Desa Kanekes

Letak dan Keadaan Alam
Kanekes adalah salah satu desa yang secara administratif berada dalam wilayah Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Tatar Kanekes merupakan tanah ulayat milik warga masyarakat Baduy yang pengukuhannya diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 tahun 2001. Oleh karena itu, di dalam wilayah Kanekes memuat aturan adat sekaligus aturan administrasi pemerintahan desa pada umumnya (Pasal 2 ayat 1 dan 2 Peraturan Desa Kanekes Nomor 1 tahun 2007). Peraturan Daerah tersebut kemudian diperkuat lagi oleh Surat Keputusan Bupati Lebak Nomor 590/Kep.233/Huk/2002 tanggal 16 Juli 2002 tentang Penetapan Batas-batas Hal Ulayat di Desa Kanekes yaitu seluas 5.136,58 hektar yang terdiri atas 3.000 hektar hutan lindung dan 2.136,58 hektar berupa tanah garapan dan pemukiman.

Adapun batas-batas geografisnya adalah: sebelah utara berbatasan dengan Desa Bojongmenteng, Desa Cisimeut, Desa Nyagati di Kecamatan Leuwidamar dan Sungai Ciujung; sebelah barat berbatasan dengan Desa Parakan Beusi, Desa Keboncau, Desa Karang Nunggal di Kecamatan Bojongmanik dan Sungai Cibarani; Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cikate di Kecamatan Cijaku dan Sungai Cidikit; dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Karang Combong dan Desa Cilebang di Kecamatan Muncang serta Sungai Cisimeut (Pasal 4 dan 5 Peraturan Desa Kanekes Nomor 1 Tahun 2007).

Desa yang wilayahnya berada di kawasan pegunungan Kendeng dengan titik koordinat 6°27'27"-6°30' Lintang Utara (LU) dan 108°3'9"-106°4'55" Bujur Timur (BT) (Permana, 2006) ini terdiri atas 59 Kampung (tiga kampung Baduy dalam, 55 kampung Baduy Luar, dan sebuah kampung luar Baduy) (Fathurokhman, 2010). Kampung Baduy dalam terdiri atas Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Kampung Baduy luar terdiri atas Kaduketug 1, Kaduketug 2, Cipondok, Kadukaso, Cihulu, Marengo, Balingbing, Gajeboh, Cigula, Kadujangkung, Karahkal, Kadugede, Kaduketer 1, Kaduketer 2, Cicatang 1, Cicatang 2, Cikopeng, Cibongkok, Corokokod, Ciwaringin, Cibitung, Batara, Panyerangan, Cisaban 1, Cisaban 2, Leuwihandam, Kadukohak, Cirancakondang, Kaneungai, Cicakalmuara, Cicakal Tarikolot, Cipaler 1, Cipaler 2, Cicakal Girang 1, Babakan Cicakal Girang, Cicakal Girang 2, Ciipit Lebak, Ciipit Tonggoh, Cikasi Cinangsi, Cikadu 1, Cijangkar, Cijengkol, Cilingsuh, Cisagu 1, Cisagu 02, Babakan Eurih, Cijanar, Ciranji, Cikulingseng, Cicangkudu, Cibagelut, Cisadane, Batubeuah, Cibogo, dan Pamoean. Sedangkan satu kampung yang berada di luar Baduy adalah Cicakal Girang. Kampung ini tidak dikategorikan sebagai "Baduy" mayoritas warga masyarakatnya telah beragama Islam dan bukan Sunda Wiwitan (Fathurokhman, 2010).

Topografi Desa Kanekes bervariasi, namun sebagian besar berada pada dataran bergelombang dengan kemiringan antara 0-45% dan ketinggian antara 250-600 meter di atas permukaan air laut. Adapun iklim yang menyelimutinya sama seperti daerah lainnya di Indonesia, yaitu tropis yang ditandai oleh adanya dua musim, penghujan dan kemarau. Musim penghujan biasanya dimulai pada bulan Oktober-Maret, sedangkan musim kemarau biasanya dimulai pada bulan April-September. Curah hujannya rata-rata 66 milimeter perbulan. Sedangkan, temperaturnya rata-rata berkisar 20-30 Celcius. Sesuai dengan iklimnya yang tropis maka flora yang ada di sana pada umumnya sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia, seperti: kelapa, bambu, singkong, tanaman buah (rambutan, nangka, durian, cokelat, dan lain sebagainya), padi, dan tanaman palawija (jagung, kacang panjang, dan lain sebagainya). Fauna yang ada di sana juga pada umumnya sama dengan daerah lain di Indonesia, yaitu: kambing, kijang, ayam, anjing, dan berbagai binatang melata.

Orang Kanekes
Warga masyarakat yang tinggal di Desa Kanekes menyebut diri mereka sebagai orang Kanekes, namun oleh masyarakat umum sering disebut sebagai orang Baduy. Sebutan "Baduy" ini ada yang berpendapat berasal dari para peneliti Belanda yang menyamakan mereka dengan suku bangsa Badawi di jazirah Arab yang masih nomaden dan ada pula yang berpendapat bahwa kata "Baduy" berkaitan erat dengan wilayah yang mereka diami, yaitu di sekitar Sungai Baduy dan Gunung Baduy di bagian utara.

Selain penamaan, asal usul orang Baduy pun juga memiliki banyak versi. Menurut buku berjudul "Membuka Tabir Kehidupan Tradisi Budaya Masyarakat Baduy dan Cisungsang serta Peninggalan Sejarah Situs Lebak Sibedug" yang diterbitkan oleh Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lebak (2004), menyatakan bahwa bila merujuk pada naskah kuno Koropak 630 Sanghyang Siksakandang Karesian, orang Baduy berasal pada pendeta (wiku) yang mengamalkan Jatisunda. Sisa dari kabuyutan Jatisunda adalah Sasaka Domas yang berada di wilayah Baduy dalam dan menjadi pusat "dunia"-nya orang Baduy. Sementara bila merujuk pada ungkapan tradisional orang Baduy yang berbunyi "Jauh teu puguh nu dijujug, leumpang teu puguh nu di teang, mending keneh lara jeung wirang tibatan kudu ngayonan perang jeung paduluran atawa jeung baraya nu masih keneh sawarga tua", maka orang Baduy diperkirakan berasal dari keturunan Kerajaan Pajajaran yang melarikan diri ke Gunung Kendeng akibat diserang oleh kerajaan Islam dari Banten dan Cirebon.

Pendapat tentang orang Baduy yang merupakan pelarian dari Kerajaan Pajajaran juga dikemukakan oleh Adimihardja (2000). Menurutnya, dahulu Sungai Ciujung merupakan salah satu urat nadi penting bagi pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman Kerajaan Pajajaran. Oleh karena itu, Pangeran Pucuk Ulum (penguasa setempat) kemudian menempatkan sejumlah pasukan kerajaan untuk mengamankannya. Keberadaan pasukan inilah yang diyakini sebagai cikal bakal orang Baduy.

Padahal, pendapat tentang orang-orang pelarian dari Kerajaan Pajajaran ini sebelumnya pernah disangkal oleh Garna (1993) yang menyatakan bahwa ada seorang dokter berkebangsaan Belanda bernama van Tricht yang pernah melalukan riset kesehatan di tengan masyarakat Baduy pada tahun 1928. Dalam risetnya Van Tricht menyimpulkan bahwa orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh dari luar.

Jauh sebelum Garna, ada pula Danasasmita dan Djatisunda (1986) yang menyatakan hal serupa. Menurut keduanya, apabila berbicara mengenai asal usul masyarakat Kanekes hendaklah bertitik tolak dari kedudukan mereka dalam konteks masyarakat Sunda lama. Masyarakat Kanekes mempunyai tugas khusus dalam hubungan dengan masyarakat Sunda secara keseluruhan. Dalam hal ini, mereka berkedudukan sebagai mandala (kawasan suci) yang mengemban tugas melakukan tapa di mandala. Sedangkan masyarakat Sunda lainnya - di luar mandala - berkedudukan sebagai nagara dan mengemban tugas melakukan tapa di nagara. Mandala adalah satu konsep dalam kerajaan Sunda lama yang berarti tempat suci sebagai pusat keagamaan. Orang-orang yang hidup di dalamnya terdiri atas pendeta, murid-murid atau bahkan pengikut yang membaktikan dirinya bagi kepentingan kehidupan agama.

Menurut Moeis (2010), berdasarkan prasasti Banten dan naskah Sunda kuno, diketahui bahwa dalam masyarakat Sunda lama mandala disebut pula dengan istilah kabuyutan, yang terdiri atas Lemah Dewasasana dan Lemah Parahiyangan. Lemah Dewasasana adalah mandala sebagai tempat memuja dewa bagi penganut Hindu dan Budha, sedangkan Lemah Parahiyangan atau kabuyutan jatisunda adalah mandala sebagai tempat memija hiyang bagi penganut animisme yang memuja roh leluhur sejak jaman prasejarah. Kabuyutan jatisunda atau 'Sunda asli' merupakan cikal bakal Sunda Wiwitan, agama yang dianut oleh orang Kanekes.

Pendapat Garna, Danasasmita, dan Djatisunda juga diamini oleh Ekajati (1995) yang menyatakan bahwa berdasarkan pengakuan masyarakat Kanekes sendiri, sejak semula leluhur mereka hidup di daerah yang mereka diami sekarang, yaitu Desa Kanekes. Leluhur mereka bukan berasal dari mana-mana dan bukan pula berasal sebagai pelarian. Dan, bila dihubungkan dengan asal usul mereka dengan kaum pelarian dari Pakuan Pajajaran, bahkan mereka bersikukuh bahwa sejak zaman Nabi Adam AS pun leluhur mereka telah bermukim di daerah Kanekes.

Lepas dari berbagai versi mengenai asal usul tersebut, yang jelas orang Kanekes adalah sebuah komunitas adat dengan seperangkat aturan dan norma yang telah dijalankan secara turun-temurun. Mereka membagi diri atas tiga kelompok, yaitu Tangtu Tilu, Panamping, dan Dangka (Moeis, 2010). Tangtu Tilu adalah kelompok yang paling ketat mengikuti adat. Mereka disebut sebagai Baduy dalam dan tinggal di tiga kampung di Desa Kanekes, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Kelompok Panamping adalah mereka yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kadukolot, Cisagu, dan lain sebagainya yang masih termasuk wilayah Desa Kanekes. Sedangkan dangka adalah orang-orang Baduy yang tinggal di dua kampung di luar wilayah Kanekes, yaitu Kampung Padawaras (Cibengkung) dan Kampung Sirahdayeuh (Cihandam) (Permana, 2001) atau dengan kata lain dangka adalah areal yang secara administratif berada di luar wilayah Desa Kanekes yang pada umumnya penduduknya masih memiliki keterikatan kekerabatan dan ksomik dengan warga serta tata aturan dan sistem yang berlaku di Tatar Kanekes (Pasal 1 ayat 9 Peraturan Desa Kanekes Nomor 1 Tahun 2007).

Menurut Fathurokhman (2010), pembedaan kelompok tersebut didasarkan pada ketaatan dalam menjalankan aturan-aturan dan norma adat. Kelompok Baduy dalam sangat memegang teguh aturan-aturan adat yang telah ditetapkan oleh para karuhun, sementara kelompok Baduy luar lebih longgar dalam menjalankannya. Pembedaan ini juga disebabkan karena warga Baduy dalam memiliki kewajiban bertapa dalam pengertian meneguhkan atau melestarikan adat Baduy dan agama Sunda Wiwitan, sementara warga Baduy luar bertugas sebagai panamping untuk menjaga masyarakat Baduy dalam yang sedang bertapa, sehingga turut juga membantu meneguhkan adat.

Adapun aturan-aturan adat yang ada dalam masyarakat Baduy diantaranya adalah: dilarang membuat kolam, membendung aliran air sungai atau membuat sumur dengan sanksi adat berupa denda atau diasingkan hingga keadaan kembali seperti semula; dilarang menggunakan bahan kimia sebagai pupuk dengan sanksi berupa penyitaan; dilarang memelihara hewan berkaki empat dengan sanksi adat berupa penyitaan atau penghancuran; dilarang berburu dengan senapan dengan sanksi adat berupa penyitaan dan penghancuran; dilarang menggunakan peralatan pertanian modern (cangkul, traktor) dengan sanksi adat berupa penyitaan dan penghancuran; dilarang menggunakan gergaji besi untuk menebang pohon dengan sanksi adat berupa penyitaan dan penghancuran; dilarang menggunakan minyak bumi (minyak tanah, bensi, solar) dengan sanksi adat berupa penyitaan; dilarang memasuki kawasan Sasakan Domas dengan sanksi adat berupa denda dan atau pengasingan; dilarang merusak kawasan leuweung kolot atau leuweung larangan; dilarang meracun ikan; dilarang mandi menggunakan sabun dan pasta gigi; dilarang menggunakan alas kaki; kaum perempuan dilarang menggunakan perhiasan emas; dilarang bersekolah; dilarang menggunakan kendaraan bila bepergian; dilarang menggunakan peralatan elektronik; dilarang membuka warung atau berdagang; dilarang menggunakan perabot rumah tangga mewah; dilarang berpoligami; dan lain sebagainya.

Selain dibedakan oleh ukuran ketat atau tidaknya melaksanakan aturan adat, warga Baduy luar dan dalam juga dibedakan oleh busana yang mereka kenakan sehari-hari. Dalam berpakaian misalnya, laki-laki Baduy dalam atau urang Girang atau urang Kejeroan diharuskan mengenakan jamang sangsang atau baju berlengan panjang yang cara memakainya hanya disangsangkan/dilekatkan pada tubuh. Jamang sangsang didesain sedemikian rupa sehingga tidak memakai kerah, kancing dan kantung. Bahan dasar pembuatan jamang sangsang adalah tenunan benang kapas asli yang dibentuk menggunakan tangan tanpa bantuan mesin jahit. Untuk menutup bagian pinggang ke bawah digunakan kain serupa sarung berwarna kehitaman. Agar tidak melorot, sarung yang dililitkan pada bagian pinggang tersebut diikat dengan selembar kain. Dan sebagai pelengkapnya, pada bagian kepala menggunakan iket berwarna putih yang kadang dipadukan dengan selendang yang melingkar di leher.

Adapun busana yang dikenakan oleh kaum lelaki Baduy luar adalah baju kampret berwarna hitam dan ikat kepala berwarna biru tua dengan corak batik. Desain baju orang Baduy luar sudah seperti desain baju atau kemeja yang biasa dikenakan oleh orang kebanyakan. Jadi, terdapat kancing, kantong, dan bahannya bisa dari benang sintetis. Bahkan untuk bagian bawahan pun mereka sudah tidak mengenaikan kain serupa sarung, melainkan celana berbahan apa saja asalkan sebatas lutut. Dan, sebagai pelengkapnya (baik Baduy luar maupun dalam), akan menyarungkan sebilah golok di pinggang serta membawa koja (tas).

Sedangkan busana yang dikenakan oleh kalangan perempuan Baduy, baik dalam maupun luar tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok. Pakaian sehari-hari yang biasa mereka kenakan adalah semacam sarung berwarna donker (biru kehitam-hitaman) mulai dari tumit hingga ke dada. Dahulu, bagi perempuan yang telah menikah, kain hanya dikenakan sebatas pinggang sehingga akan menampakkan buah dadanya. Tetapi apabila ingin bepergian, mereka akan memakai semacam kebaya, kain tenunan sarung berwarna kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang, dan selendang.

Kependudukan
Penduduk Desa Kanekes berjumlah 11.667 jiwa, dengan Jumlah Kepala Keluarga (KK) 3.402. Jika dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, maka jumlah perempuannya mencapai 5.773 jiwa (49,5%) dan penduduk berjenis kelamin laki-laki 5.887 jiwa (50,5%). Para penduduk ini tersebar di 59 kampung yang dibagi menjadi 13 Rukun Warga (RW) dengan rincian: RW 01 dihuni oleh 1.31 jiwa (laki-laki 525 jiwa dan perempuan 506 jiwa), RW 02 dihuni 859 jiwa (laki-laki 432 jiwa dan perempuan 427 jiwa), RW 03 dihuni 791 jiwa (laki-laki 379 jiwa dan perempuan 412 jiwa), RW 04 dihuni 817 jiwa (laki-laki 427 jiwa dan perempuan 390 jiwa), RW 05 dihuni 1.398 jiwa (laki-laki 713 jiwa dan perempuan 685 jiwa), RW 06 dihuni 1.252 jiwa (laki-laki 615 jiwa dan perempuan 637 jiwa), RW 07 dihuni 820 jowa (laki-laki405 jiwa dan perempuan 415 jiwa), RW 08 dihuni 650 jiwa (laki-laki 344 jiwa dan perempuan 306 jiwa), RW 09 dihuni 617 jiwa (laki-laki 297 jiwa dan perempuan 320 jiwa), RW 10 dihuni 666 jiwa (laki-laki 314 jiwa dan perempuan 325 jiwa), RW 11 dihuni 1.210 jiwa (laki-laki 626 jiwa dan perempuan 583 jiwa), RW 12 dihuni 619 jiwa (laki-laki 328 jiwa dan perempuan 291 jiwa), dan terakhir RW 13 dihuni oleh 924 jiwa (laki-laki 454 jiwa dan perempuan 470 jiwa) (Potensi Desa Kanekes, 2016).

Konsep Ruang dan Pola Pemukiman
Wilayah pemukiman warga masyarakat Kanekes berada di sekitar di lembah, perbukitan, hutan skunder, dan bahkan lereng-lereng terjal di pegunungan Kendeng. Oleh karena letaknya yang relatif sulit dijangkau, untuk mencapai pusat pemerintahan adat Baduy di Cibeo hanya dapat ditempuh melalui tiga jalur. Jalur pertama dari Ciboleger ke arah utara melalui jalan (pintu utama) Desa Bojongmeteng lalu ke kampung Kaduketug, Kadujangkung, Sorokokod, Batara, Cisaban, dan Cibeo. Jalur kedua dari Ciboleger ke ke arah timur melalui Desa Bojongmenje, kampung Kaduketug, Balingbing, Matengo, Gajeboh, Cihulu, Cipaler, Ciguha, Cobongkok, dan Cibeo sejauh sekitar 12 kilometer. Sedangkan jalur terakhir dari Pasar Kroya di Kebon Cau, Kecamatan Bojongmanik, melewati Kampung Cijahe, Cisadane, Batubeulah, Cikadu, Cipiit, Ciranji, Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo sejauh 22 kilometer. Sebagai catatan, untuk dapat mencapai Kampung Cibeo yang jaraknya belasan kilometer tersebut haruslah ditempuh dengan berjalan kaki. Ada suatu ketentuan adat yang melarang wilayah ulayat Baduy dibangun secara modern, termasuk dilalui oleh kendaraan bermotor. Selain itu, bagi orang Baduy sendiri ada aturan adat yang melarang menggunakan kendaraan bermotor dalam mobilitasnya sehari-hari.

Keteguhan masyarakat Baduy dalam menjaga tradisi serta kecenderungan untuk menolak perubahan menurut Moeis (2010) terkait dengan konsep ruang yang merupakan fenomena penting dalam kepercayaan dan falsafah hidup mereka. Hal ini terwujud dalam dimensi makro dan mikro kosmos mereka yang membagi dunia menjadi tiga bagian. Bagian atas disebut sebagai Buana Nyungcung yang merupakan tempat persemayaman Sang Hiyang Keresa. Bagian tengah disebut Buana Panca Tengah, tempat berdiamnya mahluk hidup. Sedangkan bagian bawah disebut sebagai Buana Larang atau neraka.

Sebagai tempat berdiamnya manusia dan mahluk hidup lainnya, Buana Panca Tengah dibedakan lagi berdasarkan tingkat kesuciannya. Tempat paling suci disebut Sasaka Pusaka Buana atau disebut juga Pada Ageung dan Arca Domas yang tidak boleh didatangi oleh sembarang orang, terutama orang luar Baduy. Tempat ini dianggap sebagai titik awal terbentuknya dunia dan tempat ke-7 batara diturunkan. Sasaka Pusaka Buana terletak di hulu Sungai Ciujung atau di sebelah ujung barat pegunungan Kendeng yang lokasinya hanya diketahui oleh Puun Cikeusik dan beberapa orang kepercayaannya, sehingga hanya Puun Cikeusiklah yang bertanggung jawab memelihara dan mengadakan ritual di tempat itu.

Tempat suci berikutnya adalah Sasaka Domas atau Mandala Parahiyangan yang lokasinya di hulu Sungai Ciparahiyangan di dalam komplek hutan larangan. Adapun yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan Sasaka Domas dilimpahkan kepada Puun Cibeo. Selanjutnya, yang berurutan menurun tingkat kesuciannya adalah kampung dalam, kampung luar (panamping), Banten, tanah Sunda, dan di luar Sunda.

Berdasarkan konsep ruang kesucian tersebut masyarakat Baduy mengkelompokkan anggotanya ke dalam beberapa tingkatan stratifikasi sosial. Merujuk pada konsep Telu Tangtu, wilayah tangtu (Baduy dalam) yang berada dekat Sasaka Pusaka Buana terbagi menjadi tiga kelompok sosial berdasarkan kampung tempat tinggal mereka. Warga masyarakat yang bertempat tinggal di Cibeo disebut Tangtu Parahiyangan dan bertugas sebagai "Sang Prabu", warga masyarakat yang berdiam di Cikartawana disebut Tangtu Kadu Kujang dan bertugas sebagai "Sang Resi", dan warga masyarakat yang berdiam di Kampung Cikeusik disebut Tangtu Pada Ageung dan bertugas sebagai "Sang Rama". Sang Raja, Sang Rama, dan Sang Resi merupakan bagian dari konsep Telu Tangtu sebagai satu kesatuan peneguh dunia. Sang Rama dilambangkan sebagai sumber wibawa dan pengatur dunia bimbingan, Sang Resi dilambangkan sebagai sumber ucap (yang benar) dan pengatur dunia kesejahteraan, sedangkan Sang Raja melambangkan sumber wibawa dan pengatur dunia pemerintahan.

Ketiga kelompok pengatur dunia orang Baduy tadi tentu memiliki pola tata ruang tertentu dalam memanfaatkan wilayahnya. Dalam hal ini mereka membagi wilayah tangtu ke dalam tiga zona. Zona pertama (bawah), berada sekitar daerah lembah yang dekat dengan sumber-sumber air digunakan sebagai areal pemukiman, bale kapuunan (balai pertemuan), saung lisung (tempat penumbukan padi), lapangan, leuit (tempat penyimpanan padi), MCK, dan pekuburan (Garna, 1980). Penempatan saung lisung umumnya di dukuh lembur atau leuweung lembur yaitu area kampung yang masih berbentuk vegetasi hutan alam. Area ini tidak boleh dirusak atau ditebangi karena dianggap sebagai pelindung kampung dan sekaligus penghasil aneka ragam buah-buahan untuk kepentingan sosial ekonomi penduduk (Iskandar, 2010).

Zona kedua (tengah) berada diluar pemukiman penduduk yang berupa hutan skunder atau hutan produksi yang digunakan sebagai area bercocok tanam tadah hujan berpola ladang berpindah. Dan, zona terakhir (atas) merupakan hutan primer yang diperuntukkan sebagai tempat praktek pemujaan. Hutan primer ini disebut sebagai leuweung titipan atau leuweung kolot yang dianggap suci dan tidak boleh diberdayakan karena terdapat Sasaka Pusana Buana atau Pada Ageung (sebelah selatan Kampung Cikeusik) dan Sasaka Domas (sebelah selatan Kampung Cibeo).

Pada zona pertama, khususnya bagian pemukiman, komunitas tangtu mewujudkannya dalam bentuk yang sederhana. Mereka membuat tempat tinggal sederhana dalam bentuk arsitektur yang serupa. Setiap rumah dirancang untuk tidak langsung berhubungan dengan tanah tetapi berbentuk panggung dengan penyangga dari batu setinggi kurang lebih 75 centimeter. Material bangunan rumah dibuat dari beragam kayu ringan, bambu (utuh, dibelah/palupuh, atau dianyam), serat pohon enau, semacam daun pandan, daun kelapa, atau alang-alang kering. Pada bagian dalam rumah terdapat dua hingga tiga ruangan, yaitu satu ruangan agak besar yang dipergunakan sebagai tempat berkumpul keluarga, tidur anak laki-laki, menerima tamu, menyimpan berbagai perkakas rumah tangga, hingga tempat memasak/perapian yang merangkap juga tempat untuk makan. Selebihnya adalah ruangan untuk orang tua dan satu ruangan lagi untuk anak perempuan (Moeis, 2010).

Pada bagian depan dan belakang rumah terdapat pekarangan sebagai tempat menanam tanaman buah atau sayur. Sedangkan pada bagian samping hanya disisakan sedikit tempat selebar satu meter karena bersebelahan dengan rumah yang lainnya. Jarak antarrumah yang relatif dekat ini sangat berguna bagi aktivitas perempuan Baduy. Mereka dapat menjalin hubungan yang lebih erat dengan saling berkunjung, saling meminjam keperluan dapur, atau beraktivitas bersama-sama ke sungai atau pancuran, menumbuk padi di saung lisung, dan lain sebagainya.

Sebagai catatan, pola rumah dan pekarangan orang Kanekes luar dan dalam hampir serupa. Namun orang Kanekes luar memiliki kelonggaran dalam cara pembuatannya. Mereka diperbolehkan menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, tang dan lain sebagainya. Mereka juga boleh menggunakan bahan-bahan yang berasal dari pabrik seperti paku, kawat, mur, dan baut sebagai pengencang sambungan kayu pada bagian-bagian tertentu dari rumah.

Selain itu, baik orang Kanekes luar dan dalam juga memiliki rumah kedua yang mereka sebut saung huma. Saung huma merupakan rumah sementara bagi orang-orang yang sedang mengusahakan ladangnya atau sedang berhuma. Saung huma berbentuk lebih sederhana karena hanya ditempati sepanjang musim tanam dan saat-saat menjelang panen. Dan, sesuai dengan sifatnya yang hanya sementara, bila telah panen saung huma akan ditinggalkan karena akan berhuma di lokasi lain yang belum digunakan orang untuk berhuma.


















































Mata Pencaharian
Jenis mata pencaharian yang dilakukan oleh warga masyarakat Desa Kanekes seluruhnya bertumpu pada sektor pertanian, sebagaimana lazimnya sebuah desa. Adapun pertanian yang mereka usahakan termasuk dalam kategori pertanian tanah kering atau perladangan. Perladangan merupakan salah satu bentuk pertanian dalam arti luas karena mempunyai syarat-syarat: (1) dalam proses produksi hanya terbentuk bahan-bahan organis yang berasalkan dari zat-zat anorganis dengan bantuan tumbuh-tumbuhan atau hewan seperti: ternak, ikan, ulat sutera, laba-laba, dan sebagainya; (2) adanya usaha untuk memperbaharui proses produksi yang bersifat “reproduktif” dan atau “usaha pelestarian” (Tohir; 1991: 2).

Dalam konsepsi orang Kanekes ladang atau huma bukanlah milik perorangan, melainkan milik komunal. Tanah sepenuhnya merupakan hal ulayat yang penggunaannya dapat dilakukan bersama-sama secara bergiliran menurut ketentuan yang telah diatur oleh adat. Oleh karena itu ladang atau huma serang yang ada di Desa Kanekes pada umumnya bukan ladang yang baru (ladang lanjutan). Artinya, para peladang di sana hanya meneruskan ladang yang sudah ada yang ditinggalkan oleh peladang atau pehuma sebelumnya. Jadi, mereka akan berpindah tempat bila telah panen karena tanah sudah tidak subur lagi. Selanjutnya, tanah yang tidak subur itu dibiarkan begitu saja untuk beberapa musim (antara 3 hingga 10 tahun). Setelah itu, digarap kembali dengan cara membersihkan semak-semaknya (ngareuma). Namun demikian, jika mereka ingin membuka ladang yang baru, maka mesti menebang pohon-pohon yang besar. Penebangan pohon-pohon ini disebut sebagai nyacar.

Secara umum proses bercocok tanam di ladang pada prinsipnya ada empat tahap, yaitu: pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, dan penuaian (pemungutan hasil). Tahap pengolahan tanah terdiri atas: nebas/nuaran kakayon atau pembersihan tanah dari pepohonan kecil dan rerumputan, ngaduruk atau pembakaran pepohonan kecil atau rerumputan yang telah ditebang dan dicabut dalam proses nuaran kakayon, ngalobang atau membuat lubang untuk memasukkan pupuk, dan ngaseuk atau membuat lubang untuk memasukkan benih. Tahap berikutnya adalah tahap penanaman yang biasanya dilakukan bersamaan dengan ngaseuk. Menurut Iskandar (2010), tahap penamaman orang Kanekes didasarkan atas kalender tani khusus yang berpedoman pada rasi bintang orion (bentang kidang). Apabila bentang kidang telah muncul maka masa tanam harus segera dimulai, sebab bila sang kidang mulai merem dan pehuma tetap memaksakan tanam, tanaman bakal diserang hama kungkang (Leptocorisa acuta), ganjur (Oseolia orizae), gaang (Grylottalpa africana), atau ongrek/kuuk.

Tahap ketiga adalah pemeliharaan tanaman meliputi ngored yaitu pembersihan rerumputan liar di sekitar tanaman dan ngarabas yang sebenarnya sama dengan ngored namun cara pengerjaannya yang berbeda. Ngored dimulai dari bagian lebar ke arah panjang ladang, sedangkan ngarabas dimulai dari bagian panjang ke arah lebar ladang. Pemeliharaan tanaman tidak hanya berkaitan dengan kegiatan membersihakan rerumputan liar saja, tetapi juga menjaga kesuburan tanaman dan menjaga tanaman dari hama dan serangan binatang lain yang merusak tanaman. Adapun pemeliharaannya, bila terserang hama, adalah menggunakan bahan-bahan alami atau biopestisida berupa campuran buah cangkudu (Morinda citrofolia), rimpang laja (Languas galanga), kulit jeruk besar (Citrus grandis), air kelapa (Cocos nucifera), tuak aren (Arenga pinnata), bingbin (Pinanga sp), panglay (Zingiber cassumunar), keusik (pasir sungai), dan abu tungku.

Tahap terakhir adalah pemungutan dan pengolahan hasil. Tanaman ladang yang berupa padi-ladang, setelah dipungut kemudian dijemur dan disimpan di leuit. Dahulu, padi yang dihasilkan oleh para peladang di Desa Kanekes bukan ditujukan untuk pasar (dijual ke pasaran), tetapi untuk kebutuhan rumah tangga. Namun saat ini sebagian padi hasil panenan tersebut telah dijual melalui tengkulak yang oleh mereka disebut sebagai bandar. Bandar dapat dikategorikan berdasarkan apa yang diperjualbelikan. Dengan demikian, ada bandar: sayur-mayur, buah-buahan, dan lain sebagainya. Mereka keluar-masuk kampung sehingga tahu persis masa-masa panen.

Mata pencaharian lain yang biasanya dilakukan pada masa setelah tanam padi huma hingga menjelang panen bagi kaum laki-laki Baduy adalah berburu (kancil, menjangan, tupai), mencari madu hutan, nyadap kawung (nira) guna diolah menjadi gula kawung, mencari buah-buahan (durian, ranji, asam keranji, lada baduy, coklat), atau membuat kerajinan anyaman (koja, jarong, tas pinggang, topi, tempat minum dari kulit pohon teureup). Hasil hutan, terutama madu, biasanya mereka pasarkan ke kota-kota terdekat dengan berjalan kaki dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 hingga 5 orang. Sementara kaum perempuan bekerja di rumah menenun baju, celana, selendang, sarung, ikat kepala, dan lain sebagainya. Hasil kerajinan rumah tangga ini dijual sebagai cinderamata pada para wisatawan yang datang ke Kanekes.

Kepercayaan
Dasar kepercayaan orang Baduy ialah penghormatan ruh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa, Batara Tunggal. Keyakinan mereka itu disebut Sunda Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh agar orang hidup menurut alur itu dalam mensejahterakan kehidupan Baduy dan dunia ramai (orang Baduy dari hirarki tua dan dunia ramai keturunan yang lebih muda). Mereka bertugas mensejahterakan dunia melalui tapa (perbuatan, bekerja) dan pikukuh. Apabila Kanekes sebagai inti jagat selalu terpelihara baik, maka seluruh kehidupan akan aman sejahtera. Gangguan terhadap inti bumi ini berakibat fatal bagi seluruh kehidupan manusia di dunia. Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy tanpa perubahan apa pun, seperti dikemukakan oleh peribahasa “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). Konsep-konsep itu tidak berada dalam diri orang Baduy sendiri yang kekuatannya tergantung dari tindakan atau perbuatan seseorang. Konsep pikukuh merupakan pengejawantahan dari adat dan keagamaan yang ditentukan oleh intensitas konsep mengenai karya dan keagamaan. Dengan melaksanakan semuanya itu orang akan dilindungi oleh kuasa tertinggi, Batara Tunggal, melalui para guriang yang dikirim oleh karuhun dan Batara Tunggal karena orang tidak patuh kepada pikukuh, hakikat agama Sunda Wiwitan.

Nenek moyang orang Baduy dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu nenek moyang yang berasal dari masa para Batara dan masa para puun. Batara Tunggal digambarkan dalam dua dimensi, sebagai suatu kuasa dan kekuatan yang tak tampak tetapi berada di mana-mana, dan sebagai manusia biasa yang sakti. Dalam dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal mempunyai keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia di kabuyutan (tempat nenek-moyang), yaitu titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Mereka itu ialah Batara Cikal, yang diberitakan tidak ada keturunannya, Batara Patanjala yang menurunkan tujuh tingkat batara ketiga, yaitu (dari yang paling senior) Daleum Janggala, Daleum Lagondi, Daleum Putih Seda Hurip, Dalam Cinangka, Daleum Sorana, Nini Hujung Galuh, dan Batara Bungsu. Mereka itu yang menurunkan Bangsawan Sawidak Lima atau tujuh batara asal, nenek moyang orang Baduy. Daleum Janggala adalah batara yang tertua, dan yang menurunkan kerabat tangtu Cikeusing; Daleum Putih Seda Hurip menurunkan kerabat kampung Cibeo. Para batara tingkat ketiga lain masing-masing menurunkan jenis kerabat pemimpin lainnya.

Lima batara tingkat kedua, saudara-saudara muda Batara Pantajala, yaitu Batara Wisawara, Batara Wishnu, Batara Brahmana, Batara Hyang Niskala, dan Batara Mahadewa, menurunkan kelompok kerabat besar di luar Baduy yang disebut salawe nagara (dua puluh lima negara), yang menunjukkan jumlah kerabat yang besar, dan menurut pengetahuan orang Baduy adalah wilayah yang sangat luas di sebelah Sungai Cihaliwung (Garna 1988). Kelompok kerabat itulah yang dianggap orang Baduy keturunan yang lebih muda. Dari ketujuh orang batara tingkat ketiga nenek-moyang orang Baduy itu tampak bahwa hanya kerabat jaro dangka yang berasal dari garis keturunan perempuan. Lainnya diturunkan melalui garis keturunan patrilineal.

Kosmologi orang Baduy yang menghubungkan asal mula dunia, karuhun dan posisi tangtu, merupakan konsep penting pula dalam religi mereka. Karena itu wilayah yang paling sakral ada di Kanekes, terutama wilayah taneuh larangan (tanah suci, tanah terlarang) tempat kampung tangtu dan kabuyutan. Bumi dianggap bermula dari masa yang kental dan bening, yang lama-kelamaan mengeras dan melebar. Titik awal terletak di pusat bumi, yaitu Sasaka Pusaka Buana tempat tujuh batara diturunkan untuk menyebarkan manusia. Tempat itu juga merupakan tempat nenek moyang. Kampung tangtu kemudian dianggap sebagai inti kehidupan manusia, yang diungkapkan dengan sebutan Cikeusik, Pada Ageung Cikartawana disebut Kadukujang, dan Cikeusik disebut Parahyang, semua itu disebut Sanghyang Daleum. Secara khusus posisi tempat nenek moyang (kabuyutan) dan alur tangut dalam memperlihatkan kaitan karuhun, yaitu Pada Agueng ---- Sasaka Pusaka Buana ---- dangkanya disebut Padawaras; Kadukujang ---- Kabuyutan ikut pada Cibeo dan Cikeusik ---- dengan dangka-dangkanya yang disebut Sirah Dayeuh. Konsep buana (buana, dunia) bagi orang Baduy berkaitan dengan titik mula, perjalanan, dan tempat akhir kehidupan. Ada tiga buana, yaitu Buan Luhur atau Buana Nyungcung (angkasa, buana atas) yang luas tak terbatas, Buana Tengah atau Buana Panca Tengah, tempat manusia melakukan sebagian besar pengembaraannya dan tempat ia akan memperoleh segala suka-dukanya. Buana Handap (buana bawah) ialah bagian dalam tanah yang tak terbatas pada luasnya. Keadaan di tiga benua itu adalah seperti halnya dunia ini, ada siang dan ada malam, dan keadaannya sebaliknya dengan di dunia.

Konsep lain dalam religi orang Baduy ialah kaambuan atau ambu (ibu, wanita, ibu suci). Menurut orang Baduy ada tiga ambu yang penting (peling tidak yang ditakuti dan disegani) yaitu Ambu Luhur di Buana Luhur, Ambu Tengah di Buana Panca Tengah, dan Ambu Rarang di Buana Handap. Ambu Tengah ialah pemelihara kehidupan yang harus dihormati dengan kesungguhan melakukan pikukuh. Ambu luhur tidak hanya mengurus tempat orang Baduy setelah mati, tetapi juga dengan segala kekuatan dan kesaktiannya, Ambu Rarang dapat menyelesaikan setiap masalah kehidupan dengan menyebut namanya atau membaca mantera-mantera. Sedang Ambu Rarang adalah ambu yang menerima jasad dan ruh orang Baduy yang mati untuk diurus selama tujuh hari dan melepaskannya setelah 40 hari ke tempat akhir tetapi juga bentuk nyata dari Buana luhur (Koentjaraningrat, dkk. 1993).

Struktur Sosial dan Organisasi Pemerintahan
Desa adalah jajaran sistem pemerintahan nasional di tingkat yang paling bawah. Walaupun demikian, desa memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan sistem pemerintahan yang ada di atasnya, khususnya kecamatan, karena jauh sebelum otonomi daerah diberlakukan, desa sudah merupakan daerah yang otonom. Oleh karena itu, sangatlah tepat apa yang dikemukakan oleh Palmer (1984: 326), yaitu bahwa desa, termasuk Desa Kanekes, merupakan kesatuan administratif, teritorial, dan kesatuan hukum menurut batas-batas wilayah tertentu yang penyelenggaraan pemerintahannya adalah otonom (oleh, untuk, dan dari sekelompok orang yang menempati wilayah tersebut). Selain itu, desa juga merupakan kesatuan sosial, yaitu sebagai tempat menyelenggarakan hubungan-hubungan sosial antarwarga masyarakat, yang di dalamnya seringkali terdapat nilai-nilai kekerabatan yang cukup kuat serta melandasi hubungan-hubungan tersebut (Palmer, 1984: 324).

Secara administratif Desa Kanekes memiliki dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional dan sistem kepemimpinan adat yang diakulturasikan sedemikian rupa. Dalam sistem nasional, Desa Kanekes dipimpin oleh seorang jaro pamarentah yang berada di bawah camat, sedangkan dalam sistem kepemimpinan adat dipegang oleh puun (Puun Cikeusik, Puun Cibeo, dan Puun Cikartawana). Sebagai pemimpin tertinggi Puun memiliki tugas sebagai pengambil keputusan dan menetapkan hukum adat atas dasar hasil musyawarah lembaga adat. Puun dipilih oleh masyarakat Baduy berdasarkan musyawarah para kokolot (tokoh adat). Adapun prosesnya diawali dengan penseleksian calon Puun atas dasar lahiriah seperti: sehat rohani, berpenampilan baik, jernih pikiran dan hati, bekerja runtut (sistematis), bertindak penuh kewaspadaan, bertindak sesuai aturan, terampil, cekatan, jujur, toleran dan lain sebagainya. Kemudian diakhiri dengan penseleksian secara batiniah oleh kokolotan melalui proses tertentu dalam musyawarah lembaga adat Tangtu Tilu Jaro Tujuh. Masa jabatan seorang Puun tidak ditentukan karena hanya berdasarkan kesanggupannya untuk mengemban jabatan tersebut. Apabila sudah tidak sanggup lagi dia dapat menyerahkan jabatannya pada anak atau kerabatnya, tentu dengan terlebih melalui musyawarah kokolotan.

Dalam menjalankan tugasnya Puun dibantu oleh Jaro Tangtu dan Girang Seurat. Jaro Tangtu memiliki mandat melaksanakan roda pemerintahan yang berhubungan dengan kemasyarakatan, seperti: pelaksanaan dan penerapan hukum adat, penentuan dan pengaturan waktu kegiatan upacara adat, sosialisasi seputar tatanan hukum adat, hingga penataan keamaan dan ketertiban. Sedangkan Girang Seurat memiliki tugas khusus yaitu sebagai penentu waktu pelaksanaan ngaseuk huma serang, sebuah kegiatan gotong royong dalam sistem perladangan, mulai dari nyacar, nuaran, ngaduruk, ngaseuk, ngored, ngubaran huma hingga panen.

Jaro Tangtu dibantu oleh Baresan IX, Tangkesan, Jaro 12, dan Jaro Pamarentah (kepala desa). Baresan IX bertugas membantu kebutuhan adat atau kepuunan, termasuk memimpin doa bersama untuk kepentingan adat dan umum. Tangkesan adalah pemangku adat dari Baduy Luar yang dianggap memiliki kharisma dan wibawa sehingga disegani oleh seluruh warga. Selain disegani karena kharismanya, tangkesan juga dianggap memiliki kemampuan supernatural yang dapat memperlacar semua masalah, termasuk masalah yang dihadapi Puun. Oleh karena itu, tangkesan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam proses pemilihan, pelantikan atau pemberhentian petugas adat yang berada di Baduy luar.

Adapun Jaro 12 adalah gabungan dari sembilan orang Jaro Dangka dan tiga orang Jaro Tangtu. Jaro 12 dipimpin oleh seorang Jaro Tanggungan. Para jaro ini bertugas menjaga, mengurus, serta memelihara tanah titipan karuhun yang ada di tatar Kanekes. Dalam melaksanakan tugasnya Jaro 12 dibantu lagi oleh Jaro tujuh. Jaro tujuh adalah petugas adat yang berasal dari Baduy Luar dengan tugas utamanya lebih menitikberatkan pada pelaksanaan kebijakan/keputusan hukum adat sekaligus mengawasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh warga masyarakat Baduy sendiri maupun orang dari luar Baduy.

Sedangkan jaro pamarentah bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah daerah setempat. Dari jaro pamarentah ini barulah pemerintahan menggunakan sistem nasional. Dalam menjalankan tugasnya jaro pamarentah yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai kepala desa (Kades) dibantu oleh seorang sekretaris desa yang lebih dikenal sebagai “juru tulis” dan sering disingkat menjadi “ulis”. Ia bertugas mengkoordinir pemerintahan dan trantib, perekonomian dan pembangunan, kesejahteraan rakyat, keuangan dan umum. Untuk melaksanakan tugas itu ia dibantu oleh seorang: Kasi Pemerintahan dan Trantib, Kasi Perekonomian dan Pembangunan, Kasi Kesejahteraan Rakyat, Kaur Keuangan, dan Kaur Umum. Setiap kepala urusan mempunyai seorang staf. Dengan demikian, perangkat Desa Kaneses, termasuk dengan kepala adatnya, berjumlah 23 orang.

Selain perangkat desa, ada juga yang disebut sebagai Badan Perwakilan Desa (BPD). Lembaga ini berfungsi sebagai badan legislatif dalam organisasi pemerintahan desa. Anggotanya diambil dari para tokoh masyarakat desa yang bersangkutan. Tugasnya adalah mengadakan musyawarah tingkat desa untuk mengevaluasi dan atau menetapkan suatu keputusan pemerintah desa, serta membantu kepala desa dalam merencanakan dan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di wilayahnya. Melalui lembaga-lembaga tersebut diharapkan akan berlangsung komunikasi antara masyarakat dan perangkat pemerintahan serta antarwarga masyarakat desa itu sendiri.

Sementara itu, aspirasi politik masyarakat Kanekes dapat dikategorikan dalam tipe parokial, baik parokial-partisipan maupun subjek-parokial. Dalam tipe politik parokial masyarakat tidak menyadari atau bahkan mengabaikan adanya pemerintahan dan politik (Mas'Oed dan Colin Mac Andrews, 1990: 42). Masyarakat Baduy Luar yang agak lebih "modern" ketimbang Baduy Dalam menganut tipe politik parokial partisipan. Gejalanya tampak pada saat pemilihan umum misalnya, mereka telah menggunakan haknya sebagai warga negara, namun tidak begitu peduli dengan apa yang mereka pilih. Hal ini disebabkan karena orang Baduy luar hanya menaruh minat pada lingkup politik terbatas (di Kanekes saja) yang para pelaku politiknya sering melakukan peranan serempak dalam bidang ekonomi, keagamaan, dan lain sebagainya.

Berbeda dengan Baduy luar, masyarakat Baduy dalam memiliki tipe politik subjek-parokial. Dalam hal ini mereka telah memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara tetapi lebih memilih berlaku pasif dalam mengikuti perkembangan politik pada skala nasional. Di kalangan mereka ada suatu anggapan bahwa apabila ikut berpartisipasi dalam perpolitikan nasional maka dikhawatirkan akan mengganggu keharmonisan, kebersamaan, persatuan serta kesatuan dalam masyarakat Baduy. Oleh karena itu, sikap politik yang mereka ambil adalah lunang atau milu kanu meunang, yaitu tidak berpihak kepada partai mana pun tetapi akan mendukung partai mana saja dan siapa saja yang berhasil menjadi pemenang dan menjadi pemimpinnya. (Ali Gufron)
Foto: Pepeng
Sumber:
Adimihardja, K. 2000. "Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai", dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000. Hal 47-59.

Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda. 1986. Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung; Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dinas Informasi Komunikasi Seni budaya Dan Pariwisata Kabupaten Lebak. 2004. Membuka Tabir Kehidupan Tradisi Budaya Masyarakat Baduy Dan Cisungsang Serta Peninggalan Sejarah Situs Lebak Sibedug. Rangkasbitung: Dinas Inkosbudpar.

Ekajati, Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta : Pustaka Jaya.

Fathurokhman, Ferry. 2010. "Hukum Pidana Adat Baduy dan Relevansinya dalam Pembaharuan Hukum Pidana", dalam Jurnal Law Reform, Volume 5 No. 1, April 2010. Hlm. 1-38.

Garna, Yudistira. 1980. "Pola Kampung dan Desa, Bentuk Serta Organisasi Rumah Masyarakat Sunda"; dalam Edi S. Ekajati: Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta : PT Giri Mukti.

----------------. 1988. "Perubahan Sosial Budaya Baduy" dalam Nurhadi Rangkuti (Peny.): Orang Baduy dari Inti Jagat. Yogyakarta: Etnodata Prosindo.

----------------. 1993. "Masyarakat Baduy di Banten", dalam Masyarakat Terasing di Indonesia. Editor Koentjaraningrat & Simorangkir. Jakarta Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama.

Iskandar, Johan. 2010. "Penanggulangan Hama Padi (pada Masyarakat Baduy), diakses dari http://regional.kompas.com/read/2010/09/27/14293683, tanggal 20 Mei 2016.

Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Mas’Oed, Mohtar dan Colin Mac Andrews. 1990. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Moeis, Syarif. 2010. "Konsep Ruang dalam Kehidupan Orang Kanekes (Studi tentang Penggunaan Ruang dalam Kehidupan Komunitas Baduy Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Banten)" (Makalah dalam Diskusi Jurusan Pendidikan Sejarah), Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia.

Peraturan Desa Kanekes Nomor 01 Tahun 2007 tentang Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Adat Tatar Kanekes (Baduy).

Permana, R . Cecep Eka. 2006. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Hlm.17.

----------------. 2001. Kesetaraan Gender dalam Adat Inti Jagat Baduy. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Palmer, Andrea Wilcox. 1984. “Desa Situradja: Sebuah Desa di Priangan” dalam Koentjaraningrat (ed). Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI

Tohir, A. Kaslan. 1991. Seuntai Pengetahuan Usaha Tani Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive