigede, Desa Cigeunjing, Kecamatan Jatigede, sehingga dinamakan bendungan Jatigede (http://sumedangkab.go.id).

Tujuan utama pembangunan Waduk Jatigede adalah untuk meningkatkan produksi padi seluas 90.000 ha dengan memanfaatkan semaksimal mungkin jaringan irigasi yang telah ada (sistem jaringan irigasi rentang). Tujuan lainnya adalah sebagai penyedia air bersih di Kabupaten Sumedang, Cirebon, Indramayu, Majalengka dan kawasan Balongan dengan kapasitas 3.500 liter/detik, serta pembangkit tenaga listrik di PLTA Parakan Kondang yang berkapasitas 7,5 mw dan PLTA Jatigede yang berkapasitas 110 mw.

Untuk mewujudkan waduk dan pembangkit listrik, waktu itu pemerintah menyediakan dana sebesar Rp4.035 milyar dengan rincian: pembangunan Waduk Jatigede sebesar Rp2.040 milyar, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jatigede sebesar Rp1.530 milyar, dan pembebasan lahan sebesar Rp465 milyar. Pembebasan diawali dengan pendataan langsung berkenaan dengan data kepemilikan lahan. Selanjutnya, adalah tahap musyawarah untuk menentukan besarnya ganti rugi. Setelah terjadi kesepakatan, barulah diberikan ganti rugi dengan besaran yang telah ditentukan oleh Panitia Pengadaan Tanah (P2T). Proses ganti rugi pada tahun 1982 ini diberikan kepada warga masyarakat Desa Jemah, Sukakersa, Ciranggem, Mekarasih yang termasuk dalam Kecamatan Jatigede; Desa Padajaya dan Cisurat yang termasuk dalam Kecamatan Wado; Desa Jatibungur, Cikeusi, Tarunajaya, Karangpakuan, Cipaku, Pakualam yang termasuk dalam Kecamatan Darmaraja; dan Desa Cisitu, Pajagan, Cigintung yang termasuk dalam Kecamatan Cisitu.

Pembebasan lahan berikutnya terjadi antara tahun 1994-1998. Pembebasan tersebut meliputi areal Desa Leuwihideung, Sukamenak, Neglasari yang berada di Kecamatan Darmaraja dan Desa Sirnasari yang berada di Kecamatan Jatinunggal. Jadi, secara keseluruhan penduduk yang mendapat ganti rugi sejak tahun 1982 mencapai 4.240 KK atau sekitar 74,6% dari 5.686 KK atau 28430 jiwa yang terkena proyek pembangunan Waduk Jatigede (PPSDAL, 2000).

Pembebasan lahan yang terakhir dilaksanakan pada tahun 2004 hingga sekarang. Desa-desa yang dibebaskan lahannya adalah Desa Cibogo dan Desa Sukaratu yang berada di Kecamatan Darmaraja; Desa Wado yang berada di Kecamatan Wado; dan Desa Pawenang yang berada di Kecamatan Jatinunggal. Adapun dasar hukum yang dijadikan acuan adalah Perpres No.36/65 tahun 2005. Perpres ini mengatur tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum; inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan; pemberian ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan haknya; susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah; dan bentuk ganti rugi (uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, atau penyertaan modal).

Seiring dengan pembebasan lahan, pemerintah juga mengupayakan untuk memindahkan penduduk yang terkena dampaknya melalui program transmigrasi lokal di wilayah Jawa Barat maupun ke luar Pulau Jawa. Pola perpindahannya ada yang dilakukan atas kehendak sendiri dengan memilih pindah di sekitar genangan, dan atau diatur oleh pemerintah secara berkelompok (bedol desa) maupun terpisah dengan kerabat, saudara atau para tetangganya. Mereka yang memilih pindah di sekitar genangan mayoritas adalah golongan menengah-atas yang masih mempunyai lahan di daerah tidak tergenang. Sedangkan, penduduk yang mengikuti program pemerintah bertransmigrasi di wilayah Jawa Barat maupun di luar Pulau Jawa adalah mereka yang memiliki lahan rata-rata hanya 0,3/KK dengan harapan dapat memperoleh lahan seluas 2,5 ha/KK untuk mengembangkan usaha pertaniannya (Suwartapradja, 2005).

Wilayah Terdampak Pembangunan Waduk Jatigede
Seperti telah dikatakan di atas pembangunan Waduk Jatigede diperkirakan memerlukan lahan sekitar 4.891,13 hektar di 26 desa yang berada di 5 kecamatan yaitu: Jatigede, Darmaraja, Wado, Jatinunggal, dan Cisitu. Berikut profil kelima kecamatan tersebut beserta desa-desa yang terkena proyek penggenangan waduk, terutama desa-desa yang wilayahnya akan tergenang penuh.

Kecamatan Jatigede
Kecamatan Jatigede merupakan peruwujudan dari Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang No. 51 tahun 2000, tertanggal 29 Desember 2000. Sebelumnya nama kecamatan ini adalah Cadasngampar. Nama Jatigede sendiri diambil dari nama sebuah dusun di Desa Cijeunjing, yaitu Dusun Jatigede. Secara geografis batas-batas Kecamatan Jatigede: sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Tomo, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Jatinunggal dan Kecamatan Wado, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Darmaraja dan Kecamatan Situraja, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Jatinunggal dan Kabupaten Majalengka.

Luas wilayah Kecamatan Jatigede sekitar 9.366 ha atau 93.633 kilometer persegi, terdiri atas: hutan negara (6.250,7 ha), pengangonan (667 ha), perumahan/pekarangan (173,10 ha), ladang, kebun dan huma (415,5 ha), sawah irigasi sederhana (90 ha), sawah ½ teknis (259 ha), sawah tadah hujan (1.086 ha), dan lain-lain (425 ha) yang tersebar dalam 12 desa, yaitu: Cijeunjing, Kadujaya, Lebaksiuh, Cintajaya, Cipicung, Mekarasih, Sukakersa, Ciranggem, Sicampih, Jemah, Kadu, Karedok (dahulu wilayah Kecamatan Tomo).

Pada tahun 1984/1985 luas kecamatan ini berkurang sekitar 1.766,06 ha karena ada 6 desa yang terkena perencanaan pembangunan Waduk Jatigede oleh pemerintah pusat. Keenam desa tersebut adalah: Desa Cijeunjing, Desa Jemah, Desa Sukakersa, Desa Mekarasih, Desa Ciranggem, dan Desa Kadujaya. Adapun rincian penggunaannya adalah sebagai daerah genangan seluas 1.711,11 ha, acces road (13,17 ha), home road (2,43 ha), base camp (8,73 ha), borrow area (21,80 ha), dan power station (8,82 ha) (id.wikipedia.org).

Kecamatan Cisitu
Secara keseluruhan luas Kecamatan Cisitu sekitar 5.331 ha. Berdasarkan penggunaannya luas tersebut terdiri atas: sawah ½ teknis (331 ha), sawah irigasi sederhana (676 ha), sawah tadah hujan (25 ha), pekarangan (37 ha), tegalan (1.478 ha), balong (17 ha), hutan rakyat (1220 ha), hutan negara (1495 ha), dan padang penggembalaan seluas 52 ha yang tersebar di 10 desa, yaitu: Cisitu, Situmekar, Pajagan, Cigitung, Sundamekar, Linggajaya, Ranjeng, Cilopang, Cimarga, dan Cinangsi. Sebagian wilayah kecamatan ini (73,45 ha) akan menjadi bagian dari kawasan genangan Waduk Jatigede yang letaknya di Desa Pejagan, Desa Cigintung, dan Desa Cisitu.

Kecamatan Darmaraja
Kecamatan Darmaraja terletak sekitar 25 kilometer arah timur Kota Sumedang. Secara geografis kecamatan yang bertitik koordinat 6°53'21"S-108°4'40"E ini berbatasan dengan Kecamatan Tomo dan Kecamatan Jatigede di sebelah utara, Kecamatan Cibugel di sebelah selatan, Kecamatan Cisitu dan Kecamatan Situraja di sebalah barat, serta Kecamatan Wado di sebelah timur. Secara admnistratif dan teritorial Kecamatan Darmaraja terdiri dari 16 desa, 38 dusun, 83 Rukun Warga, dan 310 Rukun Tetangga. Ke-16 desa tersebut adalah: Cibogo, Cieunteung, Cikeusi, Cipaku, Cipeteuy, Darmajaya, Darmaraja, Jatibungur, Karang Pakuan, Leuwihideung, Neglasari, Paku Alam, Sukamenak, Sukaratu, Ranggon, dan Tarunajaya.

Luas wilayahnya mencapai 5.494 ha, dengan rincian: sawah ½ teknis (491 ha), sawah irigasi sederhana (1.222 ha), sawah tadah hujan (41 ha), pekarangan (37 ha), tegalan (1.754 ha), balong/kolam (45 ha), hutan rakyat (653 ha), hutan negara (787 ha), dan padang penggembalaan (464 ha). Dari luas keseluruhan ini sebanyak 1.606,35 ha akan menjadi bagian dari kawasan genangan Waduk Jatigede. Lahan tersebut berada di Desa Leuwihideung, Jatibungur, Cibogo, Cipaku, Paku Alam, Karang Pakuan, Sukaratu, Cikeusi, Tarunajaya, Darmajaya, dan Neglasari.

Kecamatan Wado
Kecamatan Wado yang secara administratif dan teritorial terdiri atas 11 buah desa, 51 buah dusun, 67 buah Rukun Warga, dan 265 buah Rukun Tetangga. Ke-11 desa tersebut adalah: Cimungkal, Ganjarresik, Cilengkrang, Cikareo Selatan, Cikareo utara, Wado, Mulyajaya, Padajaya, Sukajadi, Cisurat, dan Sukapura. Kecamatan ini luas wilayahnya mencapai sekitar 7.642 ha, dengan rincian: sawah ½ teknis (447 ha), sawah irigasi sederhana (584 ha), sawah tadah hujan (180 ha), pekarangan (10 ha), tegalan (1987 ha), ladang/huma (622 ha), balong (37 ha), hutan rakyat (492 ha), dan hutan negara (3.253 ha). Tetapi, sekitar 461,22 ha dari luas keseluruhannya (di Desa Padajaya, Cisurat, dan Wado) diperkirakan akan tergenang jika Waduk Jatigede mulai dioperasikan.

Kecamatan Jatinunggal
Kecamatan Jatinunggal terdiri atas 9 desa, 56 dusun, 59 Rukun Warga (RW), dan 160 Rukun Tetangga (RT). Ke-9 desa tersebut adalah: Sirnasari, Tarikolot, Pawenang, Sarimekar, Banjarsari, Kirisik, Sukamanah, Cipeundeuy, dan Cimanintin. Luas wilayahnya sekitar 6.149 ha, dengan rincian: sawah setengah teknis (688 ha), sawah irigasi sederhana (515 ha), sawah tadah hujan (758 ha), pekarangan (29 ha), tegalan (914 ha), ladang/huma (497 ha), balong (47 ha), hutan rakyat (1062 ha), dan hutan negara (1.639 ha). Adapun wilayah kecamatan yang akan tergenang adalah di Desa Pawenang dan Desa Sirnasari seluas 229,25 ha. (Ali Gufron)
Foto: Pepeng
Sumber:
“Pembangunan Bendungan Jatigede”. http://sumedangkab.go.id/index.php?option=com_ content&view=article&id=104&Itemid=6. Diakses 20 Agustus 2013.

Perpres, No 36 tahun 2005, tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

PPSDAL, LP, UNPAD, 2000, Studi Potensi Minat masyarakat dan Pilihan Lokasi kepindahan Penduduk Jatigede secara berkelompok, DPU.

Suwartapradja, Opan S., “Konflik Sosial (Kasus pada Pembangunan Bendungan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang Jawa Barat)”, Makalah dalam SKIM IX UNPAD-UKM, Bandung, 10-12 Mei 2005.

“Jatigede, Sumedang”. http://id.wikipedia.org/wiki/Jatigede,_Sumedang. Diakses 26 Agustus 2013.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive