Kemidi Rudat

Kemidi Rudat merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional yang ada di daerah Nusa Tenggara Barat (NTB). Ada beberapa versi mengenai asal usul nama kesenian ini. Ada yang mengatakan bahwa rudat berasal dari kata “raudah” yang berarti “baris-berbaris”. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa kata “rudat” berasal dari kata “soldat” (bahasa Belanda) yang berarti “serdadu” atau “tentara”.

Sebagai seni pertunjukkan, pementasan kemidi rudat dilakukan dalam bentuk tarian, nyanyian, dan dialog (pelakonan). Dialog sering berupa syair dan atau pantun. Dari cerita-cerita yang disajikan menunjukkan bahwa kesenian ini bernafaskan Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika musik, nyanyian, dan tarian dalam kemidi rudat berbeda kesenian tradisi masyarakat NTB pada umumnya. Dalam konteks ini, jika pada umumnya kesenian tradisional masyarakat NTB dipengaruhi oleh unsur budaya Bali yang Hindu, maka untuk kesenian kemidi rudat dipengaruhi oleh budaya Timur Tengah dan Melayu yang Islam.

Peralatan
Peralatan musik yang digunakan dalam seni pertujukkan kemidi rudat meliputi: seperangkat gamelan dalam format kecil, rebana, tambur (jidur) dan biola. Sedangkan, irama musik yang dikumandangkan berbentuk “stambulan” dan “Melayuan”.

Pemain dan Busana yang Dikenakan
Pemain kemidi rudat terdiri atas 11 orang dengan rincian: seorang yang berperan sebagai raja, seorang yang berperan sebagai putera raja, seorang yang berperan sebagai puteri (sering disebut “nyonya”), dua orang yang berperan sebagai wazir, dua orang yang berperan sebagai khadam (pelawak), seorang yang berperan sebagai raja jin, dan seorang yang berperan sebagai kepala perampok. Jadi, sama dengan Teater Bangsawan (Kepulauan Riau), Teater Mamanda (Kalimantan Selatan), dan Dul Muluk (Sumatera Selatan). Sebagai catatan, pemain kemidi rudat semuanya laki-laki. Jadi, yang berperan sebagai nyonya pun juga laki-laki.

Adapun busana (pakaian) yang dikenakan oleh peran utama dan komandan adalah tarbus (tutup kepala), epolet berjumbai, baju dengan lengan panjang, celana yang kiri-kanannya bergaris, dan berpedang. Sementara, pemain pembantu lainnya: pakaian seragam, baju lengan panjang, bercelana panjang, berselempang, dan ber-tarbus. Sedangkan, peran khadam, nyonya dan Raja Jin/perampok berpakaian khas/tersendiri.

Tempat Pementasan
Sebagaimana seni pertunjukkan pada umumnya, kemidi rudat dapat dipentaskan di mana saja yang memiliki area cukup luas. Pengaruh Teater Bangsawan, pada gilirannya membuat pementasan kemidi rudat menggunakan panggung lengkap, disertai dengan dekor. Panggung tersebut dapat menggunakan atap atau terbuka. Dekor merupakan layar yang menggambarkan “lokasi” kejadian. Jadi, bisa lukisan istana, taman, hutan belantara, gua dan sebagainya.

Jalannya Pementasan
Pementasan kemidi rudat biasanya diawali dengan nyanyian-nyanyian kemudian dilanjutkan dengan cerita yang diselingi dengan banyolan-banyolan. Cerita-cerita yang dihidangkan bersumber dari cerita sastra Melayu lama atau cerita Seribu Satu Malam; biasanya menggunakan bahasa Melayu Lama. Cerita yang dibawakan bersifat “roman kehidupan” dan cerita-cerita kerajaan Melayu, dengan judul antara lain: “Siti Jubaedah”, Jula Juli Bintang Tujuh”, “Indera Bangsawan”, dan “Rohaya Rohani”. (Pepeng)

Jengglong

Jengglong adalah instrumen musik dari daerah Jawa Barat yang berfungsi sebagai kerangka lagu dan pembuat nada dasar. Cara memainkan alat ini dipukul dengan alat pukul empuk. Jengglong berbentuk bilah-bilah yang berderet di atas ruang suara atau resonator. Bilah-bilah terbagi pada dua buah ancak yang masing-masing berjumlah 3 bilah dan permukaannya berpencong dengan diameter 30-40 cm. Selain berbentuk bilahan, alat ini terkadang berbentuk bulat dan permukaannya berpencong. Seperti halnya bonang dan sarong, jengglong dibuat dari bahan dasar perunggu, kuningan atau besi, sedangkan pemukulnya dari kayu yang berbentuk lurus pada ujungnya dibalut dengan rajutan benang wol.

Desa Cijagang

Letak dan Keadaan Alam
Cijagang1 adalah salah satu desa yang ada di Kecamatan Cikalongkulon2, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis desa ini berada di kawasan Gunung Gede, dengan batas-batas: sebelah utara berbatasan dengan Desa Mekarjaya dan Desa Mekarsari; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Majalaya; sebelah barat berbatasan dengan Desa Mekarjaya dan Kecamatan Sukaresmi; dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Sukamulya. Desa ini tidak hanya berada di kaki tapi juga di lereng gunung, sehingga wilayahnya tidak hanya berupa dataran rendah semata, tetapi juga dataran tinggi atau berbukit-bukit.

Jarak Desa Cijagang dengan pusat pemerintahan Republik Indonesia (Jakarta) kurang lebih 140 km. Sedangkan, dengan pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat (Gedung Sate) kurang lebih 70 Km, pusat pemerintahan Kabupaten Cianjur kurang lebih 21 Km dan dengan pusat pemerintahan Kecamatan Cikalongkulon kurang lebih 5 Km ke arah selatan. Meskipun desa ini berada agak jauh dengan pusat pemerintahan Kabupaten Cianjur, bukan berarti bahwa desa tersebut terisolir, karena di salah satu wilayahnya dilalui jalan raya yang menghubungkan Cianjur dengan Bandung dan dahulu pernah pula menjadi tempat berdirinya Cianjur dengan bupati pertamanya bernama Dalem Cikundul.

Secara keseluruhan, luas Desa Cijagang mencapai 830,0 Ha, dengan rincian: perumahan penduduk (20,5 Ha atau 2,46%), sawah irigasi teknis dan setengah teknis (116,1 Ha atau 13,99%), tegalan/ladang (198,2 Ha atau 23,88%), hutan rakyat3 (168,2 Ha atau 20,27%), hutan milik Perhutani (195,5 Ha atau 23,55%), kas desa (tanah gege) (19,3 Ha atau 2,33%), perkantoran pemerintah (2 Ha atau 0,24%), pemakaman (13 ha atau 1,57%) dan lain-lain4 (97,2 Ha atau 11,71%) (Potensi Desa Cijagang, Tahun 2010/2012). Ini bermakna bahwa luas wilayah Desa Cijagang sebagian besar berupa hutan (43,82%) milik rakyat maupun perhutani yang terbentang di sekitar puncak Pasir (gunung) Saga dan berbatasan langsung dengan Desa Sukamulya dan Mekarjaya.

Di luar hutan terdapat lahan yang digunakan sebagai tegalan atau ladang (23,88%) dengan ketersediaan air terbatas dan tanahnya berbuit-bukit, bahkan banyak dijumpai yang tingkat kemiringannya tinggi. Setelah ladang, peruntukan lahan selanjutnya adalah sawah, baik sawah irigasi teknis maupun setengah teknis (13,99%) yang terletak di kaki gunung dengan tanah relatif landai dan memiliki tersediaan air yang melimpah. Selebihnya, telah menjadi perumahan penduduk (2,46%), tanah kas desa (2,33%), pemakaman (1,57%), perkantoran pemerintah (0,24%) dan lain sebagainya (Potensi Desa Cijagang Tahun 2010/2012).

Kependudukan
Penduduk Desa Cijagang berjumlah 4.840 jiwa, dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) 915. Jika dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, maka jumlah perempuannya mencapai 2.427 jiwa (50,14%) dan penduduk berjenis kelamin laki-laki 2.413 jiwa (49,86%). Para penduduk ini tersebar di 5 dusun/kampung yang ada di Desa Cijagang, yaitu Dusun Majalaya, Dusun Cilalay, Dusun Parasu, Dusun Cipurut, dan Dusun Jamisata. Dusun Majalaya dihuni oleh 2.333 orang dengan jumlah laki-laki 1162 jiwa dan perempuan 1.171 jiwa, Dusun Cilalay dihuni oleh 1.135 jiwa dengan jumlah laki-laki 545 jiwa dan perempuan 590 jiwa, dan Dusun Parasu dihuni oleh 1.372 jiwa dengan rincian jumlah laki-laki sebanyak 706 jiwa dan perempuannya 666 jiwa.

Tiap dusun dibagi lagi menjadi beberapa Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT). Di Dusun Majalaya terdapat 2 buah Rukun Warga (RW) dan 7 buah Rukun Tetangga (RT) dengan rincian: RW 01/RT 01 dihuni 278 jiwa (laki-laki 128 jiwa dan perempuan 150 jiwa), RW 01/RT 02 dihuni oleh 502 jiwa (laki-laki 249 jiwa dan perempuan 253 jiwa), RW 01/RT 03 dihuni 263 jiwa (laki-laki 135 jiwa dan perempuan 128 jiwa), RW 02/ RT 01 dihuni 346 jiwa (laki-laki 172 jiwa dan perempuan 174 jiwa), RW 02/RT 02 dihuni 446 jiwa (laki-laki 272 jiwa dan perempuan 214 jiwa), RW 02/RT 03 dihuni 372 jiwa (laki-laki 190 jiwa dan perempuan 182 jiwa), dan RW 02/RT 04 dihuni 133 jiwa (laki-laki 63 jiwa dan perempuan 70 jiwa).

Untuk Dusun Cilalay hanya terdiri dari sebuah Rukun Warga dan 3 buah Rukun Tetangga dengan rincian: RW 03/RT 01 dihuni 390 jiwa (laki-laki 192 jiwa dan perempuan 198 jiwa), RW 03/RT 02 dihuni 373 jiwa (laki-laki 192 jiwa dan perempuan 181 jiwa), dan RW 03/RT 035 dihuni oleh 404 jiwa (laki-laki 219 jiwa dan perempuan 185 jiwa).

Sedangkan dusun terakhir, yaitu Dusun Parasu terdiri dari 2 buah Rukun Warga dan 4 buah Rukun Tetangga dengan rincian: RW 04/RT 01 dihuni 280 jiwa (laki-laki 142 jiwa dan perempuan 138 jiwa), RW 04/RT 02 dihuni 297 jiwa (laki-laki 161 jiwa dan perempuan 136 jiwa), RW 05/RT 01 dihuni 409 jiwa (laki-laki 205 jiwa dan perempuan 204 jiwa), dan RW 05/RT 02 dihuni oleh 420 jiwa (laki-laki 220 jiwa dan perempuan 200 jiwa). (Potensi Desa Cijagang Tahun 2010/2012).

Untuk ukuran sebuah desa, jumlah penduduk Desa Cijagang tergolong besar. Faktor-faktor penyebabnya adalah karena desa tersebut relatif dekat dengan pusat Kota Cianjur dan juga sebagai salah satu kawasan wisata religi di Kabupaten Cianjur. Keberadaan desa yang relatif tidak jauh dari pusat kota ini pada gilirannya membuat jumlah penduduknya berkembang pesat, khususnya di sekitar jalan menuju ke kawasan wisata ziarah Makam Dalem Cikundul, sehingga penduduk yang bermukim di wilayah tersebut lebih padat ketimbang wilayah-wilayah lainnya. Wilayah desa yang tidak begitu padat umumnya digunakan sebagai lahan pertanian dan perladangan.

Pola Pemukiman
Dari segi luas, pemukiman menempati urutan yang ketika setelah setelah hutan dan ladang, yaitu 20,5 Ha (2,46%). Pemukiman yang tentunya berada di luar hutan, perladangan dan persawahan ini semakin mendekati jalan semakin padat. Umumnya perumahan berada di sekitar jalan, baik itu jalan kabupaten, kecamatan, maupun desa, berjajar, dengan arah menghadap ke jalan. Arah rumah yang berada bukan di pinggir jalan pun arahnya mengikuti yang ada di pinggir jalan.

Berdasarkan Potensi Desa Cijagang Tahun 2010/2012, jumlah rumah yang ada di desa tersebut ada 850 buah. Dari ke 850 buah rumah tersebut, 575 buah diantaranya berbentuk rumah permanen (berdinding tembok, berlantai semen dan atau keramik). Sisanya, ada yang hanya sebagian berdinding tembok (95 rumah), berdinding kayu/papan (70 rumah), berdinding bambu (150 buah), dan ada pula rumah panggung berdinding kayu atau bambu dengan jumlah 50 buah. Rumah seperti ini (panggung) umumnya berada di sekitar areal perladangan dan perbatasan hutan milik Perhutani. Jarak antarrumah bergantung daerah pemukimannya, pada daerah “bawah” umumnya jarak antarrumah berdekatan, malahan, banyak yang berhimpitan. Namun, semakin ke arah ladang dan hutan jarak itu semakin renggang atau jauh.

Dari seluruh rumah tersebut hanya sebanyak 250 KK yang memanfaatkan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Cianjur. Sedangkan warga lainnya masih memanfaatkan sumur gali, sumur pompa, mata air dan air sungai untuk keperluan mandi, cuci, dan minum. Berdasarkan data dari Potensi Desa Cijagang Tahun 2010/2012, terdapat 469 unit sumur gali yang dimanfaatkan oleh 469 KK, 66 unit sumur pompa yang dimanfaatkan oleh 66 KK, 1 buah mata air6 yang dimanfaatkan oleh 305 KK, dan 4 buah sungai yang dimanfaatkan oleh 431 KK. Ini artinya, kebutuhan air bersih pada warga masyarakat Desa Cijagang diperoleh melalui berbagai cara, bergantung letak geografisnya. Para warga yang berada di daerah kaki Pasir Saga misalnya, mereka dapat memanfaatkan aliran air sungai, membuat sumur gali atau pompa karena kedalaman air tanah hanya sekitar 5—20 meter. Akan tetapi, bagi para warga yang berada di daerah “tengah”, lebih-lebih bagian “atas” (kawasan lereng Pasir Saga dan hutan), hal itu sulit dilakukan karena kedalaman air tanahnya bisa mencapai ratusan meter. Untuk itu, mereka menggantungkan sepenuhnya kepada kemurahan alam, yaitu sumber mata air yang berada di kawasan puncak Pasir Saga. Caranya adalah dengan membuat bak tampungan, kemudian dialirkan ke rumah-rumah penduduk dan ladang melalui pipa/selang plastik yang diameternya sekitar 2 centimeter.

Mata Pencaharian
Jenis-jenis mata pencaharian yang digeluti oleh warga masyarakat Desa Cijagang sangat beragam, terdiri atas: buruh tani (47,31%) dan petani pemilik sawah/ladang (27,33%), pedagang (8,41%), tukang ojeg (7,57%), karyawan swasta (3,15%), buruh swasta (2,10%), peternak (1,35%) dan pagawai negeri sipil (1,26%). Selebihnya, adalah: TNI/Polri, perajin, montir, tukang kayu, dan tukang batu (Potensi Cijagang Tahun 2010/2012). Bervariasinya jenis mata pencaharian yang digeluti oleh warga masyarakat Cijagang sangat erat kaitannya dengan letak desa yang berbatasan dengan wilayah kota, yaitu Kota Cianjur yang tidak hanya sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga pusat-pusat yang lain, termasuk ekonomi/perdagangan. Selain itu, di dalam desa sendiri terdapat sebuah obyek wisata religi berupa makam keramat Dalem Cikundul yang sering dikunjungi wisatawan untuk berziarah.

Pendidikan dan Kesehatan
Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Cijagang meliputi: Taman Kanak-kanak (TK) sejumlah 1 buah, Sekolah Dasar (SD) sejumlah 3 buah, dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sejumlah 1 buah. Sementara untuk sarana pendidikan keagamaan terdapat 2 buah Diniyah, 1 buah Madrasah Ibtidaiyah, 1 buah Madrasah Tsanawiyah, dan 2 buah Pondok Pesantren.

Taman Kanak-kanak berkedudukan di Kampung Majalaya dengan jumlah pengajar sebanyak 2 orang dan siswa 24 orang. Kemudian, ketiga SD yang ada dapat menampung siswa sebanyak 795 orang dengan jumlah pengajar 30 orang, sebuah SLTP Terbuka yang ada di desa tersebut memiliki guru sejumlah 7 orang dan dapat menampung 60 siswa, 2 buah diniyah yang ada dapat menampung 68 siswa dengan jumlah pengajar sebanyak 6 orang, Madrasah Ibtidaiyah menampung 150 orang murid dengan jumlah pengajar 6 orang, Madrasah Tsanawiyah menampung 50 orang siswa dengan 3 orang pengajar, dan 2 buah Pondok Pesantren7 yang ada dapat menampung 110 santri dengan jumlah pengajar sebanyak 21 orang.

Gambaran di atas menujukkan bahwa sarana pendidikan yang dimiliki oleh Desa Cijagang hanya sampai SLTP. Ini artinya, jika seseorang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, maka mesti keluar dari desanya. Meskipun demikian, sesungguhnya tidak perlu keluar dari Kecamatan Cikalong Kulon, karena tidak jauh dari desa tersebut terdapat beberapa buah Sekolah Menengah Atas atau SMA. Namun, apabila ingin melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi harus pergi ke ibukota provinsi (Bandung) yang banyak terdapat perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri.

Adapun tingkat pendidikan yang dicapai oleh penduduk Cijagang sebagian besar adalah SD/sederajat (30,06%). Sebagian lainnya yang jumlahnya cukup besar adalah tamatan SLTP/sederajat (25,91%) dan tamatan SLTA/sederajat (17,36%). Sedangkan, yang menamatkan Akademi/Perguruan Tinggi hanya 3,67%.

Sementara itu, sarana kesehatan yang ada di Desa Cijagang adalah sebuah Puskesmas Pembantu yang berada di Kampung Majalaya RT.01/RW02 dan 5 unit Posyandu dengan tenaga medis 5 orang yang terdiri atas: seorang dokter umum, seorang tenaga farmasi, dan 3 orang bidan. Mengingat bahwa tidak semua warga memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada di desa, terutama yang berkenaan dengan kelahiran, maka di sana ada dua orang dukun bayi yang telah dibekali pengetahuan medis. Dukun tersebut oleh masyarakat setempat disebut sebagai paraji.

Agama dan Kepercayaan
Agama yang dianut oleh warga masyarakat Desa Cijagang hanyalah Islam dan Kristen. Berdasarkan data yang tertera dalam Potensi Desa Cijagang Tahun 2010/2012, Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar penduduknya (4.838 orang atau 99.96%). Sedangkan sisanya sebanyak 2 orang atau 0,04% adalah penganut Kristen Protestan. Para penganut agama Kristen Protestan ini bukanlah penduduk asli Cijagang, melainkan pendatang dari Jawa yang menetap dan bermatapencaharian sebagai pedagang kelontong.

Ada korelasi yang positif antara jumlah pemeluk suatu agama dengan jumlah sarana peribadatan. Hal itu tercermin dari banyaknya sarana peribadatan yang berkaitan dengan agama Islam (mesjid dan musholla atau langgar). Berdasarkan data yang tertera dalam Potensi Desa Cijagang, jumlah mesjid yang ada di sana mencapai 5 buah, sedangkan, langgar yang ada mencapai 28 buah. Sarana peribadatan yang berkenaan dengan penganut agama Kristen Protestan belum terdapat di desa ini. Oleh karena itu, jika mereka (penganut nasrani) ingin melakukan kebaktian, maka harus pergi ke gereja yang ada di Kota Cianjur. Sedangkan, bagi para muslim yang akan melaksanakan salah satu kewajibannya (sholat) cukup dengan mendatangi mesjid atau langgar yang terdekat (tidak perlu harus keluar desa).

Mesjid-mesjid yang ada di Desa Cijagang diantaranya adalah: (1) Mesjid Jami Al-Illiyin di Kampung Majalaya RT.01/RW.02 dengan susunan pengurus DKM (Dewan Keluarga Mesjid) Entah Wijaya (ketua), Asep Zulkarnaern (sekretaris) dan Tohani (bendahara); (2) Mesjid Jami Al-Ikhlas di Kampung Cilalay RT.02/RW.03 dengan susunan pengurus DKM AA Dudi (ketua), Aep Saepudin (sekretaris), dan Duding (bendahara); (3) Mesjid Jami Al-Jamatus Sulaeman di Kampung Cipurut RT.03/RW.03 dengan susunan pengurus DKM Suhaemidin (ketua), Sobirin (sekretaris), dan Kunun (bendahara); (4) Mesjid Jami Al-Barokah di Kampung Parasu RT.01/RW.04 dengan susunan pengurus DKM KH. Saepul Milah (ketua), Yusup Tajhiri (sekretaris), dan Oyok K (bendahara); dan (5) Mesjid Jami Al-Ikhlas di Kampunga Jamisata RT.02/RW.05 dengan susunan pengurus DKM H. Sidik (ketua), Asep Lukman (sekretaris), dan Agus Sujana sebagai Bendahara.

Organisasi Pemerintahan dan Kemasyarakatan
Desa adalah jajaran sistem pemerintahan nasional di tingkat yang paling bawah. Walaupun demikian, desa memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan sistem pemerintahan yang ada di atasnya, khususnya kecamatan, karena jauh sebelum otonomi daerah diberlakukan, desa sudah merupakan daerah yang otonom. Oleh karena itu, sangatlah tepat apa yang dikemukakan oleh Palmer, yaitu bahwa desa, termasuk Desa Cijagang, merupakan kesatuan administratif, teritorial, dan kesatuan hukum menurut batas-batas wilayah tertentu (Palmer, 1984: 326), yang penyelenggaraan pemerintahannya adalah otonom (oleh, untuk, dan dari sekelompok orang yang menempati wilayah tersebut). Selain itu, desa juga merupakan kesatuan sosial, yaitu sebagai tempat menyelenggarakan hubungan-hubungan sosial antarwarga masyarakat, yang di dalamnya seringkali terdapat nilai-nilai kekerabatan yang cukup kuat serta melandasi hubungan-hubungan tersebut (Palmer, 1984: 324).

Secara administratif dan teritorial, Desa Cijagang terbagi ke dalam 5 kampung atau dusun dan 69 Rukun Tetangga (RT). Ke-5 kampung itu adalah: Majalaya, Cilalay, Parasu, Cipurut dan Jamisata. Wilayah kampung sekaligus merupakan wilayah Rukun Warga (RW). Oleh karena itu, jumlah kampung dan RW sama (5 buah). Setiap kampung diketuai oleh seorang yang disebut sebagai Ketua Kampung.

Struktur organisasi pemerintahan Desa Cijagang dipegang oleh seorang kepala desa (Kades) yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai “kuwu”. Pengangkatannya dipilih oleh masyarakat untuk periode delapan tahun. Dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang sekretaris desa yang lebih dikenal sebagai “juru tulis” dan sering disingkat menjadi “ulis”. Ia bertugas mengkoordinir pemerintahan, kesejahteraan rakyat, perekonomian dan pembangunan, Keuangan, kemasyarakatan (umum), dan trantib. Untuk melaksanakan tugas itu ia dibantu oleh seorang: Kaur (kepala Urusan) Pemerintahan, Kesejahteraan Rakyat, Perekonomian dan Pembangunan, kemasyarakatan, dan trantib. Setiap kepala urusan mempunyai seorang staf. Dengan demikian, perangkat Desa Cijagang, termasuk dengan kepala desanya, berjumlah 15 orang.

Selain perangkat desa yang oleh masyarakat setempat sering disebut sebagai “pamong desa”, ada juga yang disebut sebagai Badan Perwakilan Desa (BPD). Lembaga ini berfungsi sebagai badan legislatif dalam organisasi pemerintahan desa. Anggotanya diambil dari para tokoh masyarakat desa yang bersangkutan. Jumlahnya ada 13 orang, dengan rincian: 1 orang ketua, 1 orang sekretaris, dan 11 orang anggota. Tugasnya adalah mengadakan musyawarah tingkat desa untuk mengevaluasi dan atau menetapkan suatu keputusan pemerintah desa, serta membantu kepala desa dalam merencanakan dan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di wilayahnya. Selain itu, melalui lembaga-lembaga tersebut diharapkan akan berlangsung komunikasi antara masyarakat dan perangkat pemerintahan serta antarwarga masyarakat desa itu sendiri. Sementara itu, organisasi kemasyarakatan yang terdapat di Desa Cijagang adalah organisasi kepemudaan yang bernama “Karang Taruna” dan organisasi para ibu rumah tangga yang bernama “Pendidikan Kesejahteraan Keluarga” (PKK) (Potensi Desa Cijagang Tahun 2010/2012). (gufron)
_____________________________
1. Asal mula nama desa ini sangat erat kaitannya dengan sesuatu yang terjadi pada masa lalu. Konon, waktu itu pendiri desa bernama Dalem Cikundul beserta rombongannya hendak mendirikan pendopo di seberang Sungai Cikundul, tepatnya di pertigaan tanjakan Joglo Balong arah ke Legok Jengkol (Majalaya Kidul). Namun, karena sungai sedang ca’ah dengdeng (banjir), maka rombongan tidak dapat menyeberanginya. Sebagai jalan keluarnya, Sang Dalem lalu ngajegangkeun (meregangkan) kedua kakinya melewati sungai yang lebarnya sekitar 150 meter agar rombongannya dapat menyeberang dengan selamat. Kejadian luar biasa tersebut (ngajegangkeun) akhirnya dijadikan sebagai nama kampung tempat tinggal mereka, yaitu Cijagang.
2. Kecamatan Cikalong Kulon memiliki 18 buah desa, yaitu: Cijagang, Sukagalih, Gudang, Cinangsi, Majalaya, Kamurang, Warudoyong, Ciramagirang, Mekarjaya, Sukamulya, Padajaya, Cigunungherang, Neglasari, Mekargalih, Mentengsari, Mekarsari, Mekarmulya, dan Lembahsari.
3. Ada beberapa definisi yang berkaitan dengan istilah hutan rakyat. Menurut UU No.41/1999, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi tersebut diberikan untuk membedakannya dari hutan negara (hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara). Sementara, menurut Suharjito (2007), hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang fungsinya sebagai perlindungan tata air pada lahan-lahan masyarakat dan sumber penghasil kayu, buah-buhanan, daun, kulit kayu, biji dan lain sebagainya. Sedangkan Awang (2004), mendefinisikan hutan rakyat atau farm forestry sebagai hutan yang mempunyai ciri kegiatan penanaman pohon atau tanamannya dilaksanakan di atas lahan milik rakyat yang bersifat swadaya atau bertujuan komersial.

Definisi lainnya berasal dari Rachmatullah (2004) yang menyatakan bahwa hutan rakyat merupakan hutan buatan di atas lahan milik perseorangan maupun kelompok dengan pengelolaan cenderung masih tradisional dan kurang memperhatikan kelestarian hasil (kontinuitas produksi) karena hanya bersifat sampingan dan dianggap sebagai tabungan untuk keperluan mendesak. Dan terakhir berasal dari Purwanto, dkk (2004) yang mendifinisikan hutan rakyat dengan beberapa karakteristik, yaitu: luas lahan rata-rata yang dikuasai sempit; lahan umumnya ditanamai kayu-kayuan dengan pola tumpangsari, campuran agroforestri, dan sistem monokultural bagi petani berlahan luas; tenaga kerja berasal dari dalam keluarga; skala usaha kecil; kontonuitas dan mutu kayu kurang terjamin; beragamnya jenis tanaman dengan daun yang tidak menentu; kayu dalam hutan rakyat tidak diposisikan sebagai andalan pendapatan rumah tangga petani tetapi dilihat sebagai “tabungan” yang segera dapat dijual pada saat dibutuhkan; masih menggunakan siftikultur sederhana dan memungkinkan pengembangan dengan biaya rendah, meskipun hasilnya kurang optimal; keputusan pemanfaatan lahan untuk hutan rakyat seringkali merupakan pilihan terakhir apabila pilihan lainnya tidak memungkinkan; dan usaha hutan rakyat merupakan usaha yang tidak pernah besar tetapi tidak pernah mati.
4. Termasuk dalam lain-lain adalah tanah wakaf, lapangan olahraga, sarana pendidikan (Taman Kanak-kanak, Taman Pendidikan Al Quran, Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, sarana kesehatan (puskesmas, poliklinik/balai pengobatan, dan posyandu), dan sarana peribadatan (mesjid dan mushola)
5. RW 03/RT 03 sebenarnya adalah sebuah dusun yang bernama Cipurut. Namun karena jumlah penduduknya relatif sedikit, maka Rukun Tetangga dan Rukun Warga di dusun ini digabungkan dengan Dusun Cilalay.
6.Nama mata air di Desa Cijagang adalah keramat Cikahuripan atau Leuwi Batok karena berbentuk cekung menyerupai tempurung (batok). Konon, pemberian nama ini berawal ketika Kanjeng Dalem Cikundul hendak melaksanakan sholat berjamaah beserta rombongannya. Oleh karena waktu itu tidak dijumpai adanya air, maka Eyang Dalem Cikundul lalu menotokkan jari telunjuknya ke tanah dan dengan seizin Allah SWT keluarlah air bersih yang dapat digunakan untuk minum dan berwudlu.
7. Desa Cijagang memiliki 2 buah pondok pesantren, yaitu: Pondok Pesantren Al Barokah dan Pondok Pesantren Al Hikmah. Pondok Pesantren Al Hikmah didirikan pada tahun 1930 oleh K.H. Najmudin. Awalnya pondok pesantren dengan luas lahan sekitar 6.650 meter persegi ini hanya memiliki 1 buah lokal, kemudian pada tahun 1963 bertambah menjadi 5 lokal dan pada tahun 1990 dibangun lagi menjadi 11 lokal, terdiri dari: 3 ruang belajar, 1 ruang pimpinan pondok pesantrem, 1 ruang pengasuh/ustadz/guru, 1 ruang tata usaha, 1 ruang perpustakaan, 1 ruang keterampilan. Selain itu terdapat pula sebuah mesjid dan lapangan olah raga seluas 500 meter persegi.

Sumber:
Awang, San Afri. 2004. Dekonstruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. Yogyakarta: Bayu Indra Grafika.

Palmer, Andrea Wilcox. 1984. “Desa Situradja: Sebuah Desa di Priangan” dalam Koentjaraningrat (ed). Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI

Purwanto, S, dkk. 2004. Kelembagaan untuk Mendukung Pengembangan Hutan Rakyat Produktivitas Tinggi. Prosiding Ekspose Terpadu Hasil Penelitian, Yogyakarta 11-12 Oktober 2004. Hal 53-65. Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.

Rachmatullah, Muhammad. 2004. Sistem Pengelolaan Dan Pemanfaatan Ekonomi Hutan Rakyat Di Cianjur Selatan (Studi Kasus Di Kecamatan Cibinong dan Sindangbarang). [Skripsi]. Fakultas Kehutanan IPB.

Suharjito, Didik. 2007. Hutan Rakyat di Jawa: Perannya dalam Perekonomian Desa. Bogor: Program Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (P3KM).
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive