Firman Muntaco

Riwayat Singkat
Firman Muntaco adalah salah seorang dari segelintir tokoh Betawi yang tidak hanya berkarya melalui ribuan puisi dan cerpen, tetapi juga penulisan skenario film dan syair-syair lagu. Sebagai seorang sastrawan, hampir seluruh hidup Firman Muntaco didedikasikan untuk memajukan etnisnya dengan cara membuat cerpen berdialek Betawi sejak tahun 1960-an. Menurut majalahbetawi.com, karya sastra Firman mencapai sekitar 5.000 buah. Namun yang sempat tercatat di pusat dokumentasi HB Jassin hanya sekitar 499 buah.

Firman Muntaco lahir di Petojo Sabangan, Jakarta, pada tanggal 5 Mei 1935. Dia adalah sulung dari lima bersaudara, tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan. Sang Ayah (Haji Muntaco) berprofesi sebagai eksportir tembakau dan pemilik pabrik susu yang berlokasi di bilangan Slipi, Jakarta Barat (esosastra.wordpress.com). Apabila melihat dari profesi H. Muntaco, maka kehidupan keluarganya termasuk dalam golongan masyarakat Betawi kelas menengah atas. Oleh karena itu Firman dan saudara-saudaranya relatif mudah mendapatkan akses, terutama dalam hal pendidikan yang waktu itu masih jarang dinikmati orang kebanyakan.

Firman kecil mulai menempuh pendidikan formalnya di Hollandsch Inlandsche School (HIS). Kemudian melanjutkan ke Sekolah Rakyat PUSO, SMA Bagian B, Akademi Pendidikan Kejuruan (APK) jurusan Publisistik dari tahun 1955 hingga 1957 (tidak selesai), dan Pendidikan Penulisan Skenario Kino Film di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta dari tahun 1977 hingga 1978 (juga tidak selesai). Sementara pendidikan non-formal yang diikuti diantaranya adalah: kursus bermain piano pada B.A Soekirno, kursus bermain biola pada Thio Bun Siat, dan belajar mengaji pada Guru Zakaria di Tanah Abang (Nurhazizah, 2015).

Ketertarikan Firman pada kesusastraan bermula ketika dia sering membaca buku-buku sastra terbitan Balai Pustaka. Salah satu buku di antaranya adalah novel Si Doel Anak Betawi yang ditulis oleh Aman Dato Madjoindo. Menurut Nurhazizah (2015), novel inilah yang memberi pengaruh besar pada diri Firman Muntaco untuk menulis sastra terutama yang berkaitan dengan etnisnya sendiri, yaitu Betawi.

Firman Muntaco memulai karya dalam bidang sastra ketika masih di bangku SMA dengan menulis puisi yang dikirimkan ke beberapa surat kabar. Selanjutnya, mengikuti maraknya surat kabar yang memuat cerita pendek (cerpen), Firman pun mencoba ikut menulis cerpen. Adapun cerpen pertamanya yang berhasil dimuat di surat kabar diberi judul Seikat Bunga Anyelir. Cerpen ini dimuat di Star Weekly pada bulan September 1955. Tahun berikutnya, cerpennya yang berjudul Lagu Malam dimuat di Aneka Juni 1956 (Suryana, 2013).

Eksistensi Firman dalam dunia kepenyairan mulai terlihat setelah bekerja di Berita Minggu, mulai sebagai penulis reportasi, pengasuh rubrik, hingga menjabat pemimpin redaksi Berita Minggu Muda (Suryana, 2013). Salah satu rubrik yang diasuhnya bertajuk Tjermin Djakarte dari tahun 1956-1964 merupakan titik pangkal inovasinya dalam penulisan cerita berbahasa Melayu Betawi. Di rubrik yang kemudian beralih nama menjadi Gambang Djakarte ini, secara tetap tulisan Firman Muntaco muncul setiap minggunya (ensiklopedia.kemdikbud.go.id). Menurut sanggarbetawifm.blogspot.co.id, dalam tulisan-tulisan tersebut Firman menggunakan dialek Melayu Betawi dengan gaya yang sangat bebas sehingga banyak dibaca orang dan sanggup menaikkan tiras hingga mencapai 40.000-an eksemplar. Adapun isi tulisan-tulisannya berupa cerita pendek yang diangkat dari kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi dalam bentuk humor berdialek Betawi yang ditulis tidak hanya sebagai bahasa cakapan para tokohnya, tetapi hampir pada seluruh bagian ceritanya.

Gaya bahasa Firman ini tetap dipertahankan walau surat kabar Berita Minggu dibredel pemerintah pada pertengahan tahun 1965 karena dianggap dekat dengan kaum nasionalis pendukung Soekarno. Dia tetap menulis dan mempublikasikan cerpen pada sejumlah media cetak, seperti: Buana Minggu, tabloid Mutiara, dan majalah Humor. Bahkan, pada tahun 1969 dia sempat mengikuti sayembara dan memperoleh penghargaan dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta sebagai pemenang pertama lomba penulisan cerpen mengenai Betawi (Suryana, 2013).

Sebagai catatan, selain cerpen Firman Muntaco juga menulis cerita silat bersambung gaya Betawi, dengan judul antara lain: Si Buntung Ditantang, Ngamuknya Seorang Algojo, Si Botak Jagoan Nyentrik, Bubarnya Garong-garong Jelambar, dan Juragan Lenong dari Pasar Ikan. Seluruh cerita silat tadi dikemas dalam dialek Melayu Betawi sebagai media ekspresinya. Menurut id.wikipedia,org, dialek Betawi yang digunakan Firman memiliki keunggulan dan kekuatan untuk menyampaikan ide-ide sastra dengan cara yang luar biasa, mengagetkan, dan ada kalanya berkilauan.

Berkat kepiawaiannya dalam menulis gaya Betawi yang memikat banyak orang, beberapa karya Firman pun sempat diubah menjadi naskah sandiwara dan film, yaitu Satu Kali Satu dan Ratu Amplop. Satu Kali Satu dikembangkan menjadi film berjudul Musuh Bebuyutan (1974) yang dibintangi oleh Benyamin S (Suryana, 2013). Sementara Ratu Amplop (berbentuk naskah sandiwara), difilmkan dengan judul sama yang disutradarai oleh Nawi Ismail dan diperankan oleh Benyamin S dan Ratmi B-29 (ensiklopedia.kemdikbud.go.id). Sedangkan cerpen-cerpen lainnya (yang terdokumentasi) dibukukan menjadi Gambang Djakarte 1 (1960) dan Gambang Djakarte 2 (1963) (keduanya diterbitkan ulang tahun 2006) (id.wikipedia.org).

Pada perkembangan selanjutnya Firman Muntaco tidak hanya berkiprah di ranah kesusastraaan dalam melestarikan kebudayaan Betawi. Dia juga menunjukkan kepedulian dengan mendirikan "Surilang Group", sebuah Sanggar Seni dan Sandiwara guna melestarikan kesenian Betawi yang mulai berkurang intensitasnya, seperti samrah, rebana, gambang kromong, lenong, dan lain sebagainya (Nurhazizah, 2015).

Selain itu, dia juga terlibat dalam kepengurusan Lembaga Kebudayaan Betawi dengan posisi sebagai Ketua Harian. Posisi ini (Ketua Harian Lembaga Kebudayaan Betawi dan pendiri Surilang Group) membuat Firman acap berhubungan dengan TVRI Stasiun Pusat Jakarta yang waktu itu sedang gencar mengangkat masalah budaya. Selanjutnya, agar lebih memudahkan dalam bekerja sama dia diberi posisi sebagai Koordinator Paket Siaran Budaya Betawi yang akan disalurkan melalui acara Cakrawala Budaya Nusantara, Taman Bhinneka Tunggal Ika, Sandiwara (tradisional), Nusantara Menyanyi, dan Nusantara Menari sejak tahun 1977 (sanggarbetawifm.blogspot.co.id).

Berkat kerja sama dengan TVRI pula sanggar seni Surilang Group hingga tahun 1991 telah tampil setidaknya hingga 50 kali. Ketika sedang tidak on air di TVRI, mereka kerap tampil di Taman Mini Indonesia Indah, Pasar Seni Ancol, Taman Ismail Marzuki, dan sejumlah hotel di Jakarta. Di sela-sela aktivitas tersebut Firman Muntaco masih menyempatkan diri mengisi sejumlah seminar hingga menjadi pemimpin musik pengiring Teater Mama. Dan, oleh karena kepedulian dalam melestarikan seni budaya Betawi tersebut Firman kemudian diberi penghargaan oleh Universitas Jakarta tahun 1991 (Nurhazizah, 2015).

Saat meraih penghargaan dari Universitas Jakarta sebenarnya aktivitas Firman Muntaco mulai menurun karena terserang stroke pada sekitar tahun 1990. Tiga tahun kemudian dia meninggal di Rumah Sakit Harapan Bunda tanggal 10 Januari 1993 dan dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat. Dia meninggalkan sepuluh orang anak (tujuh laki-laki dan 3 perempuan), serta seorang cucu. Salah seorang anaknya, Fifi, sekarang meneruskan perjuangannya menjadi pegiat budaya Betawi sekaligus pemimpin Sanggar Firman Muntaco. (ali gufron)

Foto: http://www.jakarta.go.id/v2/dbbetawi/detail/152/Firman-Muntaco
Sumber:
Nurhazizah, Ulfah. 2015. "Firmansyah Muntaco", diakses dari https://m2indonesia.com/ tokoh/sastrawan/77064.htm, tanggal 2 September 2017.

"Firman Muntaco (1935-1993)", diakses dari http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/ artikel/Firman_Muntaco, tanggal 3 September 2017.

"Gambang Djakarte: Firman Muntaco", diakses dari https://esosastra.wordpress.com/2008/ 12/09/gambang-djakarte-firman-muntaco/, tanggal 3 September 2017.

Suryana, Dede. 2013. "Firman Muntaco, Maestro Sastra Betawi", diakses dari https://news. okezone.com/read/2013/09/19/502/868481/firman-muntaco-maestro-sastra-betawi, tanggal 4 September 2017.

"Firman Muntaco (Seniman, Penulis, Pendiri SBFM)", diakses dari http://sanggarbetawifm. blogspot.co.id/2011/10/firman-muntaco-seniman-penulis-pendiri.html, tanggal 4 September 2017.

"Firman Muntaco (Sastrawan)", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Firman_Muntaco_ (sastrawan), tanggal 5 September 2017.

"Gelar Tiker Ala Betawi Episode 1: Firman Muntaco Pejuang Budaya Betawi", diakses dari http://www.majalahbetawi.com/2015/03/gelar-tiker-ala-betawi-episode-1.html, tanggal 10 Agustus 2017.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive